Janda hanyalah statusku.
Nadira Ayu, seorang gadis muda yang berparas cantik. Tak pernah terbayangkan oleh Nadira, jika dirinya akan menjadi seorang istri diusianya yang masih begitu muda.
Lika liku serta permasalahan dalam hidupnya seolah telah berhasil membuatnya terlempar dari keluarganya sendiri. Hingga pada suatu hari, dengan tanpa sengaja, dirinya dipertemukan dengan seorang gadis kecil yang begitu cantik.
Dan alangkah terkejutnya Nadira, saat gadis kecil itu menginginkannya untuk menjadi sang mommy baginya. Namun sayang, daddy dari gadis kecil itu memandang dirinya dengan sebelah mata hanya karena ia berstatus sebagai seorang janda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayuk Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bekerja Di Kota
Selamat Membaca
🌿🌿🌿🌿🌿
Kendaraan yang berbentuk seperti balok itu masih terus berjalan melewati jalanan serta re rumahan yang banyak berdiri dan menghiasi pinggiran jalan yang telah dilalui.
Sepasang bola mata indahnya masih setia menatap tepian jalan dari balik kaca bening yang transparan itu. Ya, saat ini, Nadira sedang dalam perjalanan menuju ibu kota.
Dan sepanjang dirinya berada di dalam bus, ia hanya diam. Terlebih, pikirannya masih terngiang akan ucapan sang mama yang begitu melukai hatinya bahkan hingga sangat membiru.
" Ingat, jangan pernah kembali lagi ke sini, karena keberadaan mu di sini adalah beban untuk kami. Jadi, pergilah entah kemana terserah kamu, yang penting, kamu jangan kembali lagi ke rumah ini ".
Itulah kalimat terakhir yang telah di ke camkan oleh mamanya sendiri, sebuah kalimat yang begitu tak pantas di ucapkan pada anaknya sendiri, sebelum dirinya benar - benar melangkah keluar dan pergi dari rumahnya.
Mengingat akan perlakuan keluarga nya sendiri, sangat membuat hati Nadira menjadi semakin sesak. Hidup dengan keluarga nya bertahun - tahun, sepanjang dirinya dibesarkan, Nadira sangatlah kurang mendapatkan kasih sayang. Andai jika boleh memilih, lebih baik dirinya dilahirkan dari keluarga yang begitu sangat sederhana namun bisa memberikan kasih sayang yang cukup untuknya.
" Ya Allah, sebenarnya apa salahku, kenapa keluarga ku tak pernah mau memberikan kasih sayang tulus mereka untuk ku, sebenarnya apa salah ku pada mereka ya Allah ". Batin Nadira menangis.
" Nak ". Seru seorang wanita paru baya yang saat ini tengah duduk bersama di samping Nadira.
" Eh, iya bu ". Sahut Nadira yang sedikit tersentak.
" Kamu mau kemana, dari tadi ibu perhatikan kamu hanya diam ". Sahut ibu itu bertanya dengan keramahannya.
" Saya, mau pergi ke kota bu, saya mau cari kerja di ibu kota ". Sahut Nadira apa adanya.
" Oh, jadi kamu mau ke ibu kota, kalau begitu sama dong seperti ibu nak, hari ini ibu mau kembali pulang ". Sahut ibu itu.
" Memangnya, ibu tinggal di sana? ". Tanya Nadira.
" Iya, ibu tinggal di sana, lebih tepatnya, ibu ikut suami ke ibu kota dan menetap tinggal di sana, ini ibu baru selesai berkunjung dari kampung, dan sekarang sudah mau pulang ". Sahut ibu itu.
Nadira pun mengangguk paham, ternyata, wanita paru baya yang ada di sampingnya ini memiliki tujuan yang sama dengannya.
" Nama kamu siapa nak, ibu lupa belum berkenalan ". Sahut ibu itu lagi dengan sedikit tersenyum kikkuk.
" Nama saya Nadira bu, sama, saya juga lupa belum berkenalan, nama ibu siapa? ". Tanya Nadira juga pada akhirnya.
" Nama ibu, Dewi nak ". Sahut bu Dewi dengan tersenyum.
" Nadira, kamu kan mau bekerja di kota, memangnya kamu bekerja apa di sana nak? ". Lanjut bu Dewi lagi.
" Dira masih belum bekerja bu, Dira masih akan ke sana, Dira masih mau cari kontrakan dulu sebelum melamar pekerjaan ". Sahut Nadira, karena memang itulah rencananya.
" Oh begitu ya, bagaimana kalau kamu bekerja di kafe ibu saja nak, selain itu kamu juga bisa tinggal di sana sama ibu ". Sahut bu Dewi.
" Benarkah bu, saya boleh bekerja di sana? ". Sahut Nadira yang sedikit tak percaya.
" Iya nak, kalau tidak boleh, untuk apa ibu menawarkan kamu bekerja. Ya itu sih kalau nak Dira mau, daripada nak Dira bekerja di luar, belum lagi masih harus membayar uang kontrakan, kan sayang uangnya nak, apalagi biaya hidup di ibu kota tidaklah murah ". Sahut bu Dewi yang berusaha memberitahu.
Untuk sesaat Nadira terdiam. Pekerjaan yang ditawarkan oleh bu Dewi menurutnya tidaklah sulit, hanya menjadi karyawan kafe, belum lagi bisa menginap di tempat itu, jika dirinya bisa menerima pekerjaan ini, sudah pasti tidak sulit baginya untuk bisa menabung.
" Bagaimana nak Dira, apa kamu mau?, ya namanya juga bekerja di kafe nak. Tapi ibu tutup kafe nya tidak sampai malam kok nak, ibu bukanya dari pukul enam pagi sampai pukul dua sore, setelah itu kafe di tutup nak, ya maklum nak, ibu tidak mau kalau bekerja sampai malam ". Sahut bu Dewi lagi.
" Mau bu, Dira sangat mau ". Sahut Nadira dengan begitu senangnya.
" Hemm... baiklah nak, berarti setelah sampai di kota, kamu bisa langsung tinggal di rumah ibu ". Sahut bu Dewi lagi dengan tersenyum.
" Iya bu terima kasih ". Sahut nya.
Akhirnya sesuatu yang sempat mengganggu pikirannya, kini sudah sedikit berkurang, ya setidaknya satu hal yang membebani pikiran Nadira bisa berkurang meski itu hanya satu. Selain memikirkan akan masalah yang dialami nya, Nadira juga memikirkan tentang pekerjaan apa yang akan dirinya dapatkan setelah sampai di ibu kota. Dan sekarang, tanpa bisa disangka, dengan begitu mudahnya dirinya sudah mendapat pekerjaan dari orang baik.
Nadira begitu sangat senang dan bersyukur, karena dengan dirinya memiliki pekerjaan, bisa menjadi awal yang baik untuk bisa memperbaiki masa depannya.
Kini Nadira dengan bu Dewi kembali melanjutkan perbincangan mereka, dan tak lupa bu Dewi pada akhirnya menawarkan sebungkus roti untuk mereka makan bersama. Maklum jika mereka merasa lapar saat dalam perjalanan, karena waktu menuju ibu kota tidaklah sebentar.
*****
Dua orang wanita berbeda generasi itu, kini telah sampai dan melangkah bersama menuju ke salah satu rumah minimalis namun masih layak di tempati, di mana di samping rumah itu ada sebuah toko yang tak terlalu kecil yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah itu sendiri.
Memang posisi rumahnya tak terlalu dekat dengan jalan raya, namun area di tempat ini cukup strategis karena kondisi lingkungan yang cukup ramai.
" Bu, jadi ini rumah ibu? ". Tanya Nadira setelah ia dan juga bu Dewi hampir mendekati teras rumah itu.
" Iya nak, benar sekali, ya rumah ibu memang tidak sebesar rumah - rumah orang kaya karena ibu memang bukan orang kaya nak ". Sahut bu Dewi dengan tersenyum simpul.
" Tidak masalah bu, mau rumah sederhana sekalipun yang penting kan bisa membuat orang yang tinggal di dalamnya bisa hidup tenang, untuk apa rumah besar jika penghuninya tak bisa memiliki hidup tentram ". Sahut Nadira yang juga tersenyum.
" Iya, kamu benar sekali nak ". Sahut bu Dewi.
Ya, bukan tanpa sebab Nadira berkata seperti itu. Memang benar rumah bu Dewi tak sebesar rumahnya di kampung, namun Nadira bisa melihat jika rumah sederhana ini mampu menampung penghuninya untuk bisa hidup damai, tidak seperti rumahnya sendiri, di mana Nadira begitu tak dianggap sebagai anggota keluarga di sana.
Dan kini, Nadira bersama bu Dewi pun telah berada di dalam rumah. Terawat, itulah yang pertama kali Nadira dapatkan setelah melihat ruangan rumah bu Dewi.
" Nak, di rumah ibu ini hanya ada tiga ruang kamar, satu kamar untuk ibu, satu kamar lagi digunakan menjadi ruang ibadah, dan satunya lagi untuk putri ibu ". Tutur bu Dewi menjelaskan.
" Untuk kamarmu sebentar dulu ya nak, biar ibu rapikan dulu kamar yang untuk beribadah itu menjadi kamarmu, jadi, kalau kita mau sholat, sholat nya di kamar masing - masing saja ". Tutur bu Dewi yang menjelaskan.
" Maafkan Dira ya bu, kedatangan Dira kemari menjadi merepotkan ibu ". Sahut Nadira yang merasa tak enak hati.
" Kata siapa yang merepotkan, tidak, kamu sama sekali tidak merepotkan nak, justru ibu sangat senang kalau kamu tinggal di sini, karena suasana rumah menjadi bertambah agak ramai karena penghuninya bertambah, ya maklumlah nak, kan ibu tinggalnya hanya berdua dengan putri ibu ". Sahut bu Dewi.
" Hah, jadi ibu hanya tinggal berdua dengan anak ibu, lalu di mana suami ibu? ". Tanya Nadira yang merasa heran, pasalnya Nadira masih ingat betul dari pengakuan buka Dewi jika bu Dewi tinggal memetap di daerah ini karena ikut suaminya.
Bu Dewi pun tersenyum pada Nadira.
" Suami ibu sudah meninggal nak, suami ibu sudah meninggal semenjak tujuh tahun yang lalu ". Sahut bu Dewi dengan sedikit tersenyum hambar.
" Ya Allah, bu, maafkan Dira, Dira tidak tahu jika suami ibu sudah meninggal, maafkan Dira ". Sahut Nadira dengan rasa bersalah.
" Tidak apa - apa nak, tidak perlu meminta maaf, semua sudah menjadi kehendak Tuhan ". Sahut bu Dewi tersenyum agar Nadira tak merasa bersalah.
Masih belum selesai dua wanita berbeda generasi itu mengobrol, tanpa mereka sadari, nampak ada seseorang yang sampai di teras rumah.
" Assalamualaikum ". Seru dalam seorang gadis yang hendak memasuki pintu rumahnya.
" Waalaikumsalam ". Sahut Nadira dan bu Dewi.
" Ibu, ibu kapan datang, kenapa tidak menelfon Putri ". Tanya gadis itu yang bernama Putri sebelum ia mencium tangan ibunya.
" Baru saja nak, tidak sampai sepuluh menit, bagaimana kamu sudah pulang kuliah? ". Sahut bu Dewi setelah menerima uluran tangan dari putrinya.
" Sudah bu ". Sahut Putri, lalu gadis itupun memandang sosok wanita yang ada di depan ibunya.
" Bu, dia siapa? ". Tanya Putri.
" Oh, ini nak kenalkan, gadis ini namanya Nadira, Dira akan tinggal di sini dengan kita nak ". Sahut bu Dewi.
Putri yang melihat sosok Nadira menjadi tersenyum, sepertinya gadis di depannya ini adalah gadis baik - baik.
" Hai, aku Putri, senang bisa mengenalmu ". Sapa Putri dengan mengulurkan tangannya pada Nadira.
" Saya, Nadira mbak ". Sahut Nadira dengan sopan dengan menerima uluran tangan dari Putri.
" Kok kamu panggil aku dengan sebutan mbak sih, memangnya aku ini seperti mbak - mbak apa, jangan panggil mbak ya, panggil saja aku Putri ". Sahut Putri dengan sedikit meledek Nadira.
" Eh, i-iya Put ". Sahut Nadira sedikit kikkuk.
" Sudah, santai saja, jangan terlalu kaku di depan ku, aku ini orangnya santai kok ". Sahut Putri dengan gayanya yang memang sedikit humoris.
" Ya sudah, kalau begitu ibu mau menepikan ranjang sholat dulu ya nak, soalnya nak Dira akan tidur di sana ". Seru bu Dewi pada putrinya.
" Loh, untuk apa Dira tidur di sana bu, lebih baik Dira tidur di kamar Putri saja bu, kan kamar Putri lebih luas daripada kamar yang lain ". Sahut Putri.
" Iya, benar juga kamu nak ".
" Bagaimana nak Dira, apa kamu mau tidur sekamar dengan Putri? ". Tawar bu Dewi.
" Dira sebenarnya kalau tidur di kamar manapun tidak masalah bu, tapi, kalau tidur di kamar Putri, rasanya itu tidak pantas ". Sahut Nadira yang merasa tak enak hati.
" Apanya yang tidak pantas sih, sudah, kamu tidur di kamar aku saja Dira, kan lumayan aku ada temannya ". Sahut Putri.
" Mana koper mu, ayo bawa saja masuk ke kamar ku ". Putus Putri pada akhirnya, lalu gadis itupun melenggang pergi begitu saja menuju kamar nya.
Bu Dewi yang melihat tingkah putrinya hanya bisa menggeleng. Bukan Putri namanya jika tak seperti itu.
" Ayo nak Dira, bawa koper mu ke kamar Putri, turuti saja apa mau dia, Putri memang seperti itu anaknya nak ". Sahut bu Dewi dengan mengelus bahu Nadira.
" Baiklah bu ". Sahut Nadira pada akhirnya, lalu gadis itupun mulai menggiring koper nya menuju kamar Putri.
Nadira sangat beruntung bisa bertemu dengan bu Dewi dan juga Putri jika tidak bertemu dengan mereka, entahlah bagaimana nasibnya saat ini.
Bersambung..........
🙏🙏🙏🙏🙏❤❤❤❤❤
🌿🌿🌿🌿🌿