Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitnah
Lima tahun sudah berlalu, kini Ratih kembali melahirkan anak laki-laki. Kekhawatiran Rudy akan Wulan pun tidak begitu terasa, karena hari-hari yang mereka lalui pun tampak biasa saja.
Saat itu Wulan sudah mulai belajar menulis dan menghapal angka-angka persiapan masuk sekolah. Namun beberapa hari ini Wulan demam tinggi sehingga membuat orang tuanya khawatir.
"Mas, tolong jemput Mbah Mirah, aku takut Wulan kenapa-napa." ucap Ratih khawatir, mengelus kening Wulan yang terasa panas. Tapi tak bisa maksimal mengurus Wulan karena Dia baru saja melahirkan.
"Baiklah Dek, kamu jaga Jaka dan Wulan. Aku akan segera kembali bersama Mbah Mirah."
Ratih mengangguk, dan berangkatlah Rudy menjemput Mbah Mirah, dukun beranak yang sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri.
Tak berapa lama kemudian, tibalah si Mbah di rumah panggung itu. Perempuan tua itu menenteng kantong plastik hitam di tangannya.
"Mbah!" Wulan bangkit, duduk di ranjangnya melihat Mbah Mirah datang.
"Nduk, kamu kenapa? Demam?" si Mbah memeluk gadis kecil itu, erat sambil mengelusnya.
Wulan mengangguk, wajahnya pucat.
"Minum dulu ya Nduk." Mbah Mirah membuka tutup botol yang di keluarkan dari kantong plastik.
"Dingin Mbah, langu." kata Wulan, setelah meneguknya beberapa.
Mbah Mirah tersenyum, sambil meminta Wulan kembali tidur dan menyelimutinya. "Ini air temu hutan yang Mbah ambil di dekat jembatan, supaya Wulan Ndak demam lagi, panasnya hilang." ucap Mbah Mirah.
Wulan mengangguk, kemudian kembali memejamkan matanya.
"Rud, ini di rendam saja pakai air matang yang dingin. Nanti kalau Wulan bangun bisa minum lagi." titah Mbah Mirah, menyerahkan potongan tumbuhan mirip bambu, namun seratnya seperti tebu itu kepada Rudy. Tumbuhan yang berkhasiat menurunkan demam.
"Iya Mbah."
Pasangan suami istri itu sungguh lega dengan kedatangan Mbah Mirah. Bukan pasal dia seorang dukun, tapi pengetahuannya tentang obat-obatan sungguh mumpuni.
Namun sepertinya ketenangan Ratih dan Rudy tak berlangsung lama.
"Mbah, jangan pulang." suara cempreng tapi lembut milik Wulan terdengar hingga keluar kamar, Ratih pun masuk ke kamar anaknya, ada apa gerangan hingga Wulan merengek kepada si Mbah.
"Mbah nginap saja malam ini." pinta Ratih.
Ternyata mbah Mirah sedang mengemas kain jarik, memasukkan ke dalam kantong plastik yang tadi di bawahnya.
"Mbah harus pulang Nduk. Perasaan Mbah Ndak enak, kepikiran Mbah Nang mu." kata si Mbah, memang sejak sore terlihat gelisah.
"Tapi ini sudah malam." kata Ratih.
"Nganu Nduk_"
Tiba-tiba suara pintu di ketuk beserta panggilan cukup keras.
"Rudy! Ratih! Buka pintunya!"
Ketiga orang dewasa itu saling pandang seketika, Ratih melirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 21:50 Hampir jam sepuluh, siapakah yang datang?
Rudy segera beranjak dari duduknya, membukakan pintu. "Lho! Mas Anam?"
"Rud, apakah Mbah Mirah ada di sini?" tanya Anam.
"Ada Mas, ada." jawab Rudy, kemudian Mbah Mirah dan Ratih pun keluar melihat siapa yang datang.
"Anam, ono opo?" tanya Mbah Mirah.
"Itu Mbah! Si Wati Mbah." jawab Anam.
"Wati?" tanya Mbah Mirah heran.
"Iya Mbah, dia melahirkan di tengah jalan menuju rumah si Mbah. Tapi..."
"Tapi opo Nam?" desak Mbah Mirah, dia sungguh gugup dan khawatir, pastilah sudah terjadi hal tak baik sampai Anam mencari dirinya.
"Dia sudah meninggal." Jawab Anam.
"Inalillahi... Ya Allah." serentak ketiganya berkata.
"Ayo! Kita ke rumah si Mbah." kata Mbah Mirah.
"Aku antar Mbah." Rudy pun ikut bersama Mbah Mirah.
Perjalanan mereka cukup jauh. Rumput mulai berembun karena cuaca malam, sarung dan celana panjang tak lagi bisa menahan rasa dingin yang menyergap kaki mereka. Namun kaki tua Mbah Mirah tak mau kalah, bahkan jalannya begitu cepat setengah berlari.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketiga orang itu ketika sampai di rumah Mbah Mirah.
"Dar?" lirih Mbah Mirah menyebut nama seorang wanita yang memeluk Wati di teras gubuknya sambil menangis.
"Itu Dia! Perempuan tua yang sudah membuat anak ku mati!" teriak perempuan paruh baya itu menunjuk Mbah Mirah.
"Maksud kamu opo? Aku baru datang karena di jemput Anam?" jawab Mbah Mirah, Melihat sekeliling sudah banyak warga yang berkumpul. Padahal jarak rumah mereka masing-masing cukup jauh, mengingat mereka ada di area perkebunan dan hutan.
"Jangan percaya! Dia sengaja pergi karena tidak mau menolong anak ku. Dia berpura-pura tidak tahu, dia sengaja agar Wati anak ku mati!" perempuan bernama Darminah itu berteriak, menangis sejadi-jadinya.
"Dar! Koe ngomong opo? Mana mungkin aku menginginkan Wati mati! Dia itu keponakan ku!"
"Keponakan kata mu? Kenapa kamu tidak datang, Mas Rohman sudah memintamu datang sejak pagi!"
Mbah Mirah Semakin tercengang. "Rohman Ndak pernah datang! Tadi pagi aku ada di rumah." tegas Mbah Mirah.
"Bohong! Dia bilang, dia tidak mau datang. Dia bilang, dia tidak Sudi menolong Wati karena Wati itu wanita kotor! Dan hamil anak haram!" kata Rohman, suami Darminah.
"Man! Kamu jangan fitnah aku! Aku tidak pernah pergi dari rumah ini sebelum sore tadi Rudy menjemput ku." marah Mbah Mirah.
"Aku tidak fitnah! Aku saksinya!" jawab Rohman.
Jadilah semua warga berbisik-bisik marah, melirik Mbah Mirah dengan sinis.
"Tenang Pakde, tapi Mbah Mirah tidak mungkin seperti itu." bela Rudy.
"Halah! Kamu berkata seperti itu karena dia pilih kasih! Kamu tidak tahu saja, dia menyukai anakmu untuk di wariskan ilmu sesat suaminya!"
Semakin tercengang pula semua orang mendengar ucapan Rohman. Seolah mereka mengetahui rahasia Mbah Mirah dan suaminya yang selalu baik kepada keluarga Rudy selama ini. Semua itu tak lebih seperti kata pepatah, ada udang di balik batu. Meski ada kebaikan, tapi dengan maksud tertentu.
"Rohman! Tutup mulutmu!"
Suara bentakan terdengar memecah keributan, akhirnya suami Mbah Mirah datang. Pria itu baru saja pulang membawa seekor kijang kecil hasil buruannya.
"Nah! Ini dia pria berilmu sesat itu! Lihatlah tangannya penuh darah! Dia sudah membunuh anaknya Wati! Dia sudah menumbalkan anaknya Wati!"
"Benarkah itu?" tanya Pak De Suryo yang sejak tadi hanya diam mendengarkan. Diapun penasaran.
Suami Mbah Mirah tersenyum tipis, lalu melemparkan hewan hasil buruannya yang sudah tak berdaya itu ke Tanah.
"Tidakkah kalian lihat kalau aku baru saja menombak Menjangan muda ini?" ucapnya.
^^^Menjangan \= Kijang^^^
"Itu hanya alasan! Tadi ku lihat lampu rumah ini menyala! Lalu saat aku kembali sudah padam dan anaknya Wati menghilang. Tali pusarnya terputus seperti di potong orang yang sudah ahli. Padahal aku hanya memanggil Anam meminta bantuan. Jangan-jangan, dia berikan kepada hewan junjungannya!"
"Rohman!" teriak Mbah Suro itu mulai naik pitam, dia benar-benar tidak tahu perihal bayinya Wati. "Seburuk-buruknya penampilan ku, aku tidak pernah membunuh manusia!"
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya