Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Di dalam ruangan meeting yang sunyi dan berlapis cahaya keperakan dari lampu gantung modern, Deon berdiri mematung di depan kaca besar yang membentang di satu sisi dinding bukan lagi sekadar pantulan, tapi seperti cermin realitas yang bengkok, memperlihatkan sosok asing yang kini menjadi dirinya.
Tatapannya tak lepas dari bayangan itu, wajah baru yang begitu tampan, begitu mapan, begitu karismatik dan sangat bukan dirinya.
Ia menyentuh pipinya sendiri, mencoba menemukan jejak masa lalu, mencoba mengenali raut yang dulu ia lihat setiap pagi di cermin kamar kecil rumah ibunya, tapi yang kini tergantikan oleh wajah seorang pria dewasa bernama Damian. Nama yang terdengar dingin, profesional, dan penuh rahasia.
Damian, manajer muda yang katanya jenius, katanya ambisius, katanya masa depan perusahaan pesaing ayahnya. Damian, yang hidupnya berdiri di sisi berlawanan dari sejarah yang selama ini Deon jalani.
Damian, yang punya kehidupan sempurna dari luar, tapi saat Deon menggantikan tempatnya justru ia tak menemukan apa pun selain kehampaan, kebingungan, dan teka-teki yang membuatnya nyaris gila.
"Siapa gue sebenernya sekarang?" pikir Deon, dadanya sesak oleh pertanyaan yang makin lama makin menusuk.
"Apa gue Deon yang gagal jadi anak kebanggaan? Atau Damian yang sukses tapi mungkin menyimpan rahasia busuk?"
Setiap detik menatap pantulan itu terasa seperti mengupas lapisan kebohongan yang menempel di kulitnya. Ia melihat mata yang tajam tapi kosong. Ia melihat senyum licik yang tak ia ajarkan pada dirinya sendiri.
Ia melihat bayangan seorang pria yang tampak menguasai segalanya padahal nyatanya, Deon bahkan tak tahu bagaimana caranya keluar dari tubuh ini, dari permainan waktu dan identitas yang terasa seperti labirin tanpa jalan pulang.
Tangannya mengepal, penuh frustasi. “Kenapa gue selalu bangun di hidup orang lain?! Kenapa bukan gue yang diminta untuk hidup normal?! Kenapa tiap kali gue mulai ngerti hidup gue, malah diganti sama hidup orang lain yang lebih rumit dari plot film Nolan?!”
Ruang meeting itu terasa mencekik. Di luar, para pegawai berjalan mondar-mandir, sesekali melirik ke arah ruangan kaca itu, mereka melihat Damian. Tapi Deon tahu, mereka tidak tahu siapa yang sebenarnya berdiri di dalam.
Dia bukan Damian.
Dia bukan siapa-siapa.
Tapi juga dia semua orang.
Dan yang paling gila? Mungkin semua ini ada kaitannya. Mungkin tubuh-tubuh yang dia tempati, waktu-waktu yang dia lompati, bukan sekadar kecelakaan kosmis, tapi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Sesuatu yang menuntunnya menuju inti dari misteri yang belum pernah ia pahami tentang keluarganya, tentang ayahnya, tentang Agra, bahkan mungkin tentang dirinya sendiri.
Deon menatap pantulan itu sekali lagi, lebih dalam. "Oke, Damian atau siapa pun lo. Kalau gue harus hidup di tubuh lo untuk menemukan jawaban, yaudah. Tapi kita mainnya pake aturan gue sekarang."
Dan untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan ini dimulai, tatapan itu tatapan di cermin tak lagi tampak asing.
Tatapan itu punya nyala api yang sama seperti dulu.
Tatapan Deon.
__
Setelah meeting selesai dan derap sepatu formal mulai mereda di koridor luar, Deon yang kini terperangkap dalam tubuh Damian melangkah santai menuju ruangannya.
Ruang seorang manajer, penuh wibawa, rapi, dingin, dan terlalu sunyi untuk sebuah kehidupan yang begitu rumit.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia melepaskan jasnya perlahan, dengan gerakan malas dan nyaris otomatis, lalu menyangkutkannya di gantungan kayu elegan di samping lemari kecil berisi berbagai penghargaan yang bahkan bukan miliknya.
Ia berjalan pelan ke arah meja kerja, lalu berhenti, bersandar dengan kedua tangan menumpu di permukaan meja marmer hitam itu seolah mencari pegangan agar tidak jatuh, bukan karena tubuh Damian lelah, tapi karena jiwa Deon sudah terlalu penat berpindah-pindah realitas.
"Hidup gue kenapa bisa jadi kayak gini sih?" gumamnya pelan, setengah frustasi, setengah pasrah, tapi penuh nada sarkasme yang kental.
"Kemarin Agra, sekarang Damian. Gue ini apaan? Freelancer kehidupan orang lain?"
Dia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya panjang seperti mencoba membuang semua kegilaan yang menempel di paru-parunya.
"Dan sekarang, gue jadi manajer di perusahaan gede, perusahaan pesaing bokap gue sendiri. Kayak, universe lagi ngetroll gue. Maksudnya apa sih semua ini? Gue disuruh sabotase? Disuruh nyari tahu sesuatu? Atau ini cuma siksaan kosmik yang gak ada ujungnya?"
Ia terdiam sebentar, menatap layar komputer Damian yang menampilkan puluhan dokumen strategi bisnis, data penjualan, dan satu folder misterius berlabel CONFIDENTIAL: EYES ONLY.
Deon mendengus, lalu tertawa miris.
"Tapi ya, kalau dibandingin sama jadi Agra yang hidupnya nyempil di sudut kota, tiap hari kayak lagi audition buat jadi korban sinetron ini sih lumayan banget. At least, gue bisa ngopi mahal tanpa ngutang."
Dia berbalik, duduk di kursi empuk berlapis kulit, memutar perlahan sambil menatap jendela besar yang menghadap langit kota.
"Hidup gue kacau. Tapi kayaknya, ini bukan cuma soal bertahan hidup lagi. Ini udah soal ngungkap sesuatu yang lebih gede."
Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, matanya menyipit, penuh tanya.
"Damian, lo simpen apa sih sebenernya?"
Karena Deon tahu, di balik segala kenyamanan dan kemewahan ini, pasti ada sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Setelah duduk di kursi manajer yang empuknya bikin nagih, Deon memutar kursi itu pelan, merasa kayak bos besar di film-film. Kakinya selonjor, tangannya bersedekap di belakang kepala.
“Ya ampun, ini beneran sih hidup Damian? Kursinya kayak pelukan mahal. Meja lebar, AC dingin, wangi ruangan bukan bau kopi sachet, tapi bau sukses.”
Dia ngelirik ke sisi kiri meja, ada satu mesin kopi mini bermerk Italia jenis yang cuma bisa dia lihat di iklan YouTube selama menjadi Agra.
Di sampingnya, ada setumpuk dokumen, tablet kerja, dan satu bolpoin metalik yang beratnya aja udah kayak nulis pake harga saham.
“Gila, gue punya bolpen yang harganya mungkin bisa buat bayar cicilan motor Agra tiga bulan,” desisnya pelan.
Dia berdiri, iseng buka satu laci.
Isinya? Snack impor, vitamin kulit, dan sebotol minyak aromaterapi.
“Damian nih kerja apa healing?” gumam Deon, geli sendiri. “Gue baru jadi dia lima belas menit udah ngerasa lebih terurus dari hidup gue selama dua puluh lima tahun.”
Kemudian, notifikasi di tablet menyala. Jadwal hari itu muncul.
10.00 - Rapat divisi pemasaran
11.30 - Call dengan investor dari Tokyo
13.00 - Lunch meeting dengan CEO
15.00 - Rapat rahasia proyek D (lokasi tidak disebutkan)
Deon menatapnya lama.
"APAAN NIH?!" serunya refleks, lalu buru-buru menutup mulut sendiri. "Gue kira kerjaan manajer tuh rapat, duduk, gaji gede. Ini mah kayak main level boss di game strategi!"
Dia jalan ke arah rak buku di sisi dinding, buka satu binder.
Di dalamnya, bagan struktur perusahaan, data strategi pasar, dan foto-foto ayahnya.
Deon membeku.
Bukan cuma satu. Ada beberapa laporan evaluasi bisnis dan semuanya berisi analisis mendalam tentang perusahaan milik ayahnya. Seolah-olah Damian bukan cuma pesaing tapi sedang mengintai.
Deon menutupnya cepat-cepat, lalu duduk lagi, matanya nyalang.
“Oke. Gak panik. Gak panik. Tapi hidup Damian tuh bukan cuma hidup nyaman. Ini ada sesuatu di balik semua karpet mewah dan lampu gantung ini.”
Dia ambil mesin kopi, pencet tombol. Satu cangkir kopi panas keluar dengan suara elegan. Deon menyesapnya, pelan.
"Enak banget, tapi ada aftertaste rasa konspirasi nih kayaknya."
Dan dia tahu, sebelum hari ini berakhir, mungkin dia akan menemukan lebih dari yang bisa dia cerna.
Karena hidup sebagai Damian? Ternyata jauh lebih licin dari yang dia kira.
Tiba-tiba, ketukan terdengar dari pintu kayu besar yang mengkilap. Dua kali. Tegas, berat.
Deon menoleh cepat, sedikit terkejut masih belum terbiasa dengan dunia penuh etika kantor level atas ini.
Pintu terbuka, dan masuklah sosok pria bertubuh besar, bahunya lebar, senyumnya lebar juga, seakan dunia ini cuma tempat buat bercanda.
Jasnya sedikit terbuka, dasinya longgar, dan langkahnya percaya diri. Pria itu langsung masuk tanpa permisi seolah ruangan ini separuh miliknya juga.
“Lo kerja aja perasaan, ngopi di luar kek sekali-kali. Hidup lo hambar banget,” ucapnya sambil menjentikkan jari ke arah cangkir kopi di tangan Deon. “Minum kopi sendiri, bikin sendiri mana asyiknya?”
Deon menatap pria itu bingung wajahnya asing, tapi cara bicaranya akrab. Terlalu akrab.
Bobby. Nama itu melintas begitu saja di kepala. Teman Damian. Cowok besar, berisik, dan kayaknya doyan bercanda.
Deon membuka mulut mau menjawab santai, tapi yang keluar justru.
“Diem lo! Keluar. Kalau gak ada kepentingan, cabut!”
Seketika ruangan jadi hening.
Bobby terdiam sejenak, lalu tertawa keras. “Ya ampun, masih aja lo dingin kayak es batu di kutub. Santai, Dam. Gue cuma mampir!”
Deon terpaku. Tadi gue ngomong gitu? pikirnya. Tapi dia ngerasa nggak sepenuhnya sadar. Bukan dia yang milih kata-kata itu. Bukan dia yang niat bentak.
Dia melangkah mundur setengah, cangkir kopi di tangannya sedikit gemetar.
“Hah? Bukan gue, bukan gue yang ngomong kayak gitu,” desisnya dalam hati. Tapi mulutnya diam. Wajahnya tetap dingin. Tatapan Damian tetap menusuk seperti biasanya.
Bobby terkekeh lagi, melambai santai. “Oke oke, gue cabut. Gak usah dibekuin gitu matanya. Gue tahu lo sayang gue dalam hati kok.”
Pintu menutup. Hening kembali.
Deon berdiri kaku. Dadanya naik-turun. Dia menatap tangannya sendiri, lalu ke arah kaca jendela.
"Barusan tuh apa? Suara gue tapi bukan gue. Kalimatnya tuh bukan kalimat gue. Gaya ngomongnya dingin, tegas. Damian banget."
Tangannya menyentuh dada, napasnya berat. Sebuah pikiran menggedor pelan-pelan di dalam kepalanya.
“Apa gue gak sepenuhnya kendaliin tubuh ini? Apa Damian masih ada di sini? Di balik kulit ini?”
Dan untuk pertama kalinya, bukan cuma bingung dan takut Deon merasa dia berbagi tubuh ini.
Dan seseorang di dalam sana, sedang menunggu giliran bicara.