NovelToon NovelToon
The Second Wife

The Second Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:nikahmuda / Poligami / Cinta setelah menikah
Popularitas:13.7k
Nilai: 5
Nama Author: Gilva Afnida

Pergi dari rumah keluarga paman yang selama ini telah membesarkannya adalah satu-satunya tindakan yang Kanaya pilih untuk membuat dirinya tetap waras.

Selain karena fakta mengejutkan tentang asal usul dirinya yang sebenarnya, Kanaya juga terus menerus didesak untuk menerima tawaran Vania untuk menjadi adik madunya.

Desakan itu membuat Kanaya tak dapat berpikir jernih hingga akhirnya dia menerima tawaran Vania dan menjadi istri kedua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gilva Afnida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Telinga Kanaya terasa memanas mendengar ucapan Adnan yang sepertinya ditujukan untuknya. Tangannya memegang erat tas bekal yang sedari tadi dibawanya. Dia kira, Adnan sudah mulai mencoba menganggap kehadirannya, namun rupanya dia salah. Adnan hanya menganggapnya sebagai tukang masak, tak lebih.

"Aku udah nawarin kamu dari jauh-jauh hari sebelumnya, tapi kamu kekeh bilang menyerahkan urusan ini semua ke aku. Sekarang giliran udah aku cariin, kamunya malah kayak gitu. Aneh lho kamu, Mas." Vania terlihat lelah dia bahkan menyenderkan punggungnya di sandaran bed pasien.

"Aku gak nyangka aja kamu nyarinya yang kayak kurang gizi gitu. Udahlah dadanya tepos, gak ada pantat. Beda jauh dengan badan kamu, Sayang." Terlihat Adnan mengusap-usap lembut bahu Vania.

Sontak Kanaya memegang bagian dadanya dan meraba. Kedua mata Kanaya mulai memanas dan berembun. Baru kali ini dia mendengar langsung dari mulut seorang pria tentang fisiknya yang dinilai kurus dan kurang gizi. Ingin rasanya dia masuk ke dalam kamar, menumpahkan semua isi sop panas ini di wajah Adnan yang sombong dan menyebalkan.

Namun kesabaran Kanaya segera menguasainya. Dia memilih mundur dan berjalan berbalik arah. Dia butuh ketenangan agar tak bertindak secara gegabah. Berjalan kembali dan memasuki lift, dia langsung menekan tombol satu. Masa bodoh dengan Adnan yang sudah menunggu seseorang untuk bergantian menjaga Vania. Dia mementingkan perasaannya yang terluka.

Di lantai satu terdapat lobi yang sangat luas dengan sebuah kantin rumah sakit yang masih tutup. Tertulis jam buka di rumah sakit tersebut masih nanti sekitar jam delapan pagi. Kanaya memilih duduk di salah satu kursi milik kantin, menaruh tas bekalnya di atas meja dan menaruh kepalanya yang terasa berat.

"Seandainya ini kepala bisa aku tinggal, udah aku tinggal gak akan aku bawa kemana-mana," gumamnya sedih.

Kanaya memiringkan kepalanya ke arah kanan. Masih dengan menidurkan kepalanya di atas meja, Kanaya menatap orang-orang yang tengah berlalu lalang melakukan aktivitas mereka yang terlihat sibuk. Berbeda jauh dengannya yang malah duduk diam menatap kesibukan mereka. Tiba-tiba saja air matanya luruh dengan derasnya. Kanaya tak mencoba mencegah air mata itu. Biarlah dia meluapkan kesedihannya lewat air mata tersebut. Perkataan Adnan tentang dirinya begitu kejam. Bahkan Helga yang membencinya saja belum pernah mengata-ngatai fisiknya yang sangat berbeda dari kedua putrinya.

"Hidup itu memang kayak rollercoaster, Mbak."

Kanaya terbangun dan memutar tubuhnya ke arah kiri. Ada sebuah pria berusia jauh diatasnya sedang menyantap segelas mi instan dengan santainya. Kanaya menatap pria itu dengan heran.

"Kadang naik kadang juga turun. Jadi nikmati aja." Pria itu kembali menyeruput mi instannya.

"Memangnya om tahu apa tentang saya?" tantang Kanaya pada pria sok tahu itu.

"Kenapa memangnya? Mau adu nasib?" Pria itu tersenyum meremehkan sambil meneliti penampilan Kanaya. "Usia kamu pasti masih muda. Sepantaran dengan keponakan saya yang masih kuliah."

"Nih ya aku ceritain kisah hidupku. Dua tahun lalu aku nikah, istriku langsung hamil sebulan setelahnya. Tapi setelah melahirkan lima hari, dia meninggal karena gagal ginjal. Aku kehilangan istri, anakku jadi tak punya ibu. Setengah tahun kemudian, ibu dan bapakku meninggal hanya jeda satu hari saja karena memang sudah tua. Saat itu aku baru menyadari, selain menjadi duda rupanya aku jadi yatim-piatu juga. Nah, kamu tahu kenapa aku di rumah sakit ini sekarang?" tanya pria itu.

Kanaya hanya menggelengkan kepala.

"Anakku terjatuh saat menaiki sepeda dan kepalanya mengenai jalan menyebabkan kehilangan banyak darah."

Kanaya menutup mulutnya yang terbuka, menatap sendu pada pria berkelakuan aneh namun berwajah tampan tersebut. "Terus, gimana keadaannya sekarang? Sudah tertangani dengan baik kan?"

"Sudah. Tapi rumah sakit sedang kehabisan stok darah, jadi aku masih harus berusaha mencarikan pendonor untuknya." Kembali pria itu menyeruput mienya hingga menenggak kuahnya langsung dari gelas.

"Butuh donor golongan apa? Siapa tahu aku bisa bantu."

"AB."

Kanaya tersenyum lega saat mendengarnya. "Kebetulan golongan darahku sama dengan anakmu, Om."

"Oh ya?" Pria itu meletakkan gelasnya. "Apa kamu bisa mendonorkannya?"

"Tentu saja, tapi aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku harus menjenguk seseorang terlebih dahulu."

"Baiklah, tak apa. Hubungi aku jika kamu sudah siap nanti." Pria itu terlihat mengeluarkan buku nota kecil beserta bolpoin lalu mencoret-coret sebentar dan menarik salah satu kertas.

"Ini nomorku, namaku Hilman." Hilman menyodorkan kertas tersebut pada Kanaya.

Kanaya membaca dengan seksama secarik kertas tersebut yang bertuliskan deretan nomor dengan nama Hilman Angkasa di bawahnya.

"Oh ya, siapa namamu?"

"Kanaya, panggil saja Naya."

Hilman tersenyum ramah sembari mengulurkan tangannya yang kecokelatan. "Senang berkenalan denganmu, Naya."

Kanaya menyambut uluran tangan tersebut dan menjabatnya. "Senang juga berkenalan denganmu, Om Hilman."

Setelah berjabat tangan, Hilman menunjuk tas bekal yang tergeletak di atas meja sambil bertanya, "Itu punyamu?"

Mata Kanaya mengikuti arah telunjuk Hilman. "Oh... iya, itu punyaku. Om mau?" Kanaya membuka isi tas tersebut dan menaruh kotak bekal satu persatu di atas meja.

"Wah, banyak juga bawaanmu." Hilman terpana melihat kotak-kotak bekal yang berisi banyak lauk pauk.

"Makan aja kalau om mau."

Alis Hilman terangkat satu. "Serius buat aku semua? Emangnya gak kamu makan?"

Kanaya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak, Om. Aku udah makan tadi pas di rumah. Tadinya mau buat seseorang tapi ternyata..." Kanaya seperti enggan untuk meneruskan kalimatnya.

Seolah mengerti, Hilman mengambil kotak-kotak tersebut dan berkata, "Oke-oke, aku mengerti kok. Boleh aku bawa semua ini ke kamar inap anakku? Aku akan memakannya di sana nanti."

"Boleh kok."

Kanaya melihat Hilman begitu antusias memasukkan kotak-kotak bekal berisi masakannya ke dalam tas. "Pastiin kamu dateng lagi nanti ya, kalau gak dateng nanti tas bekalnya buat anakku lho," selorohnya sambil berdiri.

Sedang Kanaya hanya tertawa kecil melihat Hilman yang melambai tangan sebelum pergi menjauh dari pandangannya.

"Ehem!"

Kanaya menoleh ke arah sumber suara. Adnan berdiri di belakangnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Bukannya segera datang malah godain om-om tua?" sindir Adnan.

Kanaya menyipitkan kedua mata, menatap Adnan tak suka. Dia masih teringat ucapan Adnan perihal dada tepos, jujur dia merasa moodnya turun kembali. "Apaan sih."

Kanaya memilih berjalan mendahului Adnan untuk kembali ke kamar Vania.

"Eh, eh. Mana sarapannya?"

"Gak ada."

Singkat, padat dan jelas. Kanaya sungguh tak ingin bertatap muka apalagi berbasa-basi dengan Adnan. Percakapannya dengan Vania tadi masih terngiang-ngiang dalam benak Kanaya. Tangannya mengepal kuat dan dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang ingin mengalir dari pelupuk matanya.

"Ya Tuhan... aku capek terus-terusan diremehin orang," gumamnya berbisik pada Yang Kuasa.

1
Muhammad Malvien Laksmana
Luar biasa
Muhammad Malvien Laksmana
Biasa
Endah Windiarti
Luar biasa
Jessica
ceritanya bagus penulisan nya juga tertata g bikin jenuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!