Arumi lengah, dia menganggap pernikahan yang dia bangun selama tujuh tahun ini baik baik saja, dia menganggap bahwa dia telah berhasil memenangkan hati suaminya, sikap dan tanggung jawab Yudha selama inilah yang membuatnya berfikir demikian.
Arumi tersadar ketika Yudha menemukan tambatan hati yang menurutnya mampu membuat hidupnya kembali bergairah.
Akankah Arumi mengijinkan suaminya mendua atau dia akan memilih berpisah, sungguh keduanya sama sama menghancurkan hatinya, terlebih untuk buah hati mereka!.
Mampukah Arumi mengiklaskan perjalanan hidup dan cintanya?
Mari kita ikuti kisah cinta mbak Arumi dalam HATI SUAMIKU BUKAN MILIKKU, yang penasaran dengan pertemuan awal mereka bisa baca kisahnya di IMPIAN DEKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rini sya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Positif Thinking
Arumi mondar-mandiri merasakan tak nyaman di perutnya. Berkali-kali dia menghubungi Yudha tapi panggilannya selalu ditolak. Arti dan Deka sudah pulang ke Jawa membawa serta ibu mertuanya.
Arumi bingung harus dengan siapa dia meminta tolong. Di Samarinda ini ia tak memiliki saudara atau teman dekat. Tak ingin mengambil resiko ia pun berinisiatif menelepon taksi online saja, dari pada kontraksinya bertambah parah. Benar saja, setelah ia berhasil menghubungi taksi. Rasa sakit yang ia rasakan makin sering datang. Akhirnya Arumi pun nekat pergi ke rumah sakit tanpa menunggu Yudha, suaminya. Dengan hati-hati ia menuruni anak tangga rumahnya sambil berteriak memanggil anak sulungnya.
"Dit, Dit, Ditya, abang!" panggil Arumi pada putranya.
Ditya yang mendengar suara seseorang memanggil pun segera keluar kamar dan mendatangi ibundanya. Beruntungnya Ditya anak yang tanggap dan pintar. Dia selalu ingat pesan abinya. Untuk menjaga Bunda dan adiknya ketika sang abi tak ada di rumah.
"Ya, Bunda!" saut Ditya.
"Bang, perut Bunda sakit banget. kayaknya dedek mau lahir," ucap Arumi sambil meringis menahan nyeri.
"Ditya telepon abi dulu ya, Bun," ucap Ditya langsung meminta ponsel bundanya. Sayangnya, panggilan telepon bocah itu ditolak oleh Yudha.
"Nggak bisa, Bun. Mungkin abi lagi rapat," jawab Ditya.
"Ya udah kita jalan aja, Bang. Itu taksinya udah nungguin," ajak Arumi.
Ditya langsung menggendong tas tenteng milik sang bunda dan memegang tangan wanita yang disayangginya ini, menuntunnya menuju taksi.
Di dalam taksi, kontraksi itu tiba-tiba datang lagi, membuat Arumi beberapa kali meringgis menahan sakit.
"Pak, tolong antar kami ke rumah sakit bersalin Harapan Bunda ya!" pinta Ditya pada supir taksi itu.
Arumi tersenyum. Rasanya beruntung sekali memiliki anak pintar seperti Ditya. Anak tampan ini juga sering mengantar bundanya periksa hingga membuat dia hafal nama rumah sakit yang dibutuhkan calon adik dan juga wanita yang melahirkannya ini.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Arumi berusaha tenang agar anak dan sopir taksi tak gugup. Wanita ayu ini terus mengelus perut dan berbicara sendiri pada anak yang ada di dalam kandungannya. Supaya bersabar sampai mereka benar-benar berada di tempat yang seharusnya mereka butuhkan.
Adek sabar sedikit ya sayang, ucap Arumi dalam hati.
"Dedek sabar ya," bisik Ditya sambil mencium dan mengelus perut bundanya
Arumi mencoba tersenyum. Meskipun, ia gelisah tanpa sebab. Bukan karena sakit di perut yang ia rasakan, terlebih pada panggilan telepon yang selalu ditolak oleh Yudha.
Tak lama berselang, mobil yang yang ditumpangi Arumi dan Ditya berhenti sejenak di lampu merah. Mata Arumi tak sengaja melihat mobil yang ada di sebelahnya. Perasaan tak nyaman itu tiba-tiba kembali menyerangnya. Terlebih saat mata cantiknya menangkap sesuatu yang tak ia kehendaki.
Dia tahu betul bahwa mobil yang ada di sebelahnya bukanlah mobil sang suami. Tetapi entah mengapa perasaanya mengatakan bahwa yang ada di dalam mobil tersebut adalah Yudha. Sang suami yang sedang bersanda gurau dengan seorang wanita. Untuk memastikan kecurigaanya, Arumi pun mengambil ponsel dan menghubungi nomer sang suami. Wanita ini berusaha sabar. Menunggu sebentar. Lalu, benar saja .... setelah beberapa saat ia pun melihat orang yang ia curigai meraih ponsel itu. Memencet tombol menolak panggilan. Berarti benar yang ia lihat, bahwa pria yang bersanda gurau dengan wanita di dalam mobil tersebut adalah sang suami.
Hancur rasanya hati Arumi mengetahui ini. Bagaimana tidak? Di saat dia membutuhkan suami tercintanya, pria itu malah asik bercanda dengan wanita lain.
Jantung arumi serasa sakit. Sangat sakit. Bagai tertusuk sembilu rasanya. Teremas keras. Remuk tak berbentuk. Terinjak tanpa kasihan. Entahlah, Arumi tak mampu mendeskripsikan lagi rasa yang kini ia rasakan. Rasa sakit akibat kontraksi yang ia rasakan diperutnya seperti tak ada apa-apanya dibanding ini. Tenggorokan Arumi serasa tercekik. i
Ingin rasanya mati saja.
Namun, bukan Arumi Fitriani namanya kalau tak mampu menyembunyikan rasa sakit itu. Wanita ayu ini masih berusaha positif thinking. Menguatkan hatinya, berusaha tidak menangis. Sebab, saat ini ia sedang bersama Ditya. Tentu saja ia tak ingin membuat sang putra curiga dan khawatir padanya.
Meskipun begitu, Arumi adalah wanita biasa yang punya rasa cemburu. Tak dipungkiri bahwa saat ini perasaannya terbakar. Arumi merasakan rasa sakit yang teramat sangat. Ingin sekali ia turun dari mobil dan berteriak memaki Yudha dan wanita yang begitu mudah bergelut manja di lengan sang suami. Yang nyata-nyata jika pria itu adalah miliknya, suami sahnya.
Arumi menghela napas dalam-dalam lalu berusaha menahan amarahnya. Menguatkan hatinya sendiri, memberi semangat dan kekuatan untuk batinnya sendiri dan dalam hati, wanita ini berucap, "Nanti sajalah aku tanyakan, mungkin wanita itu adalah patner kerja mas Yudha, aku nggak boleh suudzon begini. Sebelum ada kenyataan yang pasti."
Lampu merah telah berlalu. Taksi yang membawa mereka pun kembali melaju. Hingga Akhirnya sampai di tempat tujuan.
Beruntung sopir taksi itu sangat baik dan mengerti apa yang dibutuhkan penumpangnya. Dia langsung tanggap dan meminta bantuan pada tenaga medis yang ada di dalam.
Arumi sangat senang karena masih ada yang peduli padanya meskipun itu hanya seorang sopir taksi. Setidaknya ia dan anak-anaknya masih ada yang mau menolong. Tak lupa Arumi berucap terima kasih pada sopir taksi yang baik hati itu. Ditya pun sama. Anak ini sungguh tanggap dan santun. seperti ibunya.
Arumi dibawa menggunakan kursi roda oleh petugas medis yang sedang bertugas.
Ditya memberikan tas baju yang ia bawa pada suster yang akan membawa bundanya. Suster meminta Ditya menunggu di ruang tunggu dan berpesan pada anak malang itu untuk tidak kemana-mana. Bersyukur sekali anak ini pintar. Dia hanya duduk termenung seorang diri sambil menggenggam ponsel milik Arimi sembari berharap abinya akan menghubungi. Sayangnya sampai detik ini, itu tak terjadi.
Tak butuh waktu lama, mungkin sekitar tiga puluh menitan, akhirnya ia pun mendengar suara tangisan bayi. Berarti adik cantiknya sudah lahir. Ditya tersenyum.
Satu jam kemudian, Arumi dibawa menggunakan stretcher menuju ruang rawat. Ditya menggengam erat tangan srikandi dalam hidupnya itu, berjalan mengikuti kemana para petugas medis itu akan membawa mereka.
"Makasih banyak, Sus," ucap Arumi sesaat setelah mereka mengantarnya ke ruang perawatan.
"Sama-sama, Bu. Silakan istirahat dulu nanti kami akan membawa putri Ibu ke sini," ucap suster itu. Mereka berdua pun saling melempar senyum.
"Dek, jaganin bunda ya. Selamat, sekarang adek udah jadi Abang oke," ucap sang suster sambil memberikan ancungan jempol untuk Ditya. Tak dipungkiri bahwa suster itu juga merasa kasihan pada ibu dan anak ini.
"Makasih Suster," jawab Ditya sambil tersenyum. Suster itu juga membalas senyuman Ditya, kemudian ia pun berpamitan keluar.
"Abi telepon balik nggak Bang?" tanya Arumi pada putranya.
"Enggak, Bun!" jawabnya lesu.
"Ya udah nggak apa-apa. Abang bobo gi udah malem. Sini naik ranjang Bunda. Bunda kelonin," ucap Arumi. Ditya pun menurut dia pun naik ke ranjang bundanya dan memeluk wanita yang disayanginya ini.
"Abang laper nggak, Sayang?" tanya Arumi sambil mengelus rambut sang putra kesayangan. Ditya menggeleng, mulutnya diam. Arumi tahu jika putranya ini resah.
"Ponsel Bunda mana, Nak?" tanya Arumi lagi.
"Abang masukin tas Bunda," jawab Ditya.
"Ya udah Abang bobo gi, udah malem kan!"
"Abi kemana ya, Bun?" tanya Ditya tiba tiba.
"Bunda nggak tahu Sayang. Kan kita telpon nggak bisa," jawab Arumi. Rasa sesak kembali menyerang perasaan wanita cantik ini. Pertanyaan Ditya mengingatkannya pada kejadian di lampu merah tadi.
"Tadi Abang kirim pesan suara, Bun. Abang bilang Bunda sudah melahirkan," ucap Ditya.
"Ya udah kalau Abang udah bilang. Nanti kalau abi baca kan pasti pulang," balas Arumi. Meski banyak pertanyaan yang mengganggunya tapi Arumi masih berusaha berprasangka baik terhadap Yudha. Agar semuanya tetap baik-baik saja.
Bersambung...
Jangan lupa like n komennya ya .... makasih...