Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.
Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terluka
Sejak kepergian Ayu dan Rafi, Madava tampak uring-uringan. Madava lantas menyalakan televisi, tapi tak ada satupun tayangan yang membuatnya berminat. Ujung-ujungnya, dilemparkannya remote televisi dan mondar-mandir di depannya.
"Ck, aku kenapa sih?" gumamnya frustasi.
Tak lama kemudian, terdengar suara deru mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Dahi Madava mengernyit. Apalagi saat terdengar derit pagar yang dibuka. Siapa orang yang bertamu siang-siang seperti ini, pikirnya.
Madava lantas menuju kaca jendela. Dia mengintip dari balik tirai. Alisnya berkerut saat melihat Ayu dan Rafi yang sudah pulang.
"Kenapa mereka sudah pulang? Padahal belum lama mereka pergi? Apa mereka tidak jadi pergi ke waterpark?" gumam Madava heran sebab belum 3 jam mereka pergi. Sedangkan pulang pergi ke Ocean Park saja memakan waktu hampir 2 jam. Dan mereka pulang setelah 3 jam pergi.
Karena terlalu lama melamun, Madava sampai tak sadar kalau Ayu sudah berada di depan pintu. Saat pintu akan terbuka, barulah ia tersadar. Madava membulatkan matanya. Ia pun reflek ingin segera beranjak dari sana, tapi nahas, kakinya justru membentur kursi sehingga ia terjatuh dan tersungkur tepat di hadapan Ayu yang baru saja masuk sambil menggendong Rafi.
Sontak saja Ayu terkejut bukan main. Ia bahkan reflek mundur selangkah karena terlonjak.
"Mas Dava, kamu ngapain?" seru Ayu dengan jantung yang berdegup kencang.
Madava dengan cepat berdiri. Namun ujung jarinya yang membentur kaki kursi terasa sakit sekali. Ia pun meringis dan Ayu menyadari itu.
"Aku ... aku sedang mencari bolpoin ku yang sepertinya terjatuh di bawah kursi," dusta Madava beralasan. Tidak mungkin kan ia mengaku kalau ia terjatuh gara-gara ia tidak ingin ketahuan sedang mengintip kepulangan istrinya itu.
"Bolpoin?" Mata Ayu mengerjap. Ia pun ber'oh ria saja menanggapinya.
Madava yang malu, segera beranjak dari sana. Namun jarinya terasa begitu sakit membuatnya sedikit menyeret langkahnya. Ayu menatap lekat cara Madava berjalan. Tak lama kemudian, ia membulatkan matanya saat melihat noda darah di lantai.
"Huh, sakit sekali! Awwshhhh ... " Madava meringis sambil sedikit melompat. Saat ia melirik ke bawah, barulah ia menyadari kalau kakinya terluka.
"Assshh, sial!" Madava kembali menyeret langkahnya. Ia memperhatikan ibu jarinya yang terluka karena ujungnya membentur kaki kursi cukup keras tadi. "Hah, kenapa hari ini aku sial sekali? Sudah ditampar Ayu, mengetahui fakta kalau Via sudah menipuku mentah-mentah, lalu kini jempol kakiku berdarah! Mana nggak ada obat dan plester. Sialan!" Madava mendesis. Ternyata darah itu berasal dari sela-sela kukunya.
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar. Madava tahu, itu adalah Ayu.
Tok tok tok ...
"Ayu? Mau ngapain dia?" gumam Madava heran. Madava tiba-tiba tersenyum. Ia pikir pasti Ayu ingin meminta maaf karena sudah menamparnya tadi. Madava pun mempersilahkan Ayu masuk karena kebetulan pintunya tidak dikunci.
"Masuk!" seru Madava.
Pintu pun terbuka. Ayu membawa sesuatu di tangannya yang entah apa.
"Apa?" tanya Madava dengan memasang ekspresi datar. Ayu mendengus melihatnya.
Ayu tiba-tiba berjongkok di depan kaki Madava. Madava reflek sedikit menarik kakinya dengan ekspresi terkejut sambil meringis sakit.
'Awh, sial! Sakit sekali." Madava bergumam dalam hati.
"Mau ngapain?" ketus Madava.
Tapi Ayu tidak menjawab. Ia justru menarik kaki Madava dan mulai membersihkannya dengan anti septik.
Jelas saja Madava terkejut. Bahkan ia sedikit tersentuh dengan perhatian Ayu tersebut.
'Ternyata dia perhatian juga. Eh, tapi dia benar-benar perhatian atau hanya karena rasa bersalahnya sudah menamparku tadi?' Madava bertanya-tanya dalam hati.
"Aaaargh, sakit, sialan!" umpat Madava saat Ayu tanpa sengaja menekan lukanya.
"Bisa tidak kau jaga sedikit mulutmu itu? Apa tidak bisa kau berkata-kata yang sedikit halus?" sentak Ayu kesal.
"Aku reflek. Kau juga, apa yang kau lakukan? Sakit tau. Kau sengaja ya?"
Kesal dengan tuduhan Madava, Ayu sengaja menekan kembali luka itu membuat Madava kembali menjerit.
"Aaaargh, sialan! Sakit, Brengsek!"
"Masih mengumpat, aku tambahi lukamu, mau?" ancam Ayu.
Madava melotot kemudian menggeleng. "Nggak. Makanya, hati-hati!"
"Ini juga sudah hati-hati. Dasar kau saja yang cengeng."
"Apa katamu? Aku cengeng? Memangnya aku menangis?"
"Iya."
"Aku tidak menangis."
Ayu tersenyum miring membuat dahi Madava berkerut. Lalu tangan Ayu terulur ke wajah Madava. Madava reflek menarik tubuhnya, tapi ia tidak bisa menjauh karena di belakangnya merupakan sandaran sofa. Lalu tangan Ayu berhenti di sudut matanya. Ayu mengusapnya dengan ibu jari lalu menunjukkannya di depan mata Madava.
"Ini apa? Masih mau menyangkal?" ejek Ayu.
"Itu ... itu ... aku ... "
Ayu mengibaskan tangannya tidak ingin mendengar jawaban Madava. Ia justru kembali mengobati luka Madava dan menutupnya dengan plester luka. Setelah selesai, Ayu pun segera melenggang pergi dari sana meninggalkan Madava yang terpaku seorang diri.
...***...
Sementara itu, di suatu tempat tampak seorang perempuan yang berpenampilan serba tertutup. Dengan memakai hoddie, kacamata hitam, dan masker sehingga membuat hampir seluruh bagian wajahnya tertutup sempurna, perempuan itu mengetuk pintu sebuah apartemen. Tak lama pintu terbuka. Belum sempat laki-laki itu menanyakan siapa dirinya, perempuan itu sudah lebih dulu merangsek masuk ke unit apartemen tersebut dan menutup pintunya.
"Siapa kau? Kenapa kau tiba-tiba masuk ke apartemenku?" seru laki-laki pemilik apartemen itu.
"Ini aku." Perempuan itu menari tudung kepala hoddienya, kacamata, dan masker sehingga laki-laki itu bisa melihat dengan jelas wajah sang perempuan.
"Kau? Apa yang kau lakukan ini?"
Perempuan itu berdecak. Ia pun menghempaskan bokongnya di sofa yang ada di ruangan itu.
"Sampai kapan aku harus begini? Kau tahu, aku merasa bosan sekali selalu terkurung di rumah itu. Mana tempatnya terpencil. Menyebalkan."
Laki-laki itu mendengus. "Baru juga dua Minggu."
"Kau pikir dua Minggu itu sebentar. Aku bosan. Apa kau mengerti?" sentak perempuan itu.
"Ya kalau kau mau keluar, tinggal keluar saja. Apa susahnya?" balas laki-laki itu acuh tak acuh. Ia berjalan menuju pantry dan membuka pintu salah satu lemari kabinet kemudian mengambil minuman di dalamnya.
"Kalau bisa semudah itu, sudah sejak kemarin-kemarin aku pergi. Tapi apa kau tahu, dia ternyata sudah menyuruh orang untuk menyelidiki keberadaan ku. Kau tentu tahu 'kan risiko kalau sampai aku tertangkap?"
"Apa? Apa benar dia melakukan itu?" Laki-laki itu mengambil tempat, duduk di seberang sang perempuan.
Perempuan itu mengangguk. "Iya. Orang tua palsuku yang mengatakannya padaku. Mereka mengatakan seseorang mencari informasi tentangku. Kini dia sudah tahu kalau pasangan suami istri tempo hari bukanlah orang tua kandungku. Entah apa yang akan dilakukannya kalau aku sampai-sampai ditemukannya. Bagaimana kalau dia menjebloskan ku ke dalam penjara? Nggak. Nggak. Aku nggak mau," ujar perempuan itu seraya menggelengkan kepalanya.
Laki-laki tadi meraup wajahnya kasar. "Kalau kau tahu dia sedang mencari tahu keberadaanmu, seharusnya kau tetap bersembunyi. Mengapa kau justru menemuiku? Bagaimana kalau dia tahu kalau aku ikut terlibat dengan peristiwa itu?" bentak laki-laki itu.
"Dan kau mau lepas tangan? Begitu?"
"Bukan begitu, tapi ... "
"Aku hamil."
"Apa?"
"Aku hamil anakmu."
Laki-laki itu menggeleng cepat. "Nggak. Kamu pasti bohong. Itu pasti anak bajingan itu, iya 'kan?"
"Jangan bicara sembarangan! Anak yang aku kandung ini anakmu. Darah dagingmu. Aku hanya pernah melakukannya denganmu, bukan dengannya. Aku tidak mau tau, pokoknya kau harus bertanggung jawab."
"Jangan bercanda kau, Via! Aku tidak mau menikah denganmu," raung laki-laki itu.
"Kenapa? Kenapa? Apa karena kau masih mencintai perempuan itu? Atau ada perempuan lain?" teriak Via.
"Itu bukan urusanmu. Segera pergi dari sini. Aku tidak mau kalau sampai Dava tahu aku ikut terlibat. Ingat, jaga rahasia ini. Kalau sampai ada yang tahu, itu pasti dari bibirmu. Dan jangan salahkan aku kalau aku sampai berbuat kasar padamu," ancam laki-laki itu.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...