Senja Dan Derita

Di bawah terik matahari yang masih malu-malu memunculkan sinarnya, Senja sudah berperang dengan polusi udara dan melawan kantuknya. Sudah menjadi rutinitasnya seperti itu setiap hari, tapi hal itu tak membuat Senja bosan apalagi bermalas-malasan.

Namun, ada yang berbeda dengan hari ini. Hari Senja terasa suram dan tak bergairah setelah mendengar ucapan ibunya yang akan menikahkannya dengan pria kaya agar bisa melunasi hutangnya.

Senja bingung, banyak pertanyaan di kepalanya. Ia waktu kecil pernah mendengar kata-kata seperti ini 'kita sebagai anak tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tua, apalagi membelinya'. Senja masih tak habis pikir, bukankah menikah dengan siapapun atau sebanyak apapun dirinya memberikan uang, hal itu tidak akan pernah bisa dijadikan bayaran untuk ibunya?

Belum apa-apa Senja sudah membayangkan jika ia benar-benar menikah dengan pria kaya. Dan bagaimana kehidupannya nantinya, membayangkan saja Senja sudah ketakutan.

Takut tidak dicintai suaminya, takut jika harga dirinya di injak-injak, takut jika ia tak bahagia dengan pernikahannya. Ah semua ketakutan bercampur aduk jadi satu dan hal itu sukses membuat mood Senja memburuk.

"Kamu kenapa Sayang? Ada masalah? Aku tidak pernah melihat Senja yang seperti ini." Daren, pria yang jatuh hati dengan sosok Senja dan sudah menjalin hubungan selama dua tahun ini.

Daren membawa banyak perubahan di hidup Senja. Sosok Daren seperti cahaya dalam kegelapan yang berhasil membuat Senja sedikit lebih terang dan tahu jalan menuju kebahagiaan. Tapi mendengar kata ibunya kemarin, membuat Senja seperti kehilangan sinar kehidupannya, meskipun cahayanya masih berada di dekatnya.

"Nggak, kok. Aku nggak apa-apa, Kak. Apa aku terlihat sedih? Atau justru aku terlihat jelek?" tanya Senja berusaha membuat tawa di bibirnya.

"Senja ku nggak pernah jelek. Aku kenal kamu, kita juga dekat bukan hanya sekedar teman, kan? Apa yang kamu sembunyikan?"

"Nggak ada, Kak. Apa aku terlihat sedang menyembunyikan sesuatu? Kamu tahu aku, kan? Kamu adalah orang pertama yang selalu menjadi tempat mengadu buat aku. Kamu tempat aku curhat. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu dari kekasih yang bawel ini, ha?"

"Yakin, ya nggak ada apa-apa? Ya udah kalau gitu aku ke dapur dulu. Aku harus rajin bekerja buat halalin kamu, kan? Mau cepet atau pelan-pelan aja?" goda Daren.

Senja nampak berpikir, "Aku masih telalu muda untuk menikah, Kak. Tunggulah tiga sampai lima tahun lagi," pinta Senja.

"Tiga tahun, ya. Aku keburu sepuh nungguin kamu." Daren tertawa setelah itu. Ia membayangkan jika dirinya sudah benar-benar tua saat duduk di pelaminan dengan Senja.

"Apaan, sih. Masih dua puluh lima tahun, Kak. Belum uzur," balas Senja tertawa lalu membawa dirinya kabur ke belakang.

Daren hanya geleng kepala seraya berlalu dari ruangan berdinding kaca itu. Ia jatuh cinta dengan Senja saat tak sengaja melihatnya di salah satu kedai sederhana. Senja bersama dengan teman-temannya kala itu.

Daren terpesona dengan kecantikan alami yang Senja miliki. Ia pun memberanikan diri berkenalan dan mengantongi nomor ponsel Senja. Sejak saat itu Daren gencar mendekati Senja untuk menjadi kekasihnya.

Bukan hal yang mudah untuk mendekati Senja. Gadis itu terlalu cuek dan sangat susah untuk di dekati. Ia terlalu tertutup dan kaku. Namun hal itu tak membuat Daren lantas menyerah, justru ia semakin salut dan bangga jika bisa mendapatkan Senja. Ia adalah gadis yang langka bagi Daren.

Hingga satu tahun kemudian, Senja yang baru lulus SMA melamar bekerja di restoran tempat Daren bekerja sebagai koki. Sungguh kebetulan yang sangat luar biasa dan tak pernah ia sangka. Kesempatan untuk mendekati Senja lebih mudah dan cepat.

Dan yang benar saja, setelah beberapa bulan Senja dan Daren bekerja di tempat yang sama, mereka akhirnya menjalin hubungan secara serius hingga sekarang.

Senja tak pernah berubah, ia tak pernah menceritakan apapun mengenai penderitaan yang ia alami sejak kecil. Semuanya masih tertutup rapi dan rapat untuk dirinya sendiri. Bahkan dengan Daren sekalipun, satu-satunya pria yang membuatnya nyaman pun tak pernah ia jadikan tempat curhatan masa lalu dan deritanya. Yang Daren tahu, Senja adalah gadis sederhana pekerja keras dan tak punya Ayah. Hanya sebatas itu saja Daren tahu.

***

Prang!

Karang memecahkan celengan ayam yang ia simpan dari sekolah dasar. Tercecer uang kertas berbagai nominal yang berserakan. Ia berlutut lalu memungut uang-uang tersebut seraya menghitungnya.

"Lima ratus ribu. Uang ini tidak ada artinya di mata Papa. Harus berapa lama lagi aku mengumpulkan uang untuk liburan sama mereka. Apa aku harus kerja dulu?" gumam Karang menatap nanar uang pecahan di tangannya.

"Karang, apa yang pecah?" tanya Clara membuka pintu kamar anaknya.

Clara mengernyit begitu melihat celengan. Ia tak pernah tahu Karang memiliki celengan.

"Ini punya kamu? Kamu nabung? Kenapa kamu pecah? Kamu butuh sesuatu?" cerca Clara duduk di samping anaknya.

"Iya, aku butuh waktu Mama sama Papa. Aku pengen liburan sama kalian, selama ini aku nggak pernah liburan sama kalian. Kalian selalu mengirim ku ke rumah Nenek dan Kakek setiap liburan sekolah. Aku juga mau menghabiskan waktu bersama kalian. Tapi uangku nggak cukup untuk bayar waktu kalian." Karang menjawab seraya menyerahkan uang yang ia kumpulkan selama beberapa tahun.

Air muka Clara berubah seketika. Kedua bola matanya pun ikut memanas, semiskin itukah dirinya dan suaminya sampai mereka bekerja terus menerus dan melupakan anak semata wayangnya? Sungguh untuk hari ini ia sangat malu pada anak yang bahkan masih belum remaja itu.

"Kamu mau liburan bareng Mama sama Papa? Kita akan pergi liburan bersama." Clara berucap setelah berhasil menguasai dirinya sendiri.

"Uangku nggak cukup." Karang masih kekeh dengan uangnya yang kurang.

"Tidak, Mama dan Papa tidak perlu ini. Simpan saja atau kamu bisa beli apapun dengan uang ini. Kamu kalau mau sesuatu tinggal bilang kami, tidak perlu seperti ini. Kami masih mampu untuk membiayai apa yang kamu mau."

"Iya, kalian mampu membeli apapun untukku, tapi tidak dengan kebahagiaan ku. Kalian mencari ini, sampai kalian lupa sama aku." Karang mengangkat tangan yang ia gunakan untuk memegang uang. "Mama sama Papa yakin mau aku ajak liburan? Nggak sayang sama waktu yang terbuang? Kalian akan kehilangan uang karena aku nantinya," tambahnya.

Hati Clara terasa di remas dan dicengkram dengan kuat. Di lepas paksa dari tempatnya lalu dihempaskan begitu saja hingga bentuknya hancur tak lagi beraturan.

"Mama udah nggak kerja lagi atas permintaan Papa. Mama janji waktu Mama akan sepenuhnya buat kamu. Kita gantikan waktu yang hilang sekarang, ya. Mau ke mana pun Karang, Mama akan selalu ada. Mama akan selalu ada buat kamu, Nak. Mama Minta maaf, sudah melewatkan banyak waktu buat kamu. Mama tak memantau tumbuh kembang kamu." Clara memangkup wajah putra satu-satunya, menatap lekat manik mata yang nampak menggambarkan kesenduan.

"Mama mau gantikan waktu yang hilang? Nggak bisa, Ma. Waktu itu nggak bisa kembali, Mama sudah kehilangan masa kecilku."

Clara menarik tubuh Karang untuk ia masukkan ke dalam dekapannya. Ia tersedu dan tenggelam dalam tangisan penyesalan.