Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
“Tian… maaf sudah merepotkanmu menjaga Lira,” ucap Liliana pelan begitu membuka mata, ia tak lagi berpura-pura tidur. Suaranya terdengar lemah, tapi senyum samar terbit di bibirnya.
“Lili, kamu sudah bangun?” Septian menoleh cepat, nada suaranya lembut. “Oh, ini tidak merepotkan. Aku sudah janji padamu untuk memberikan keluarga yang lengkap. Lira juga anakku.”
Septian sendiri tidak tahu, apakah kata-kata itu keluar dari hatinya atau hanya bagian dari rencana kebohongan yang ingin ia ciptakan demi satu tujuan, membuat Liliana percaya, agar sandiwara pernikahan itu bisa berjalan sesuai rencana dan Riana kembali padanya.
Rahayu yang sedari tadi memperhatikan keduanya hanya bisa menggeleng perlahan. Ada sesal yang menyesak di dadanya. Ia menatap Septian, lalu Liliana, dengan pandangan yang berat. Dulu, mungkin ia memang pernah memihak, terlalu sering membandingkan Riana dengan Liliana. Kini, ketika Riana tak lagi di sisinya, barulah ia menyadari ada yang benar-benar hilang. Dan yang lebih menyakitkan, anaknya kini terlihat semakin tersesat dalam pikirannya sendiri.
“Terima kasih, Tian,” ucap Liliana lirih seolah membiarkan Septian melakukan apapun yang lelaki itu inginkan, karena mau bagaimanapun nantinya ia akan memastikan dirinya akan berakhir menjadi istrinya.
Tapi ucapan sederhana itu justru membuat dada Rahayu bergemuruh.
Ia menatap Liliana tajam. “Sekarang kamu sudah baikan, Lili? Aku dengar kamu sampai melukai diri sendiri hanya supaya bisa bersama anakku.” Nada suaranya bergetar antara marah dan kecewa. “Kamu tahu kan, Septian itu suami adikmu sendiri? Dulu aku memang sempat mendukungmu dengan alasan kamu lebih dewasa, lebih perhatian… tapi setelah melihatmu seperti ini, Ibu jadi ragu. Masih pantaskah kamu menjadi bagian dari keluarga Prawira?”
Ruangan mendadak hening.
Septian menatap ibunya tak percaya. Kata-kata Rahayu barusan terasa aneh di telinganya, seolah ibunya bukan menolak, tapi diam-diam masih menyisakan ruang harapan untuk Liliana.
“Bu… ini—” suara Septian tercekat, tak tahu harus menjelaskan dari mana.
"Kepala ibu pusing Tian, Ibu mau pulang," sela Rahayu yang tak ingin mendengar lagi pendapat sang anak.
Liliana mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia bisa merasa Rahayu sekarang tidak menyukainya. Ia sudah sejauh ini tidak ingin semua gagal karena ada kerikil yang menghalanginya, sementara batu besar sudah ia singkirkan.
"Tian, kamu antar Ibu saja. Biar Lira sama aku," ucap Liliana mencoba untuk menunjukkan pengertiannya.
"Kamu serius?" tanya Septian.
"Iya, sini Lira nya."
Septian langsung menyerahkan Lira pada Liliana. Ia langsung menggandeng Rahayu dan mengantarkannya pulang, sambil berbisik, "Bu, jangan bertingkah seperti ini kamu ingin Riana kan?"
Rahayu hanya menarik napasnya dalam-dalam tak ingin menjawab ucapan anaknya. Ia lebih memilih segera meninggalkan ruangan itu.
Sementara di dalam ruangan, Liliana menatap pintu yang baru saja tertutup. Tatapannya berubah tajam, senyum tipis yang sebelumnya lembut kini perlahan berubah menjadi sinis.
Ia menatap bayi kecil di pelukannya dan mengelus pipinya pelan. “Lira sayang… sebentar lagi kita punya keluarga yang utuh, ya. Calon Papa kamu cuma butuh sedikit dorongan buat sadar.” Suaranya lembut, tapi nada di baliknya terdengar dingin dan penuh perhitungan.
Ia kemudian menoleh ke arah cermin kecil di sisi tempat tidur, merapikan rambutnya yang kusut dengan jemari. “Ibu mertua itu memang susah didekati,” gumamnya sambil mendengus pelan. “Tapi aku tahu cara meluluhkan hatinya. Orang seperti dia cuma butuh lihat aku jadi korban, pura-pura lemah, pura-pura sabar. Dan Septian? Dia terlalu bodoh buat sadar aku cuma main peran.”
Liliana tersenyum miring, senyum yang tak lagi menyimpan kelembutan, melainkan kepuasan licik. Dalam hatinya, Riana hanyalah bayangan yang harus disingkirkan sepenuhnya dari hidup Septian, tak boleh ada sedikit pun ruang tersisa untuk wanita itu.
“Sekarang,” gumamnya pelan sambil menatap bayi kecil di pelukannya, “kita bantu tantemu itu untuk segera pergi jauh dari calon papamu.”
Nada lembutnya terdengar manis, tapi matanya menyala dengan kebencian yang dingin. Ia segera meraih ponselnya dari meja, jarinya menekan layar dengan cepat. Nada sambung berdering beberapa kali sebelum akhirnya suara Riana terdengar di seberang.
“Riana,” sapa Liliana datar, seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka.
Suara di seberang terdengar dingin. “Apa yang kakak inginkan?”
Liliana tersenyum tipis, puas mendengar nada kesal itu. “Kita perlu bicara. Aku tunggu di belakang taman rumah sakit X.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan,” balas Riana cepat, nada suaranya menahan marah. Ia bahkan tak ingin mendengar suara kakaknya lebih lama dari itu.
Namun Liliana tahu cara menekan tombol yang tepat. Ia mencondongkan tubuh sedikit, seolah bisa menatap Riana dari jarak jauh. “Datang saja, Riana. Kalau tidak…” suaranya merendah, tajam seperti pisau, “kamu tahu betul sifat kakakmu ini, kan?”
Panggilan berakhir. Bunyi beep yang tersisa di telinga Riana membuatnya merinding, karena ia tahu, Liliana tak pernah main-main dengan ancamannya.
"Ada apa?" tanya Alif saat melihat wajah Riana menegang.
"Em... Tidak ada apa-apa," jawab Riana singkat sekali lagi ia tidak ingin merepotkan Alif.
"Kalau ada yang bisa aku bantu, kamu kasih tau aja. Ingat kamu gak sendirian, Riana," ucap Alif meyakinkan.
"Dok—"
"Kamu harus belajar panggil aku aa, jangan dok terus, bagaimana aku bisa secepatnya meminta kamu balas budi bertemu dengan nenek, kalau kamu saja belum terbiasa," sela Alif membuat Riana hanya bisa mengusap tengkuknya dengan canggung, wajahnya pun memanas.
Seolah senang melihat ekspresi di wajah Riana. Alif langsung mencondongkan tubuh sedikit, nada suaranya dibuat ringan tapi menggoda. “Kalau Aa terlalu susah, kamu bisa ganti kok… misalnya sayang.”
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️
kdang gmes sm riana yg lmah bgt....
yg kuat dong,tgas gt...jgn dkt2 nangis....