Setelah menyandang gelar sebagai seorang istri. Rima memutuskan berhenti berkarir agar bisa fokus mengurus suami dan anaknya. Dengan sepenuh hati Rima menyayangi mertua seperti menyayangi ibu kandungnya sendiri. Namun, bukannya kasih sayang dan kebahagiaan yang Rima dapatkan tetapi pengkhianatan dari kedua orang tersebut.
Dengan perasaan hancur, Rima berusaha bangkit dan membalas pengkhianatan suaminya. Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan diri lebih baik dari para pengkhianat. Hingga perlahan Rima bangkit dari keterpurukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon violla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelakor
11
Aku tahu. Tidak baik bila seorang istri menolak ajakan suami untuk melayaninya. Tapi, sungguh hati ini tidak rela disentuh olehnya setelah apa yang bang Rama lakukan padaku.
Di kamar ini aku hanya bisa menangis dalam diam. Menahan suara agar tidak didengar anakku. Aku ingin kuat semampu yang aku bisa. Untuk terakhir kali aku menangisi nasib rumah tanggaku yang berada di ujung tanduk.
Puas menangis, aku berbaring di samping Susan. Memeluk anakku itu dengan sayang. Aku berjanji akan membahagiakan putriku ini. Biarlah... ayanya melakukan apa yang ingin dia lakukan. Itu tidak akan mengurangi kebahagiaan Susan.
***
Pukul 03.00 wib aku terjaga dari tidur. Rasanya dada ini masih sesak juga. Ingin aku curahkan semua rasa sakit, kecewa dan luka yang tidak terlihat ini agar bisa mengurangi beban pikiran.
Aku tahu kemana aku harus mengadu. Kusucikan diri lalu kubentangkan sajadah untuk aku berkeluh kesah dan memohon petunjuk dari Sang pemilik kehidupan. Air mata tidak henti menetes kala aku meminta diberikan kekuatan.
Ya, aku harus tetap kuat dan berdiri tegak.
Tidak terasa hari mulai pagi. Aku menyiapkan nasi goreng kesukaan Susan untuk bekal ke sekolah. Lalu bersiap mengawali hari untuk bekerja. Bang Rama sudah siap dengan pakaian kerjanya ketika aku masuk ke kamar.
"Belum apa-apa kamu lupa menyiapkan pakaianku, " keluh Bang Rama padaku. Wajahnya tampak seperti benang kusut.
"Kayaknya abang harus terbiasa menyiapkanya sendiri. Karena aku juga udah punya kesibukan," jawabku sembari memilih pakaian di lemari.
Aku tersentak saat tanganku ditarik bang Rama. "Mau seperti apapun, wanita nggak akan bisa setara dengan pria. Jangan lupakan tugas utamamu sebagai seorang istri!" ketusnya padaku lalu pergi.
Beruntung hati ini buatan Tuhan, jika tidak aku bisa gila menghadapi bang Rama yang tidak tahu apa maunya. Dia yang inginkan aku bekerja, tapi dia juga yang tampak keberata. Mungkin, dia takut aku lebih berhasil darinya.
Kemeja warna putih dan celana panjang berbahan katun sudah melekat di tubuhku. Rambut panjang sengaja aku kuncir menyerupai ekor kuda. Make up natural dan lipstik warna peach membuat penampilanku tampak berdeda dari biasanya. Tidak ada daster, tidak ada wajah lusuh dan pucat pasih yang biasa menemani hariku. Aku tampak lebih segar sekarang.
"Ibu cantik banget. Susan hampir nggak ngenali ibu!"
Suara Susan membuat aku berpaling dari cermin. Aku tidak tahu ntah sejak kapan anakku itu berdiri di ambang pintu kamar.
"Beneran ibu cantik?" Susan mengangguk. "Makasih, hari ini ibu yang anterin Susan ke sekolah. Sekarang, kita sarapan dulu. Ibu udah nyiapin nasi goreng spesial untuk kamu."
Susan bersorak senang dan menarik tanganku menuju dapur di mana bang Rama dan ibu sudah duduk di sana.
"Tumben wangi parfum, biasanya bauk bawang," celetuk ibu. "Nanti kalau kerja jangan kelayapan ke mana-mana."
"Tenang aja, Bu. Aku nggak akan lupa mana yang harus aku utamakan. Aku tahu ada keluarga yang menunggu di rumah. Jadi, aku nggak akan tertarik dengan apa yang ada di luar sana."
Aku bicara sambil menyiapkan nasi di piring untuk Susan, namun ekor mataku bisa melihat kalau sedari tadi bang Rama terus memandangiku. Kenapa? Apa dia terpesona dengan kecantikan istrinya ini? Atau ucapanku sudah menyinggung perasaannya.
"Kamu kerja naik apa"
Pertanyaan bang Rama membuat aku menatapnya. Bang Rama hampir tidak berkedip melihatku.
"Naik motor."
"Apa harus pakai pakaian itu dan dandan begitu?"
Bang Rama memerhatikan penampilanku. Matanya itu tampak terpesona seperti kami baru pertama kali ketemu dulu.
"Memangnya ada yang salah? Aku nggak mungkin kerja pakai daster 'kan?"
Bang Rama menghela nafas panjang, aku tahu dia tidak suka bila aku mematahkan ucapannya. Bang Rama tidak sadar kalau dia yang sudah memaksaku untuk mendebatnya.
***
Hari pertama kerja tidak begitu sulit. Memiliki pengalaman kerja membuat aku bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan kantor. Herannya, aku langsung diletakkan dibagian keuangan. Mulai pagi tadi aku disibukkan dengan laporan uang pengeluaran, pemasukan dan urusan gaji para karyawan.
"Gila! Lo kayak bukan anak bawang! Skil lo nggak diragukan lagi." Wita heran melihatku bekerja begitu fokus dan nyaris tanpa ada kesalahan.
"Kamu terlalu memuji."
"Beneran. Padahal, ini hari pertama kerja setelah 7 tahun 'kan? Selama ini lo pilih fokus ngurus keluarga daripada karir. Gue yakin suami lo pasti sayang banget sama lo. Secara lo berani ninggalin dunia lo demi ngurusin dia!"
Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Wita. Sebab, justru yang terjadi malah sebaliknya.
"Udah waktunya lunch, nih. Gue laper banget, makan yuk!" ajak Wita.
"Di kantin?"
Wita menggelengkan kepala. "Gue pengen makan di resto deket sini. Kita ke sana aja," ajaknya sembari menggandeng tanganku tanpa bisa aku hindari.
Restoran yang tidak jauh dari kantor kami tempuh menggunakan sepeda motor kesayanganku. Di jam makan siang seperti ini cukup padat dan kami tidak mau kalah dan langsung memesan makanan. Sembari menunggu makanan tiba, aku menjadi pendengar setia Wita yang sedari tadi tidak berhenti bercerita.
"Mbak Rima?"
Aku tersentak saat seseorang menyenggol lenganku sambil memanggil namaku.
"Citra?" Melihat Citra membuat aku ingin memakannya saat ini juga.
"Lagi lunch, Mbak? Aku boleh gabung, ya!" Citra langsung duduk tanpa dipersilakan.
"Siapa, Rim?" tanya Wita yang agaknya merasa terganggu.
"Oh, kenalan dia Citra manajer di tempat suamiku kerja."
Wajah Citra menjadi kaku dan dia salah tingkah. "Mbak Rima tau dari mana kalau aku ini manajernya mas Rama?"
Aku tidak lantas menjawab, sebab makanan yang kami pesan sedang dihidangkan.
"Kamu kecewa aku tahu kamu manjernya bang Rama?" tanyaku sembari menancapkan pi sau di steak yang ada di hadapanku. "Aku bahkan udah tau semuanya," imbuhku sembari menatap matanya tajam.
"Ta-tau apa?" Tenggorokan Citra naik turun seperti susah payah bicara.
"Menurutmu aku tahu apa? Dan apa ada yang aku nggak boleh tau tentang kalian? Ayolah, kenapa dari kemarin kalian terkesan merahasiakan pertemanan kalian dariku?"
Aku bicara sambil memasukkan potongan daging ke dalam mulutku. Membayangkan Citra yang aku kunyah saat ini. Sungguh, ingin sekali aku mencabik-cabik wajahnya itu.
"Ng-ngak ada, kok. Kami nggak ada yang kami rahasiakan dari Mbak,"kilah Citra.
"Manajernya cantik begini, nggak takut ntar suamimu bakalan kepincut? " tanya Wita tiba-tiba.
"Huh, kalau aku sih, terserah mereka ya. Cuma aku rasa itu nggak akan terjadi kalau mereka sama-sama punya harga diri, bukan begitu Citra?"
"Harga diri seperti apa, Mbak? Nggak ada yang salah dengan Cinta 'kan?" Citra kembali bertanya.
"Salah bila wanita mencintai suami wanita lain. Pun sebaliknya, bukan cinta namanya bila itu terjadi. Tapi, nafsu! Nafsu sesat yang kapan saja bisa menghancurkan hidupnya sendiri. Perempuan baik-baik pasti akan menjaga harga dirinya bukan malah sebaliknya! Harga diri wanita akan jatuh bila dia sudah menjadi pelakor!"