Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 1 Awal yang Tak Terduga
Hujan rintik-rintik menyambut kedatangan Galuh di kota Bandung sore itu. Langit kelabu seakan mencerminkan perasaannya campur aduk antara gugup, bingung, dan sedikit antusias. Galuh menatap layar ponselnya sekali lagi, memastikan alamat kos yang diberikan oleh pihak kampus. Ia baru saja diterima sebagai mahasiswa baru di Fakultas Sastra, dan menurut admin, ia akan menempati kos yang katanya “sudah disiapkan khusus untuk mahasiswa baru dari luar kota”.
Galuh menarik napas panjang. Ransel besar menggantung di punggungnya, sementara koper besar ia seret menyusuri trotoar sempit menuju sebuah gang kecil. Tak lama, ia berhenti di depan sebuah bangunan dua lantai sederhana tapi bersih. Sebuah plang kecil bertuliskan “KOS CENDANA – Putri & Putra” terpampang samar di sisi gerbang.
“Putri & Putra?” gumamnya pelan. Alisnya mengernyit. Ia pikir kampus akan menempatkannya di kos khusus putra. Tapi, mungkin mereka memang kehabisan kamar.
Galuh menghela napas, lalu menekan bel.
Butuh beberapa saat hingga akhirnya pintu terbuka. Seorang perempuan muncul, mengenakan hoodie abu-abu dan celana training. Rambut hitamnya diikat asal, wajahnya terlihat lelah dan… tidak terlalu ramah.
Galuh langsung menunduk sedikit, sopan. “Permisi, saya Galuh. Mahasiswa baru. Katanya saya tinggal di sini…”
Perempuan itu menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Masuk aja. Sandalnya taruh di rak. Kamar kamu di atas, paling pojok. Sebelah kamar saya.”
Galuh sedikit terkejut. “E-eh… Kakak juga tinggal di sini?”
“Ya. Saya Saras.”
Galuh mengangguk cepat. “Oh. Makasih ya, Kak Saras…”
Saras hanya diam, lalu berjalan kembali ke dalam tanpa menunggu Galuh masuk.
---
Di lantai dua, Galuh membuka pintu kamarnya dengan kunci yang digantung di pegangan pintu. Ruangannya cukup nyaman tidak besar, tapi bersih dan terang. Ada kasur single, meja belajar, dan lemari pakaian mungil. Jendela kecil di sisi kanan kamar memperlihatkan pemandangan atap rumah tetangga.
Setelah membereskan sebagian barang-barangnya, Galuh duduk di atas kasur, menatap langit-langit dengan pikiran melayang. Hari pertama pindah ke Bandung, dan sudah harus tinggal serumah dengan perempuan yang bahkan tidak dikenalnya. Apalagi, Saras bukan tipe perempuan yang mudah diajak bicara. Tatapannya dingin, ekspresinya datar.
Galuh mengingat kembali saat pertama menatap wajah Saras. Ada semacam aura misterius dalam dirinya. Bukan tipe yang genit atau terlalu sopan—tapi justru karena sikap acuhnya, Saras jadi terasa sulit dijangkau.
“Semoga nggak ribet tinggal serumah kayak gini…” gumamnya pelan, setengah mengeluh.
---
Malamnya, Galuh turun ke dapur untuk membuat teh hangat. Dapur kos cukup lengkap, dengan kompor gas, rice cooker, dan dispenser. Saat sedang menuang air panas ke dalam gelas, terdengar suara langkah dari arah tangga.
Saras muncul, mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Ia melirik sekilas ke arah Galuh, lalu berjalan menuju kulkas.
“Bikin teh ya?” tanyanya datar.
Galuh sedikit kaget. “Iya, Kak. Mau juga?”
Saras menggeleng. “Nggak. Cuma ambil air mineral.”
Galuh mengangguk sambil menatapnya diam-diam. Wajah Saras tanpa riasan terlihat lebih polos, tapi tetap saja... ada sesuatu yang membuat Galuh merasa harus menjaga jarak.
“Kak Saras semester berapa?” tanya Galuh pelan.
“Enam,” jawab Saras sambil menutup kulkas.
“Saya baru masuk Sastra. Kakak juga Sastra?”
Saras menoleh. Tatapannya sejenak menajam. “Iya. Kenapa?”
“Wah, berarti kita satu jurusan,” kata Galuh sambil tersenyum. “Kalau gitu, bisa sekalian nanya-nanya nanti.”
Saras tidak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis, lalu berbalik menuju tangga.
Galuh mengangkat gelas tehnya, lalu duduk di kursi dapur. Ia menghembuskan napas panjang.
“Dingin banget, ya…” bisiknya sambil menyeruput teh.
---
Keesokan paginya adalah hari pertama orientasi kampus. Galuh bangun lebih awal, bersiap dengan seragam putih-hitam yang diwajibkan panitia. Ia mengecek ulang semua dokumen di dalam map, lalu merapikan rambutnya di depan cermin.
Saat hendak keluar kamar, ia mendengar suara langkah cepat dari lorong. Pintu kamar Saras terbuka, dan gadis itu sudah siap dengan tas selempang kecil dan jaket hitam.
“Kak Saras mau ke kampus?” tanya Galuh, berusaha terdengar santai.
Saras mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Kita… bareng aja gimana? Saya juga belum tahu jalan,” kata Galuh, sedikit ragu.
Saras memandangnya beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, “Ya udah. Tapi jangan cerewet.”
Galuh menahan senyum. “Siap, Kak.”
---
Mereka naik motor matic milik Saras. Galuh duduk di belakang, agak kikuk, berusaha tidak menyentuh bahu Saras terlalu dekat. Perjalanan dari kos ke kampus hanya sekitar 15 menit, tapi bagi Galuh, itu terasa lebih lama karena ia terus memikirkan satu hal—bagaimana bisa dia tinggal satu atap dengan perempuan seperti Saras?
Di kampus, suasana ramai. Mahasiswa baru berkumpul di lapangan, dibagi berdasarkan jurusan. Galuh melambai ke Saras sebelum berpisah menuju kelompoknya.
Selama orientasi, Galuh tak bisa fokus sepenuhnya. Ia mencoba mendengarkan penjelasan panitia, tapi pikirannya terus melayang ke sosok Saras. Ada terlalu banyak pertanyaan dalam kepalanya.
Kenapa Saras tinggal di kos campur? Kenapa ia begitu tertutup? Dan… kenapa Galuh merasa ingin tahu lebih banyak tentangnya?
---
Saat sore tiba, Galuh kembali ke kos dengan tubuh lelah. Ia merebahkan diri di kasur tanpa melepas jaket. Baru hari pertama, tapi sudah terasa padat. Namun yang membuatnya lebih lelah bukan kegiatan kampus—melainkan pikirannya sendiri.
Ia mendengar suara pintu terbuka dari sebelah. Langkah ringan berjalan di lorong, lalu suara ketukan pelan di pintu kamarnya.
Tok… tok…
Galuh segera bangkit dan membuka pintu. Saras berdiri di depan, membawa segelas teh dalam cangkir putih.
“Minum dulu. Biar nggak drop,” katanya singkat.
Galuh melongo sejenak. “Eh… makasih banyak, Kak.”
Saras tidak berkata apa-apa lagi, langsung berjalan kembali ke kamarnya.
Galuh menatap cangkir di tangannya, lalu tersenyum keciL.
“Kayaknya dia nggak sedingin itu, kok…”
--