NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

guncangan

Sesampainya di rumah, aku langsung berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarku. Begitu masuk, aku membuka laci sebelah kasur, mengambil amplop putih berisikan foto Anindya hasil potretanku. Dengan langkah lemas, aku ambruk di kasur, menatap langit-langit kamar, memikirkan ujaran Eja padaku tadi.

Aku adalah teman Eja, teman yang dulu selalu membantu dan membelanya, bahkan aku satu-satunya orang yang berani membalas siapapun yang melukainya. Tapi kenapa dia rela membentakku karena kelalaian yang sama sekali bukan sepenuhnya kesalahanku. Anindya memang segalanya baginya, lantas seorang Eja bagiku?

Pikiranku berputar pada semua kenangan bersama Eja. Kami berbagi banyak hal, dari kebahagiaan hingga kesedihan, tapi pagi ini, kemarahan dan kekecewaannya membuat semuanya terasa jauh. Semua kenangan itu muncul kembali, membuatku sadar bahwa di sini hanya aku yang menggenggam ketakutan akan kehilangan satu sama lain.

“Eliza?” Ebra mengetuk pintu lalu membukanya. Dia menatapku sendu. “Semalam ibumu telpon, dia tanya kabarmu.”

Aku mengusap air mata yang sempat keluar tadi. “Terus?”

Ebra mendengus tipis, “Aku bilang kamu tidur karena kecapean.”

Aku langsung menghela napas lega. Ebra memang memiliki kepekaan setimpal.

“Setelah ini aku mau mandi, tolong sampaikan Evan aku minta diantar ke rumah sakit nanti siang.” Aku tak berdaya dengan suara serakku. Entah kenapa pikiranku kini berperang keras melawan ratusan kata yang keluar dari mulut Eja.

“Mau sarapan?” Baskara menyahut dari ambang pintu. Aku membalasnya dengan gelengan lemah. Perlahan kucoba memjamkan mata berharap benakku mereda. Untuk saat ini aku tidak ingin diganggu siapapun. Cukup kecaman Eja yang tersisa mendampingi tidurku yang mungkin tidak akan nyenyak kedepannya. Bayang-bayang masa kecilku bersama Eja pun juga ikut mengusik benakku.

9 tahun yang lalu

Eja berlari terbirit-birit menghampiriku. Wajahnya seperti biasa, dengan ekspresi penuh kecemasan dan jiwa pengecutnya yang sangat melekat. Sesekali tubuhnya terhuyung terkena batu kecil, tapi tidak sampai terjatuh. Aku hanya memandangnya lucu, bibirku tertarik membentuk senyum kecil melihat usahanya.

Saat sudah di hadapanku, Eja membuka tangannya yang semula terlingkup. Empat buah stroberi merah segar tergenggam di telapak tangannya.

"Kamu suka ini, kan?" Suaranya terengah-engah, berusaha mengatur napasnya yang tersengal.

Aku mengulurkan tangan, mengambil satu stroberi dan memakannya. Rasanya manis dan asam, segar sekali di mulutku. Tapi sesaat aku terheran sembari mengerutkan alisku. “Kamu dapet dari mana? Nyuri ya!”

Eja tersenyum malu-malu, menggaruk belakang kepalanya. “Ibuku membelinya, ibu juga suka strowberri. Tadi aku meminta sedikit ingat kamu juga suka.”

"Aku menghargai usahamu, Eja," kataku sambil menepuk bahunya. "Tapi kamu harus hati-hati. Jangan sampai terluka cuma buat bawain stroberi."

Eja mengangguk, lalu duduk di sampingku, di rerumputan dekat rumah. “Tapi aku siap melakukan apapun buat seorang Elija, kata ibu harus begitu, karena katanya kita itu saling membutuhkan.”

Kata-katanya membuatku tersentuh. Di balik sikapnya yang agak pengecut, sebenarnya Eja juga memiliki hati yang besar dan penuh perhatian. “Sampai besar pun bakal gitu?”

Eja mengangguk tulus sehingga mengundang senyum terlebarku. Dia juga melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku. “Janji juga, kamu bakal belain aku sampai kapanpun.”

“Pasti, lah. Kamu bakal jadi orang pertama yang ku tolong jika aku dihadapkan dua pilihan,” ujarku mendalam.

Eja tersenyum. “ Tapi aku gak bisa janji jadiin kamu orang pertama yang kutolong. Kan, aku penakut, mana bisa nolong orang,” Katanya membuatku terkekeh.

***

Aku keluar kamar dengan muka penuh beban pikiran. Di dapur, sudah terlihat Baskara duduk santai menikmati kopi di meja. Evan dan Ebra berdiam di ruang tamu, duduk di sofa sibuk dengan handphone masing-masing. Saat aku menuruni anak tangga, Baskara langsung bangkit dari duduknya, menyapaku penuh sendu. “Katanya mau tidur.”

Ebra dan Evan memandangiku dari ruang tamu. “Aku lapar, gak bisa tidur.” Ujarku lemas.

Dengan cekatan, Baskara lekas menyalakan kompor, memasak air, dan mengambil mie instan di lemari.

“Gak perlu dipikir, Anindya juga bakal baik-baik saja. Berkat kamu cepat-cepat bawa dia kerumah sakit, dia juga segera ditangani.” Ujar Baskara berusaha menenangkanku.

Aku terdiam, lagi-lagi air mataku keluar. Andai mereka tahu yang kucemaskan bukan keadaan Anindya, melainkan keadaan Eja. Wajahnya yang penuh amarah dan kesedihan terus terlintas walau mataku sedang terpejam. Lantas aku menyelingkupkan tangan di meja dan menenggelamkan mukaku. Baskara mengelus pundakku dengan hati-hati, mencoba menenangkan.

Evan dan Ebra, yang sedari tadi diam, akhirnya bangkit dan menghampiri kami. Evan meletakkan tangannya di bahuku, sementara Ebra duduk di hadapanku dengan ekspresi serius, lalu menyodorkan Hard disk hitam kepadaku.

“Aku dapat ini tadi malam.” Ebra mengangkat kepalaku agar segera melihat apa yang disodorkannya.

Tanganku menggapai hard disk itu. Kuputar sambil bertanya-tanya. “Apa ini? Dapat dari mana?”

“Ini hard disk milik Roats yang dia serahkan ke operator teater mengatas namakan Anindya. Semalam setelah kejadian di teater tersebar di media, aku langsung pergi ke sana. Awalnya yang ingin kucari itu kamu, tapi saat melihat cctv teater yang memperlihatkan kamu naik mobil pribadi Anindya, aku lega. Lalu di detik selanjutnya, cctv memperlihatkan halaman belakang teater. Disitu terekam Roats sedang merokok di damping dengan dua anak buahnya.” Ebra menjelaskan panjang kali lebar.

“Terus ini kamu dapet dari mana?” Aku menanyakan soal hard disk

Wajah Ebra semakin serius. “Aku menemui operator, aku bilang kalau aku penyelidik kubu Anindya. Dia langsung kasih hard disk ini padaku. Dia bilang Roats yang memberikannya mengatas namakan Anindya. Roat juga bilang ke operator isi hard disk ini adalah video perjuangan Anindya dari awal memulai karir menjadi ballerina, tanpa operator tahu ternyata saat vidionya diputar di panggung bisa menghancurkan hidup seorang belerina ternama di teater ini.”

Aku mengambil napas dalam, mencoba meredakan gelombang emosi yang terus menyerang. Baskara menyajikan semangkuk mie panas di depanku, mengisyaratkan agar aku makan.

“Jadi diantar ke rumah sakit?” tanya Evan. Aku mengangguk lemas lalu mengambil sumpit dan mulai makan perlahan, mencoba fokus pada kehangatan makanan di tengah kekacauan pikiran. Tangan kiriku menggenggam erat hard disk itu.

“Kalau bukan hanya Anindya gadis yang dibeginikan, itu berarti ada hard disk lain yang menyimpan video serupa dengan isi yang berbeda.” Baskara menyahut hard disk itu dari tanganku dan menunjuk ke tulisan tubuh penari di sisi hard disk.

Mataku menyipit. Benar kata Baskara, apalagi kemarin aku mendapati Roats sedang bersama gadis lain di hotel Malioboro. Belum ada yang tahu apa sebenarnya kesan Roats melakukan hal ini, yang jelas perlahan semua akan terkuak dengan sendirinya.

***

Setelah bersiap, aku dan Evan segera pergi ke rumah sakit. Di tengah perjalanan, kami mampir membeli buah untuk Anindya. Saat memasuki lorong menuju kamar Anindya, aku melihat Eja masih duduk lemas di depan kamar Anindya dengan rambutnya yang sudah tidak tertata lagi.

Aku berjalan mendekat dan melihat Anindya dari kaca pintu; dia masih tidur pulas dengan alat bantu napasnya. "Biar aku yang tanya dokter, kamu di sini saja," ujar Evan. Aku membalasnya dengan anggukan. Setelah Evan pergi menemui dokter, aku duduk di hadapan Eja, merapikan rambutnya dan meminta dia mengangkat kepala.

"Kenapa datang ke sini lagi? Lagi pula dia gak akan lihat kamu sedang mengunjunginya," kata Eja dengan suara penuh kesedihan.

"Lantas kamu? Untuk apa seperti ini? Lagi pula dia gak akan tahu," balasku.

Eja menatap mataku . Bola matanya menunjukkan penuh penyesalan dan keputus asaan. "Aku gagal, Eliza. Aku gagal jagain dia. Dia milih mencoba mati untuk meninggalkan semua keributan di bumi ini, tapi dia lupa aku adalah penghuni bumi yang dia punya." Eja meneteskan banyak air mata. Pipinya sedikit membengkak, dan bibirnya pucat. Kesedihannya kini bertubi-tubi. "Andai boleh, Aku ingin sekali membunuh Roats." Eja mengatakan hal itu dengan penuh kesadaran.

"Kita cari makan, perutmu harus diisi," ajakku dengan penuh hati-hati.

"Mana bisa aku makan sedangkan Anindya tidur seperti itu dalam keadaan lapar juga," Eja bangkit memindahkan diri ke kursi.

"Pergilah, nanti kuhubungi kalau Anindya bangun."

Aku hanya tetap berlutut. Air mata menetes dari sudut mataku. Aku merasakan beban yang sama, rasa bersalah yang sama. Tapi melihat Eja seperti ini, aku sadar bahwa dia membawa beban yang jauh lebih berat. Rasanya pergi ke Jogja adalah kesalahn besar yang akan aku ingat sampai kapanpun. Aku sendiri tidak tahu kini apa yang harus aku prioritaskan antara perasaan Eja yang enggan kehilangan Anindya, atau perasaanku yang merasa bukan lagi orang yang selalu didahulukan Eja seperti dulu. Mungkin sampai kapanpun, Eja bukanlah manusia yang ditakdirkan tuhan untuk bisa menolongku, namun aku akan jadi takdir baik untuk Eja sebagai orang yang yang akan menolongnya jika dihadpkan dengan dua pilihan. Bahkan saat ini, aku lebih memilih menolong perasaan Eja dari pada perasaanku sendiri.

9 tahun yang lalu

“Aku memang tidak bisa menolongmu, tapi sebisa mungkin cuma kamu nanti yang akan jadi teman dan posisi pertama dalam hidup aku, tidak akan ada yang bisa menggeser kedudukanmu,” ujar Eja padaku di usia dini sebelum akhirnya pamit pergi.

...****************...

Sekeluarnya dari rumah sakit, langkahku terasa berat. Matahari siang menyinari wajahku, namun kehangatannya tak mampu menembus dingin yang merasuki jiwaku. Mataku kosong, seperti cermin tanpa pantulan, menyimpan semua kesedihan dan kekhawatiran yang kurasakan. Setiap tarikan napas terasa hampa, seolah udara tak cukup untuk mengisi kekosongan yang menganga di dalam dada.

Sekeluarnya dari rumah sakit, langkahku terasa berat. Matahari sore menyinari wajahku, namun kehangatannya tak mampu menembus dingin yang merasuki jiwaku. Mataku kosong, seperti cermin tanpa pantulan, menyimpan semua kesedihan dan kekhawatiran yang kurasakan. Setiap tarikan napas terasa hampa, seolah udara tak cukup untuk mengisi kekosongan yang menganga di dalam dada.

“Mau cari makan saja?” Evan berteriak di belakangku. Pria itu pasti mengikutiku dari tadi. “Atau mau cari camilan?”

Aku menggeleng lesu, merespon tawaran Evan tapi pandanganku tetap lurus kedepan dengan langkah mengikuti aspal. Aku tak bisa menghilangkan suara Eja yang penuh kepedihan. "Aku gagal, Eliza. Aku gagal menjaganya." Kata-kata itu terus terngiang, membuat hatiku semakin teriris. Perasaan bersalah dan tak berdaya menyelimutiku, membuat dunia sekitarku seakan berhenti.

Aku ingin menangis, tapi air mata tak lagi mampu mengalir. Hanya ada kehampaan yang menyiksa, mengikis perlahan-lahan kekuatan yang tersisa. Bahkan saat ini aku masih bingung apa yang membuatku sepedih ini. Dulu kecil jika ditanya, siapa yang paling aku sayangi selain ayah dan ibu, jawabanku adalah Reza Ramadhan, dan itu akan menjadi jawabanku sampai kapanpun. Tapi apa salah jika aku mengiringinya dengan perasaan? Sejahat itu tuhan malah memberiku peringatan kalau aku tidak boleh begitu dengan penampakan situasi saat ini yang sedang kuhadapi.

“Kendalikan dirimu eliza!” Evan mencekam lenganku menatik tubuhku sampai menabrak tubuhnya. Mataku spontan terbelalak saat aku melihat jalan raya besar yang penuh kendaraan mengebut di hadapanku.

“sejauh apa aku berjalan?” Aku melepas pelan genggaman Evan dari lenganku.

“Sejauh ini.” Evan memperlihatkan handphonenya padaku, layarnya menunjukkan jarak maps yang sedari tadi kutempuh. “8,1 cm, hampir dua jam kita berjalan tanpa tujuan.”

“Maaf,” ujarku menundukkan kepala, air mataku lagi-lagi menetes, tidak peduli berapa sorot mata yang saat ini sedang melihatku menangis di pinggir jalan.

“Plis za, dengan kamu seperti ini gak akan menguntungkan siapapun.” Evan memelukku erat. Selalu begini. Tubuhnya selalu siap jadi perisai untuk menangguhkan aku kembali.

“Aku butuh obat tidur, mataku lelah,” pintaku sambil meremas ujung kemeja Evan.

“Nanti kita mampir ke apotik,” jawab Evan setuju. Mungkin baginya sangat penting untukku bisa tidur nyenyak saat ini.

...****************...

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!