Membalas Pengkhianatan Suamiku

Membalas Pengkhianatan Suamiku

Menantu

Menantu

☘️Cerita ini hanya karangan semata, bukan kisah pribadi atau orang-orang yang ada di sekitarku☘️

Jangan lupa tinggalkan jejak, maacih

"Rima, kamu kok betah, sih tinggal sama mertuamu itu?" tanya Lusi saat aku melintasi rumahnya.

Aku terkesiap mendengarnya. "Pagi-pagi jangan ngajak gosip. Apa lagi tentang mertua."

Selain tidak baik untuk otak, jantung dan kesehatan aku juga tidak mau jadi sasaran mertua dan suamiku nanti. Aku punya kewajiban menjaga nama baik suami dan mertuaku meskipun terkadang menyebalkan.

"Nggak ngegosip kalau aku langsung ngomong sama kamu. Rima, kamu harus tau kalau selama ini mertuamu itu sering nyepelehin kamu dan nggak tulus sayang sama kamu."

Aku tidak mau terpancing. Selain takut salah bicara aku juga takut ada pihak ketiga yang sengaja ingin memecah belah keluargaku. Bisa gawat kalau aku menyampaikan ubi, tapi yang sampai di telinga mertua adalah kolak yang telah dibolak-balik.

"Jujur aku ragu mau kasih tau kamu karena aku takut kamu kepikiran. Tapi, kalau aku diam aja aku nggak tega liat kamu digosipin sama mertuamu itu."

Aku terdiam sejenak, perasaanku mulai tidak enak, selama ini Lusi selalu berkata jujur dan tidak pernah berniat jahat sedikitpun padaku.

"Kemarin, mertuamu membanding-bandingkan kamu sama menantunya yang lain. Katanya, kakak iparmu itu menantu yang paling pengertian. Kalau pulang selalu bawa oleh-oleh dan ngasih uang. Menantu yang no 2 juga begitu, hidupnya udah terjamin mapan, punya rumah warisan dari orang tuanya. Sementara Rima ... jangankan warisan, dulu bisa sekolah dan kuliah aja karena dapat beasiswa! Rumah orang tuanya di kampung aja mau roboh!"

Deg!!

Hatiku terasa sakit seperti dihantam palu godam. Ntah mengapa secara langsung aku merasa direndahkan. Aku memang berasal dari keluarga sederhana berbeda jauh dengan kedua iparku itu. Tapi, mengapa hati ini rasanya sangat sakit ketika ibu mertuaku sendiri membanding-bandingkan aku dengan ipar lain? Sementara selama ini ibu tidak pernah mengungkit atau mempermasalahkan tentang itu.

"Untuk apa bertahan di rumah itu? Mending kamu ajak suamimu itu pindah rumah biar ibu mertuamu tau rasa!"

"Beneran ibu bilang seperti itu?"

"Iya, banyak kok yang denger. Intinya ibunya Rama nyepelehin kamu. Tapi, gak segan memuji menantu yang lain."

"Aku nggak tahu kenapa ibu bisa ngomong begitu. Makasih kamu sudah sampaikan sama aku." Aku buru-buru pergi meskipun Lusi tetap memanggil namaku.

Jujur saja aku kecewa jika ibu mertua memang mengatakan hal demikian. Mengapa aku dibanding-bandingkan dengan mereka yang memang berbeda kelas denganku? Bukankah dari awal ibu tidak keberatan bermenantukan aku? Tapi mengapa di belakang ku ibu mertua mengungkit tentang harta? Apa ketulusanku selama ini tidak cukup untuk memenuhi kriteria sebagai menantunya?

Setibanya di rumah, aku langsung menyibukan diri di dapur . Memasak makanan untuk makan siang para penghuni rumah ini. Ya, beginilah rutinitasku setiap pagi. Masak tiga kali dalam satu hari. Ibu, adik ipar dan suamiku tidak mau makan dengan menu itu-itu saja.

"Kangkung lagi?" Ibu menggelengkan kepala melihatku. "Kamu nggak bosan hampir setiap hari makan itu-itu aja?"

"Hitung-hitung menghemat, Bu. Uang belanja yang dikasih bang Rama tidak terlalu besar hingga bisa makan enak setiap hari."

"Rama kerja cari uang untuk kita makan. Kenapa kamu harus menghemat? Hah, ibu jadi kangen sama Tanti dan Sarah. Kalau ada mereka ibu selalu makan enak!"

Aku tidak menghiraukan keluhan ibu, sebab ucapan Lusi tadi masih membuat pikiranku suntuk. Aku berusaha menahan mulutku agar tidak bicara yang bisa menyinggung perasaan ibu. Biar bagaimana pun ibu tetap harus aku hormati.

"Rima, jangan lupa besok bayar listrik," ucap ibu sembari berlalu ke kamar mandi.

Aku mendesahkan nafas panjang, berharap bisa tetap menjaga kewarasanku. Setelah menikah semua kebutuhan di rumah ini menjadi tanggung jawab suamiku. Sedangkan kedua abangnya angkat tangan. Selama ini aku tidak pernah keberatan karena aku mencintai keluarga ini dengan tulus. Tapi, hati ini tidak terima bila ibu membanding-bandingkan aku dengan para iparku itu.

Huh, memang yang jauh lebih harum daripada yang ada di dekat ibu.

***

Tumis kangkung yang aku masak siang tadi masih utuh. Bahkan, di atas meja sudah ada menu baru yang aku masak untuk makan malam. Tapi, ibu belum menyentuhnya sedikitpun.

Saat ini kami duduk di ruang tv sambil menunggu bang Rama.

"Kayaknya bang Rama lembur lagi, Bu. Lebih baik ibu makan duluan aja biar maghnya nggak kambuh."

"Nanti aja ibu masih nggak selera makan. Kalau kamu mau ya makan aja duluan. Nggak perlu nunggu Rama!" jawab ibu tanpa mengalihkan perhatiannya pada layar datar itu.

Aku hanya mengelus dada. Padahal aku nggak bermaksud makan mendahului bang Rama. Lagi-lagi ibu salah sangka padaku. Sudahlah, lebih baik diam daripada cekcok.

"Hore... ayah udah pulang! " Putriku Susan yang masih berusia lima tahun bersorak menyambut kedatangan ayahnya. Kulihat bang Rama datang membawa tiga kantung plastik warna putih berlogo makanan.

"Anak ayah, coba lihat apa yang ayah bawa untuk kamu." Bang Rama menyerahkan bawaannya padaku. "Ini bawa ke dapur untuk makan malam kita," ujarnya lagi sesaat sebelum menggendong Susan.

"Akhir-akhir ini abang pulangnya selalu kemalaman. Biasanya jam 5 udah di rumah."

Bang Rama yang tadinya tertawa bercanda dengan Susan langsung terdiam menatapku. Kulihat ekspresi wajahnya menjadi gugup.

"Kerjaan numpuk."

"Kamu bawa pesanan ibu?" Pertanyaan ibu menyita perhatian bang Rama. "Mana ayam gorengnya?"

"Iya, Bu. Ayo kita makan malam." Bang Rama berlalu ke dapur dengan masih menggendong Susan. Disusul ibu yang tampak lebih asusias.

"Jadi, ini pesanan ibu?"

Akhir-akhir ini bang Rama tampak Royal. Uang belanjaku selalu pas-pasan. Dapat uang dari mana? Tanggal gajian masih jauh.

***

Ayam goreng yang iklannya selalu muncul di televisi sudah tersaji di atas meja. Ibu dan Susan tampak lahap menyantapnya.

"Jangan siapkan makanan untuk Abang. Kamu makan saja," ucap Bang Rama sembari memainkan ponselnya. Sedari tadi setelah habis mandi senyumnya tidak berhenti mengembang seolah ada yang menarik hatinya. Dengan siapa bang Rama berkirim pesan?

"Abang udah makan? Terus siapa yang mau makan masakanku?"

"Makanya kamu masaknya yang enak. Jangan kangkung terus," sembur ibu padaku. "Ngikuti kamu ibu nggak bisa makan enak kayak begini."

Aku memilih mengalah, sebab tidak mau berdebat di depan Susan.

"Besok giliran bayar listrik jangan bilang uangnya nggak ada," gumamku, namun sepertinya bisa didengar Bang Rama.

"Iya, ini uangnya!" Bang Rama mengambil uang ratusan ribu dari dompet. Ia letakkan di atas meja tepat di hadapanku. "Besok kamu bayar, ya."

"Biar ibu aja yang bayar. Selama ini Rima terlalu boros. Takutnya uang listrik hangus juga!" Ibu mengambil uang itu sebelum aku menerimanya.

Terpopuler

Comments

Shinta Dewiana

Shinta Dewiana

wah..kayaknya di rama selingkuh ini...

2024-05-26

0

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

pasti selingkuh di belakang Rima

2024-03-07

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

tadi suruh bayar giliran liat duit aja langsung ijo

2024-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!