Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 : PELAMPIASAN
Pukul 07.30 pagi.
Asap tipis mengepul dari bibirku, menyatu dengan embun pagi yang masih pekat. Aku menyesap rokok itu dalam-dalam, menahan asap itu sejenak di paru-paruku, lalu menghembuskan keluar bersama helaan napas berat.
Rokok adalah satu-satunya pelampiasan yang ku izinkan untuk diriku sendiri; sebuah kebebasan kecil dan murah yang bisa ku nikmati tanpa perlu meminta izin atau merasa bersalah.
Aku duduk di atas tumpukan palet kayu bekas yang ku tata asal-asalan, di sudut sebuah gudang kosong yang sudah lama ditinggalkan. Tempat itu terletak sekitar tiga ratus meter dari rumah—cukup jauh untuk memastikan tidak ada yang bisa mendengar tangisanku, tapi cukup dekat jika tiba-tiba Ibu membutuhkanku.
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding gudang, menerangi debu yang menari di udara. Bau apek, debu, dan kayu tua adalah aroma ‘rumah keduaku’. Di sinilah aku menumpahkan semua kekesalan yang ku pendam semalaman, bahkan yang ku pendam bertahun-tahun.
***
Aku membuang puntung rokokku yang kedua. Aku merogoh saku celana kerjaku, mengambil ponsel. Ada beberapa notifikasi: pesan dari Zunai, beberapa grup, dan yang paling menonjol, empat panggilan tak terjawab dan dua pesan dari Mas Rifal.
Aku mengabaikan panggilan itu, dan membuka pesan Mas Rifal.
Mas Rifal (07.05): Shill, kamu di mana? Sudah di rumah? Kabari aku, ya.
Mas Rifal (07.15): Ashilla, aku tungguin di pos satpam, kamu nggak ada. Kalau lagi ada masalah, jangan sendirian. Aku khawatir. Balas, ya.
Aku menggigit bibir bawahku. Perasaan bersalah menyeruak. Mas Rifal selalu baik. Selalu ada untukku. Tapi, aku sedang tidak ingin berinteraksi dengan siapa pun yang mengenalku. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri, tanpa topeng Ashilla yang kuat dan ceria di pabrik, atau Ashilla yang patuh dan berkorban di rumah.
Aku menekan tombol panggil.
“Halo, Mas...” Suaraku serak dan agak parau karena tangis dan asap rokok.
“Astaga, Ashilla! Kamu di mana? Suaramu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?” Suara Mas Rifal terdengar lega bercampur panik.
“Aku baik-baik aja, Mas. Maaf nggak balas pesannya. Aku... lagi di luar, Mas. Sendirian. Aku butuh waktu sebentar. Jangan khawatir, aku sebentar lagi pulang,” jelasku, mencoba mengendalikan nada suaraku agar terdengar normal.
“Di luar di mana? Pulang, Shill. Udah pagi. Kamu harus istirahat. Nanti kamu sakit.”
Aku tahu Mas Rifal tulus. Namun, aku tidak bisa. Jika aku pulang sekarang, aku akan bertemu Ayah—mungkin Ayah akan marah lagi, atau mungkin Ayah akan meminta uang. Aku tidak siap menghadapi salah satunya.
“Sebentar lagi, Mas. Aku janji. Aku nggak mau pulang, Mas. Belum sekarang. Aku Cuma mau nikmatin udara pagi di sini. Udah ya, Mas, aku tutup dulu. Aku charge HP-nya lagi. Makasih udah khawatir.”
Aku segera mematikan panggilan itu sebelum Mas Rifal sempat membalas. Aku menghela napas, lalu meletakkan ponselku, dan menyandarkan kepala ke dinding kayu.
Aku menutup mata, membayangkan betapa indahnya jika aku bisa pergi dari sini. Pergi dari kota ini, pergi dari pabrik, pergi dari Ayah.
Seandainya aku punya cukup uang untuk menyewa kamar kecil dan kuliah—melanjutkan impian yang tertunda.
Tiba-tiba, mataku kembali terbuka. Aku melihat ada bayangan bergerak di sudut pandanganku, diikuti suara batuk keras dan gesekan sandal jepit di lantai.
“Siapa di sana?” seruku, waspada.
Bayangan itu mendekat. Itu adalah Andra, teman satu desa yang sering kumpul bersamaku dan beberapa teman lain di gudang ini. Gudang ini memang tempat nongkrong favorit kami—tempat yang aman untuk merokok, minum sedikit, atau sekadar meluapkan kekesalan tanpa didengar orang rumah.
“Santai, Shill. Gue kira siapa,” kata Andra sambil menguap lebar. Matanya terlihat merah dan sembap.
“Lo udah pulang kerja? Pagi amat udah di sini.” Andra berjalan mendekat, mengeluarkan sebungkus rokok lusuh dari saku jaketnya, dan menyalakannya. Aroma alkohol tipis masih tercium dari napasnya.
“Gue baru selesai shift, Dra. Lo kenapa baru bangun?” tanyaku. Andra biasanya baru pulang dini hari setelah sesi mabuk-mabukan.
“Semalem nggak pulang. Ketiduran di pos sana,” jawabnya santai, menunjuk ke arah pos kamling desa. “Gue kira lo nggak ke sini. Biasanya lo langsung pulang kalau udah capek banget.”
“Gue butuh rokok, Dra. Lebih dari butuh tidur,” kataku singkat, lalu menghela napas.
Andra tertawa kecil.
“Tumben. Pasti ada masalah besar ini. Gimana, Bapak lo berulah lagi?”
Aku hanya mengangguk, menyandarkan kepala ke dinding kayu. Andra adalah salah satu orang yang tahu persis bagaimana situasi di rumahku, karena dia sering melihat drama Ayah dan Ibuku dari dekat.
“Biasalah, kan. Mau gimana lagi,” kataku getir.
“Gaji gue habis lagi, Dra. Semua buat bayar utang Ayah. Gue capek kayak gini terus. Kapan gue bisa keluar dari sini?”
Andra duduk di sebelahku, menyodorkan sebungkus rokok barunya kepadaku. Aku mengambilnya tanpa banyak bicara.
“Ya kan emang itu gunanya kita di sini, Shill,” ujar Andra sambil tertawa, nadanya sedikit sarkastis. “Mabok, ngerokok, ngilang sebentar dari rumah. Lupakan masalah lo. Lo emang nggak bisa berharap banyak dari rumah lo, kan? Udah, nikmatin aja dulu kebebasan lo yang Cuma satu jam ini. Besok, balik lagi kerja, cari duit, bayar utang. Itu takdir.”
Kata-kata Andra, yang biasanya ku anggap sebagai hiburan, kini terasa seperti dinding penjara. Dia benar, ini adalah takdir kami, anak-anak muda di desa ini: bekerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, atau lebih parah, melunasi dosa orang tua. Dan satu-satunya pelarian adalah gudang kosong, rokok, dan alkohol.
“Sampai kapan kita harus kayak gini terus, Dra? Nggak ada cara lain?” tanyaku, menatap lurus ke depan, ke dinding gudang yang kusam.
Andra membuang puntung rokoknya, menginjaknya dengan ujung sepatu bot usang.
“Cara lain? Ya nikah, Shill. Cari cowok yang kaya, terus lo angkat kaki dari rumah. Selain itu? Nggak ada. Kita Cuma tamatan SMA, Shill. Atau lo mau minggat?” Dia tertawa terbahak-bahak.
Tawanya membuatku kesal. Aku bangkit, mengambil tasku.
“Gue balik, Dra. Lo mau di sini terus?”
Andra menyeringai. “Ya iyalah. Ngantuk gue. Lo mau ke mana? Tumben nggak ngejogrok di sini sampai siang.”
“Gue... gue mau pulang. Gue harus nemuin Ibu. Dan gue harus mulai mikir.”
“Mikir apa?”
“Mikir gimana caranya gue nggak harus balik lagi ke gudang ini Cuma buat nangis dan ngerokok.”
Aku melangkah keluar dari gudang, meninggalkan Andra sendirian. Kata-kata Andra tentang ‘takdir’ dan ‘pelarian’ membuatku muak. Aku tahu dia tidak bermaksud jahat, tapi aku tidak mau terjebak dalam mentalitas seperti itu. Mas Rifal benar, aku harus kuat.
...****************...
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,