Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Welcome!!!
Here I am. Akhirnya setelah empat jam sekian menit di kereta, kami sampai di Stasiun Rambipuji. Melanjutkan perjalanan menuju mess, dan tentunya melapor terlebih dahulu di pos induk. Ah, aroma hutan memang candu, aku selalu menyukainya. Aroma lembab nan segar ini menimbulkan rasa rindu yang abadi, bagiku. Aku mencintai hutan, begitupun dengan gunung, aku suka cara mereka mendekapku. Hutan dengan tenangnya, sedang gunung dengan kabutnya.
Dengan melebur bersama alam, aku merasa damai. Hm, aku merindukan seseorang yang sering bersamaku ketika menikmati damai ini. Biarlah, mungkin dengan berjarak, akan memberi ruang untuk hati, apakah layak menjadi rumah atau hanya sekedar singgah. Aku hanya perlu waktu, karena selama ini, kami tak pernah terpisah. Walau terpisah jarak, namun komunikasi melalui ponsel tak pernah terabai.
Aku terdiam cukup lama, bermonolog dengan hati. Ku lihat Vita mengeratkan jaketnya, sepertinya ia mulai kedinginan.
"Dingin, buk?" godaku.
"Ho'oh, aku kira ga bakal sedingin ini. Padahal loh, Malang aja udah adem," jawabnya.
"Kan lembab, ntar kalo vegetasinya hutan hujan, ya bakal tambah dingin, nyamuknya juga bakal banyak."
"Iya? Kita bawa lotion anti nyamuk, kan? Amanlah."
"Iya, aman. Kamu laper gak? Makan aja, Adit juga, sama itu temennya yang bawa mobil, belum kenalan kita, namanya siapa, mas? Saya Adara," sapaku pada seseorang yang tengah berada dibelakang kemudi.
"Saya Said, mbak. Sepantaran Adit, panggil nama aja, biar lebih akrab."
"Ok, ngemil dulu, Id, ato minum, Vit jangan dikekepin sendiri itu ransum!"
Vita melotot. "Hih, ini lho tinggal bilang mau apa, biar aku yang ambil. Kamu mau apa, Dit? Said juga mau apa? Minum a? Nih." Ia menyodorkan air mineral botol pada Said.
"Makasih, Mbak Vita," ucap Said yang dijawab dengan deheman oleh Vita.
"Masih lama nih?" tanyaku pada mereka.
"Dua puluh menit lagi sampe. Mess nya emang di tengah banget. Itu juga lagi rame, tadi siang rombongan dari kampus Jawa Barat dateng. Mau penelitian bunga sih katanya dari yang saya dengar." Said menjelaskan.
Aku beroh ria, seperti yang Reyhan bilang tadi sore, sebelum jaringan selulernya menghilang tanpa jejak. Rasanya tak sabar, aku ingin segera melebur bersama seluruh populasi hutan ini. Sabar, Ara! Tunggu beberapa jam lagi ucapku dalam hati.
Tepat seperti perkiraan Said, 20 menit kemudian, kami sampai disebuah bangunan yang terlihat ramai. Tampak Reyhan menghampiriku.
"Akhirnya nyampe juga ya, udah malem banget ini. Ntar aja bongkarannya, istirahat dulu. Nih!" Ia memberiku secangkir cokelat hangat, aku tersenyum sembari menerimanya.
"Thanks, Rey. Masih inget aja aku suka apa."
"Ingetlah, tiap pagi selama enam tahun berbagi cokelat hangat sama teman sebangku. Ga bakal terlupa sih. Gimana? Aku masih disayang sama kamu kan Ar?" tanyanya sembari memainkan alis, aku tertawa. Teringat masa bocah yang entahlah random-nya.
"Pastinya dong, Rey. Aku masih sayang kok, tenang aja. Ternyata aku ini orangnya setia yah, SD aja dari kelas 1 sampe 6 temen sebangkuku ga berubah, SMP sampe SMA sama Wulan terus. Pujaa kerang ajaib!!!"
"Hahaha... ternyata random nya masih sama."
"Hoooh, aku masih sama. Kamu yang berubah banyak, Rey. Sekarang tambah tinggi, udah berani masuk hutan pula."
"Iya dong, aku udah gede, Ra. Yakali bakal tetep boncel."
"Kamu udah ga takut petir juga dong?"
"Mmmm, kalo itu sih, masih. Ya gimana, suara petir tuh serem banget, astaga "
"Trus kalo nemu ujan disini gimana? Ibuk ga ada lho, hayoo ...."
"Selaw, aku bawa selimutnya Ibuk," jawabnya cengengesan, aku terbahak.
Reyhan ini memang teman sebangkuku dari kelas 1 sampai kelas 6. Dia anak yang cengeng dan penakut, sasaran empuk perundungan. Aku yang selalu membelanya, jargonku 'punya temen tuh di sayangin, bukan malah di nagisin'. Hal yang paling di takutinya adalah suara petir, ia akan berlindung dengan cara meringkuk di pangkuan Ibunya.
Kami duduk didepan tenda komando yang telah terpasang, aku memanggil Vita yang masih bengong di depan mobil. Entah apa yang dipikirkan.
"Vit, sini! Jangan ngelamun disitu, ntar disapa mbak happy, loh," tegurku, ia langsung berlari ke arah kami.
"Doanya serem amat kamu, Ra!" sungutnya.
"Ngga doa, tapi baiknya jangan ngelamun. Mana tau diucapin selamat datang kan, asal udah siaga," jawabku nyengir.
Reyhan memandangku. "Kamu masih sering liat begituan, Ra?"
Aku mengendikkan bahu, "Begituan apa? Yang jelas, biar ga anu," jawabku yang di sambut tampolan Vita. "Apaan, Vit?"
"Nganu apaan? Suka bener anuan," jawabnya.
"Makhluk astral maksudku." Reyhan meluruskan.
"Jangan diomongin, ntar keluar malah susah." Aku enggan menjawab.
Dari dulu aku memang menyembunyikan kekuranganku yang satu itu, dan diantara teman yang ku punya, hanya Reyhan yang tahu tentang itu. Malas rasanya jadi sasaran kepo orang banyak.
"Oiya, kenalin nih, Rey ini Vita, temen kuliahku dulu. Vita, ini Reyhan, temen SD ku. Temenan yang akur yak," pesanku dan diangguki keduanya.
Mereka ku biarkan mengobrol, mengakrabkan diri.
Aku menuju mobil, mengeluarkan daypack atau bisa ku sebut semi carrier karena memang menampung beban 50 liter. Mengeluarkan tenda dan mulai bersiap mendirikannya. Said yang melihatku, bergegas membantu.
"Ngga di dalem aja, mbak? Atau di tenda komando sekalian?" tanyanya.
"Nggak, enakan gini. Udah biasa kok ini. Lebih nyaman aja," jawabku.
"Oh, yaudah, dibantu aja biar cepet berdiri."
"Oke, makasih ya, Id."
Kami bekerja sambil ngobrol hal random hingga akhirnya pekerjaan selesai. Aku memindahkan barang Vita sekalian dan menatanya agar rapi dan menyisakan space untuk berbaring. Tenda yang ku bawa lumayan besar jika terisi oleh dua orang dengan tubuh kutilang macam kami. Setelah selesai, aku kembali ke tempat duduk Reyhan dan Vita.
"Istirahat yok, udah jam segini," ajakku pada mereka.
"Oh, oke. Aku ada briefing dulu sama tim. Selamat istirahat ya kalian," jawab Reyhan.
"Sipp. Duluan ya, Rey. Yuk, Vit." aku menggandeng lengan Vita menuju tenda kami.
"Langsung istirahat ya, Vit! cuci muka, gosok gigi, besok baru lanjut ngobrolin masa depan bareng Reyhan," godaku padanya.
"Ih si Ara, emang paling tahu deh. Ahaha ...."
"Heleh, kalo tertarik, mbok ya mupengnya di kondisiin gitu loh, Vit."
"Iya? Wah, ngga bisa, Ra. Setelannya emang udah kaya gini. Eh by the way kamu udah bilang ke Mas Dwi?"
"Apanya?"
"Kalo udah nyampe."
"Jaringannya disini macem jelangkung, matiin aja sekalian hp nya. Besok kalo mau ke peradaban deh. Aku juga mau ngomong sesuatu ke Mas Wik."
"Apaan?"
"Kepo ya si Maemunah," jawabku yang langsung dihadiahi toyoran keras Vita, aku hanya tertawa.
"Becandaaa, cuma mau bilang aku ada dimana aja sih, dia kan taunya aku di Malang, paling ngiranya aku lagi di TNBTS."
"Lha, ku kira udah dikasih tahu. Nyari penyakit emang ini manusia satu! Pasti doi khawatir banget."
"Tahu darimana?"
"Yee si kambing! Siapapun pasti tahu, emang elu?! Boong aja terus, ntar si Mas Dwi di embat orang, nangesss!"
"Nggak dong, itu artinya gue sama dia nggak berjodoh!"
"Basi! Seenggaknya, sebelum menikmati hasil akhir ada yang namanya berjuang. Nih ya, aku kasi tahu, jangan berusaha buat nutupin perasaan kamu! Ada yang namanya penyesalan diakhir nanti, jangan daftar buat nyesel! Kurang tulus apa Dwi sama kamu?! Coba kamu pikirin pelan-pelan pake hati, pelan-pelan tapi jalan, jangan jalan ditempat juga, Juleha! Paham?!"
"Kasi paham si Jule itu, Nem! Biar ga nyesel belakangan dia," godaku, Vita mencebik kesal.
"Dahlah, tidor aja. Ngantuk gue ngomong sama batu." Vita berbalik arah memunggungiku.
Aku kembali bermonolog dalam sepi, kamu bener, Vit. Aku mungkin bakal gegulingan kalo sampe itu terjadi. Ga rela rasanya sekedar bayangin Mas Uwik sama yang lain. Aku denger dia dideketin rekannya aja, udah panas dingin. Mungkin udah saatnya memulai. Ku harap, belum terlambat.
"Thanks, Vit. Lets start our journey," bisikku sambil memeluknya yang memunggungiku.