NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terjebak

Terjebak

Pagi-pagi sebangun tidur, aku membuka korden besar di lantai dua, membiarkan cahaya matahari yang lembut merayap masuk ke dalam ruangan. Tadi malam tidurku nyenyak sekali sampai bermimpi indah walaupun aku tidur dalam keadan murung. Setelah itu, aku turun ke ruang galeri di lantai bawah.

Di sana, Ebra dan Evan sudah sibuk menyiapkan berbagai hal untuk proyek kami. Ebra dengan raut wajah serius sedang mengecek daftar peralatan, sementara Evan menata berbagai bahan yang akan kami butuhkan. Di dapur, Baskara sudah mulai sibuk menyiapkan sarapan. Aku mendekatinya, tertarik dengan kegiatan yang dilakukannya.

“Aku mau coba motong sayurnya,” kataku, berusaha terdengar antusias.

Baskara tersenyum dan tanpa ragu memberiku pisau. Dia mengajariku dengan sabar, menunjukkan cara memotong sayuran dengan benar. Pagi ini menunya sayur sop, dan aroma kaldu yang sedap mulai memenuhi ruangan. Meski pikiranku sedikit gemetar karena belum sepenuhnya siap menghadapi proyek nanti, aku berusaha menetralkan perasaanku dengan kegiatan memasak ini.

“Wah, tumben banget kamu ikut masak, Liza,” ujar Ebra sambil terkekeh.

Aku tertawa kecil, “kepo, tinggal makan aja repot.”

Baskara ikut tersenyum melihat kami bercanda. “Bagus, Liza. Memasak memang bisa jadi terapi yang baik. Dan kalian berdua,” lanjutnya sambil menatap Ebra dan Evan, “kenapa nggak sekalian bantuin juga?”

Ebra dan Evan saling berpandangan, lalu dengan semangat pura-pura mereka mengambil posisi di dekatku. “Baiklah, Chef Baskara, kami siap membantu!” seru mereka serempak, membuat kami semua tertawa.

Pagi itu, di tengah canda tawa dan aroma sedap sayur sop, aku merasa lebih rileks dan siap untuk menghadapi tantangan yang menanti. Kebersamaan ini memberikan energi positif yang aku butuhkan. Kami bekerja sama, tidak hanya di dapur, tapi juga untuk proyek besar yang ada di depan mata. Di antara hiruk pikuk persiapan, aku menyadari betapa beruntungnya memiliki teman-teman yang selalu ada, mendukung, dan membawa tawa di setiap langkah perjalanan kami.

Setelah masakannya jadi, kami sarapan dengan tenang, menikmati setiap suapan sayur sop yang hangat dan lezat. Obrolan ringan mengalir, mulai dari rencana proyek hari ini hingga cerita lucu yang terjadi kemarin. Ebra, yang biasanya serius, kini terlihat lebih santai dan sering tertawa. Evan, dengan candaannya yang tak pernah gagal membuat kami tersenyum, menceritakan kisah lucu tentang tingkah tidur Ebra semalam. Baskara duduk di ujung meja, sesekali tersenyum melihat kami menikmati masakannya.

Di tengah obrolan, Ebra tiba-tiba mendapatkan pesan di ponselnya. Wajahnya berubah serius sejenak saat membaca pesan tersebut, kemudian dia menatap kami dengan tatapan penuh makna.

“Awak Roats mengirim pesan mereka sedang dalam perjalanan membawa pacar Roats,” katanya dengan nada yang membuat kami semua terdiam. Sarapan yang tadinya penuh tawa dan suara denting semangat piring dan sendok yang beradu, berubah menjadi suasana serius.

“Ah, selesaikan dulu makannya, nikmati saja dulu,” ujar Evan memecah keheningan.

***

Setelah selesai sarapan, kami berempat turun ke bawah menunggu pacar Roats datang. Ketegangan mulai terasa di udara saat kami berdiri di depan gedung, mencoba mempersiapkan diri untuk pertemuan penting ini. Tidak lama kemudian, dua mobil hitam berhenti di depan gedung. Turunlah empat pria berbusana hitam, yang kemarin ikut bersama Roats ke Semarang, menghampiri kami dengan langkah tegas.

Aku melihat ke arah mobil dan melihat seorang gadis bergaun putih turun dengan anggun. Rambutnya panjang dan berkilau, kulitnya seputih porselen, dan matanya tajam menatap sekeliling. Gadis itu tampak begitu anggun dan memancarkan aura kepercayaan diri. Setiap langkahnya menunjukkan keanggunan dan ketegasan, seolah-olah dia tahu betul posisinya.

Tapi tunggu, betapa terkejutnya aku saat menyadari bahwa gadis itu adalah orang yang sama yang kulihat di laman berita Eja. Tubuhku seakan membeku, dan pikiranku berputar cepat. Bagaimana bisa gadis yang sama muncul di depan mataku sekarang? Jantungku berdebar kencang, dan aku mencoba menenangkan diri agar tidak terlihat gugup di depan teman-temanku.

Salah satu awak Roats berjalan di belakang gadis itu, memperkenalkannya dengan penuh hati-hati. "Ini dia, Anindya," katanya memperkenalkan gadis tersebut.

“Anindya Marissa.” Gadis itu melangkah maju menyodorkan tangan mengajakku berkenalan. Aku tetap berusaha menjaga ekspresi wajahku agar tetap tenang, meskipun pikiranku penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. Aku harus tetap fokus pada pekerjaan ini dan menyingkirkan segala pikiran tentang keterkaitan Anindya dengan Eja. Hari ini, kami akan memulai proyek besar yang bisa mengubah banyak hal, dan aku tidak boleh membiarkan apapun mengganggu konsentrasiku.

***

Aku berjalan bersisian dengan Anindya, balerina terkenal yang pernah kulihat di laman berita. Pikiranku dipenuhi pertanyaan, apa benar dia pacar Eja?

Kami kemudian duduk di meja depan, saling menatap sejenak, mencari jawaban dalam tatapan masing-masing. Anindya beberapa kali menoleh ke arah pintu masuk, tampak gelisah melihat dua awak Roats yang berdiri di sana.

“Kamu yakin bisa mengerjakan semua sendiri?” Anindya bertanya dengan wajah angkuhnya. Dia meremehkan skillku? Kurang seniman apa wajah dan penampilanku sampai dia seragu itu?

“Karena disini hanya aku yang perempuan, lainnya laki-laki, kalau masih ragu biar kusuruh teman-temanku yang lebih ahli membantuku nanti,” ketusku ringan.

Anindya tertegun, kaget atas ucapanku yang terlalu frontal. Kulihat dari wajahnya pasti berat hati jika ada seorang pria yang mencampuri pekerjaanku.

Aku mengamatinya dari tadi, benar, wajahnya tampak arogan. Namun, matanya yang berkali-kali melihat ke arah pintu, memastikan dua awak roats tidak memperhatikannya, menunjukkan sesuatu yang berbeda. Aku yakin dia sedang gelisah. Gerak-geriknya yang tampak tenang tidak mampu menyembunyikan kecemasan yang bersembunyi di balik sikap angkuhnya.

“Ada masalah?” Tanyaku menatap matanya kuat-kuat.

Anindya mengerutkan kedua alisnya, menunjukkan ekspresi gelisah. Tiba-tiba, tangannya menggapai tanganku, menggenggam bahkan mencengkeram pelan. "Aku butuh toilet," katanya dengan suara bergetar, seakan menahan sesuatu yang mendesak.

Seolah paham dengan kegelisahannya, aku akhirnya beranjak menghampiri dua awak Roats yang berdiri tegap di pintu.

"Aku akan memotretnya di atas kasur, jadi dia kubawa ke kamarku," kataku tegas. Mereka menatapku dengan tajam, seakan mengukur niatku, tapi tak ada tanda mereka akan menghalangi.

Aku menahan napas, berharap mereka menerima alasanku tanpa pertanyaan lebih lanjut. Dan benar, dua awak itu mengangguk setuju dengan perkataanku. bergegas aku mengajak Anindya ke kamar dengan hati-hati.

***

Sesampainya di kamar, Anindya tiba-tiba berlutut di hadapanku. Wajahnya pucat, dan tangannya gemetar tak terkendali. "Tolong, aku tak ingin ada masalah," suaranya bergetar penuh ketakutan. Tatapannya memohon, dan tubuhnya tampak seperti bisa runtuh kapan saja. Aku merasakan gelombang empati yang kuat, menyadari betapa rentan dirinya saat ini. Situasi yang semula kukira sederhana, kini berubah menjadi momen yang penuh ketegangan dan rasa kasihan.

“Apa maksudmu?”

Jujur, aku ikut gemetar. Walaupun bertingkah dingin, hati lembutku penasaran apa yang dirasakan gadis balerina ini sampai setakut itu. Benar, roats pria kejam, dia tega memperlakukan gadis ini sampai sekacau ini. Tapi aku, bukanlah orang jahat seperti roats. Aku hanyalah seniman bayaran yang mengerjakan tugas sesuai keinginan klien, dan setelah mendapatkan uang, aku pergi. Namun, kenapa aku malah harus bertemu seorang Anindya? Keberadaannya mengguncang prinsipku, memaksaku melihat sisi kemanusiaan yang selama ini kusisihkan demi pekerjaan.

“Aku gak ingin menghancurkan pekerjaanmu, tapi siapa lagi yang akan kumintai tolong,” ujar Anindya terlihat menahan nangis.

Aku terbungkam, berpikir keras tentang apa yang harus aku lakukan saat ini. Kalau Baskara, Evan, dan Ebra ada di sini, mereka pasti bisa memberikan sedikit bantuan. Tapi ini tugasku, dan keputusan ada di tanganku.

Segera kubungkukkan badan, mengangkat tubuhnya agar berhenti bersujud. "Aku akan membantumu, tapi tanpa merusak pekerjaanku," ujarku tegas.

Mendengar ucapanku, Anindya langsung berdiri tegap. Wajahnya kini berbeda jauh dari yang pertama kali kutemui tadi. Wajah angkuhnya telah berubah menjadi rapuh, memperlihatkan ketidakberdayaannya yang selama ini tersembunyi.

Aku tidak tahu betul apa yang sebenarnya terjadi, tetapi satu hal yang pasti, Anindya telah menjadi korban kejahatan Roats. Meskipun detailnya masih samar bagiku, melihat wajahnya yang rapuh dan penuh ketakutan sudah cukup memberi petunjuk tentang penderitaan yang dialaminya. Setiap gerak-geriknya menunjukkan trauma. Sebagai seseorang yang ingin membantunya, aku merasa harus mencari tahu lebih lanjut dan memastikan apa yang sudah terjadi, meskipun aku tahu jalan yang harus ditempuh tidak akan mudah, dan tentunya bahaya untukku.

Anindya menyodorkan amplop padaku dengan raut wajah yang penuh misteri. Tangannya yang sedikit bergetar mengisyaratkan bahwa isi amplop tersebut mungkin sangat penting.

Aku menatap wajahnya, mencoba mencari petunjuk dari matanya yang tampak serius dan penuh harap. Perlahan, aku menerima amplop itu, merasakan teksturnya yang sangat tipis diantara jari-jariku. Saat aku membuka lipatan amplop tersebut, berbagai pikiran melintas di benakku.

Amplop yang Anindya sodorkan ternyata berisi tiket untuk sebuah performa konser besar yang menampilkan balerina ternama.

“Ini sogokan?” aku bertanya dengan hati-hati dan langsung dijawab Anindya dengan gelengan.

“Setiap seminggu tiga kali teater besar di sekolah baletku mengadakan panggung ballerina,” jelas Anindya tidak menjawab pertanyaanku. “Ingat harinya, ya. Senin, kamis, dan sabtu.” lanjutnya membuatku semakin bingung.

“Ini sogokan?” aku mengulangi pertanyaanku dengan tegas.

“Bukan, itu jawaban,” jawab Anindya.

Jelas ini membuatku pusing. Apa maksudnya tiket ballerina adalah jawaban. Aku ingin membantunya tapi dia malah mengajakku berteka-teki.

“Amati kursi paling depan, baris pertama nomer enam. Jangan beranjak tari tempat duduk, sebelum jam 22.22, plis,” jelas Anindya berkelanjutan.

Aku senyap sebentar, mendadak memikirkan banyak hal sambil menatap dalam-dalam tiket perform ballerina dari Anindya. Sedangkan gadis itu, menatapku penuh harap.

“Kumohon,” rayunya bernada melas. Aku menatap matanya yang penuh air terbendung, lalu menghela napas panjang sekali.

“Merepotkan,” tukasku cepat sambil mengangguk dingin. Spontan Anindya memelukku erat. Tubuhnya yang tadi gemetar teraasa sangat tenang.

“Aku mau di potret, besok,” ujarnya kemudian. Aku tertegun menelan ludah secara paksa. Ternyata gadis ini mendengar dengan serius ucapanku yang enggan pekerjaan ini rusak.

Dengan cepat, aku menariknya keluar dari kamar. Di ambang pintu, Baskara, Evan, dan Ebra berdiri dengan tatapan tajam mengarah padaku dan Anindya. Mata mereka penuh dengan pertanyaan tentang apa yang sedang terjadi. Mungkin kebingungan terpancar dari ekspresi mereka, bertanya-tanya mengapa aku tiba-tiba ingin memotret Anindya di atas kasur.

Dengan mata tertutup, aku mengangguk pelan sebagai isyarat kepada mereka bahwa meskipun sedikit berantakan, situasinya aman. Ini menjadi cara diam-diam untuk memberi tahu mereka bahwa kami berhasil mengelola situasi dengan baik, meskipun tidak semulus yang diharapkan.

Akhirnya kami berempat mengantar dengan hati-hati Anindya ke depan dan menyerahkannya pada awak Roats. Kulihat kini Anindya kembali seangkuh tadi. Wajahnya mirip Roats kalau bertingkah arogaan. Kurasa mereka berjodoh.

“Sampai bertemu besok,” ujac Anindya sambil merapikan gaunnya. Aku hanya menyeringai tipis. Gadis sepolos itu harus bertarung melawan Roats.

***

Kini aku, Ebra, Evan, dan Baskara berkumpul di ruang tamu. Kami semua sunyi, tidak bersuara. Mereka nampak frustasi setelah mendengar ceritaku.

“Kacau,” bentak Ebra menendang meja.

Mereka terlihat sangat kecewa dengan keputusanku. Bukan hanya rasa kecewa yang terpancar dari wajah mereka, tetapi juga kekhawatiran dan ketakutan yang jelas terlihat. Mereka tahu bahwa Roats bukan orang biasa, pria itu berbahaya dan terlibat dalam hal-hal yang sulit diprediksi. Namun, meskipun mengetahui risikonya, aku tetap memutuskan untuk mencampuri urusannya. Keputusan ini membuat mereka cemas akan keselamatanku, mengingat betapa berbahayanya situasi yang kami hadapi. Aku bisa merasakan beban di pundak mereka, berharap aku menyadari konsekuensi dari langkah yang telah kuambil.

“Dari dulu kita nih kalo ada apa-apa, sharing itu prioritas buat ambil keputusan. Sekarang kamu malah ambil keputusan sebesar itu tanpa mengabari kita,” omel Evan dengan mata menatap lantai tanpa menoleh sedikitpun.

“Sebelum aku mengambil keputusan ini, aku tetap memikirkan kalian. Aku cewek, sama seperti Anindya. Ngelihat wajahnya yang rapun begitu aku ikut sedih.” Aku melontarkan perasaanku tadi.

“Za, kita ke jogja buat kerja, kerjain sampe selesai, kelar udah pulang. Bukan malah menyangkut pautkan perasaan buat kepedihan yang dilalui klien, apalagi sampai larut ikut campur,” kata Ebra bertambah kecewa.

“Bagi kalian, pekerjaan ini penting, pekerjaan ini pun penting buat aku. Tapi bagi Anindya, pertolongan dari aku yang memanfaatkan kepedihannya untuk uang juga penting buat dia,” tukasku.

“Aku bilang ke dia, aku gak mau pekerjaanku kacau gara-gara keingininnya agar aku menolongnya. Kalian tau apa responnya saat mendengar perkataan egoisku itu? Dia tetap mau melanjutkan pekerjaan ini, dia tetap mau dipotret, dilukis, dan dijadiin patung sesuai pesanan Roats agar pekerjaan ini gak rusak, agar aku tetap dapat uang. Sebodoh itu dia. Kalau aku ada di posisinya, aku bakal tetap menjaga martabatku dan merusak pekerjaan orang yang juga egois ikut ingin merusak martabatku. Tapi dia benar-benar bodoh, itu yang membuatku tidak bisa membiarkan dia menangis dan bersujud di hadapanku.” Aku mengutarakan perasaanku panjang kali lebar, cukup mengunci mulut mereka.

“Ini keputusanku, lagi pula aku yang akan mengerjakan semua, jadi, keputusan kalian juga tergantung kalian,” lanjutku lalu pergi ke kamar menghiraukan wajah mereka yang agak tertekan.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!