Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membalas Teman Molly
Jessy duduk di sofa ruang keluarga dengan santai, menikmati acara televisi yang sebenarnya tak begitu ia pedulikan. Tatapannya sesekali melirik layar ponsel, memantau CCTV.
Tak berselang lama, bunyi bel rumah berbunyi.
Ding-dong!
Di lantai atas, pintu kamar Molly terbuka dengan kasar. Jessy bisa mendengar suara langkah tergesa-gesa menuruni tangga. Molly pasti sudah tidak sabar menyambut tamu yang datang.
Jessy menyandarkan tubuhnya ke sofa, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Akhirnya dimulai…” gumamnya pelan.
Di depan pintu, Molly membuka dengan cepat dan langsung tersenyum lebar begitu melihat sosok yang datang.
"Wey! Akhirnya datang juga! Udah lama banget nggak ketemu!" seru Molly dengan nada girang.
"Iyalah, siapa suruh lo sibuk terus?" jawab seorang gadis berambut panjang, yang tak lain adalah sahabat Molly.
Mereka berdua tertawa bersama, lalu melangkah masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu.
"Gimana kabar lo? Pasti makin sibuk sama urusan-urusan Lo yang itu kan?" tanya Molly sambil menjatuhkan diri di sofa, mengajak sahabatnya duduk di sebelahnya.
"Yah, gitu deh. Sibuk sih, tapi tetep harus nyempetin waktu buat ketemu bestie dong!" jawab sahabatnya dengan semangat.
Mereka berbincang ringan, membicarakan hal-hal remeh seperti tren fashion terbaru dan gosip selebriti. Namun, momen santai itu tak berlangsung lama karena Molly tiba-tiba berteriak memanggil nama Bi Tuti.
"Bi Tuti! Cepat ke sini!" serunya lantang.
Tak ada jawaban.
Jessy yang duduk di ruang keluarga menahan tawa. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Sebelum turun tadi, ia sengaja mengirim pesan kepada Bi Tuti untuk tidak pulang sampai petang. Ia ingin melihat bagaimana reaksi adik iparnya ketika sadar bahwa tak ada pembantu yang bisa ia perintah sesuka hati.
"Bi Tuti!" panggil Molly sekali lagi, kali ini lebih keras.
Tetap tidak ada jawaban.
Sahabat Molly melirik ke sekeliling rumah, lalu menoleh ke arah Molly dengan alis terangkat. "Eh, itu nama pembantu barumu yang lo ceritain, kan? Jadi, sekarang dia di mana?" tanyanya penasaran.
Molly mendengus kesal. "Harusnya sih ada! Tapi tadi disuruh pergi belanja sama kakak ipar gue. Apa... Jangan-jangan belum pulang, ya?" Ia menoleh ke dapur dengan ekspresi tidak sabar.
Sahabatnya menghela napas. "Aduh, gue haus banget nih. Suruh kakak ipar Lo aja yang bikinin minum, dong."
Tanpa berpikir panjang, Molly langsung berteriak lantang. "Kak Jessy! Tolong bikinin minuman buat tamu!"
Dari ruang keluarga, Jessy mendengar panggilan itu. Ia yang sejak tadi duduk santai di sofa, hanya menaikkan satu alis sambil tersenyum miring.
Tak butuh waktu lama, Molly muncul di ambang pintu dengan wajah tak sabaran. "Kak, temanku haus. Bikin minuman, dong."
Jessy menatapnya dengan tatapan malas. "Lagi sibuk," jawabnya santai.
Molly mendengus. "Halah, sibuk nonton doang. Kan gampang, tinggal bikin teh atau jus sebentar!"
Jessy menyeringai. "Kalau gampang, ya bikin sendiri. Tangan kamu masih nempel di badan, kan? Atau udah berubah jadi aksesoris?"
Molly melotot ke arah Jessy. "Kamu itu jadi kakak ipar nggak bisa lebih baik dikit, ya? Masa tamu datang nggak disuguhi apa-apa?"
Jessy menatapnya balik dengan ekspresi datar. "Aku bukan pelayan, dan temen mu bukan tamu ku. Lagian, kalau emang kamu ingin menghormati tamu, harusnya kamu juga belajar jadi tuan rumah yang bener. Bukan memerintah aku, dasar adik ipar gak tau sopan santun!"
Molly terdiam sejenak, wajahnya merah karena kesal.
"Kau.... Terus, kalau nggak ada yang bikin minuman, gimana?" desaknya lagi.
Jessy mengangkat bahu. "Ya, ada dua pilihan, kamu bikin sendiri, atau tamu mu tetap haus. Hidup itu simpel, Adik Ipar."
Molly kembali ke ruang tamu dengan wajah masam. Ia duduk di sofa dengan kasar, membuat sahabatnya menatapnya dengan ekspresi kesal.
"Mana minumannya? Masa gue ke sini nggak disuguhi apa-apa?" keluh sahabatnya, melipat tangan di dada.
Molly mendengus kesal. "Kakak ipar gue nggak mau bikinin. Dia nyuruh gue bikin sendiri!" jawabnya dengan nada geram.
Sahabatnya langsung membelalak, ekspresinya berubah semakin jengkel. "Hah?! Kakak ipar lo yang udik itu? Yang sangat dekil dan biasanya hanya bisa diam itu?"
Ia terkekeh sinis sebelum melanjutkan, "Astaga, Molly, gue masih nggak habis pikir. Kok bisa sih lo punya kakak ipar yang kampungan gitu? Udah miskin, nggak tau sopan santun pula!"
Seketika, suasana ruangan berubah tegang.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi Jessy sudah menunggu ucapan seperti itu. Bibirnya menyeringai tipis sebelum akhirnya ia berdiri dari tempat duduknya di ruang keluarga. Dengan langkah anggun dan penuh percaya diri, ia berjalan menuju ruang tamu.
Saat Jessy muncul, teman Molly itu langsung terdiam. Tidak seperti di kehidupan pertamanya, kini Jessy tampil begitu memukau. Gaun anggun yang membalut tubuhnya, riasan natural yang menonjolkan kecantikannya, serta aura percaya diri yang memancar darinya, membuatnya terlihat jauh dari kata 'udik dan kampungan'.
Jessy menatap mereka dengan ekspresi datar, namun senyum dingin terukir di wajahnya. Ia melipat tangan di dada dan menatap sahabat Molly dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan pandangan menilai.
"Hmm... Jadi ini temanmu, Molly?" tanyanya dengan nada santai namun terdengar menusuk. "Gaya bicara norak, tapi penampilan..." Jessy mengamati gadis itu lebih teliti, lalu tersenyum miring. "SMA kan? Tapi kenapa dandanannya mirip tante-tante yang mau kondangan?"
Teman Molly langsung tersentak. "A-apaan sih lo?! Lo siapa, se enaknya ngomong sembarangan tentang gue!" serunya kesal.
Jessy terkekeh pelan, lalu melanjutkan dengan nada santai namun tajam, "Adik ipar, Aku jadi kasihan sama kamu. Temen kamu ini sok-sokan ngomongin aku kampungan, tapi lihat sendiri deh. Bedak tebal, alis kayak ulat bulu, blush on menor, dan lipstik merah menyala kayak tante-tante yang nyari perhatian. Baju ketat, tapi nggak cocok sama badan. Itu mau ke mana sih? Fashion show gagal?"
Jessy belum selesai. Ia mendekat, lalu menatap teman Molly tepat di mata. "Dengar ya, kalau mau ngehina orang, pastikan dulu kamu punya modal yang cukup. Ngatain aju kampungan? Sayang banget, justru kamu yang kelihatan norak. Ngomongin aku miskin? Nih, baju yang aku pakai harganya lebih mahal dari seluruh outfit kamu hari ini. Jadi sebelum buka mulut, pastikan dulu otak kamu cukup cerdas buat ngerti siapa yang kamu hina."
Teman Molly tidak bisa berkata-kata. Wajahnya memerah karena malu sekaligus marah.
Jessy tersenyum tipis dan menepuk bahu Molly pelan. "Next time, pilih teman yang lebih berkelas, ya. Biar nggak mempermalukan kamu sendiri."
Setelah berkata demikian, Jessy berbalik dan melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan dua gadis yang masih terdiam karena kesal.
Melihat temannya dipermalukan, Molly ikut merasa geram. Ia menatap Jessy tajam, lalu berdiri dengan tangan mengepal. "Kak Jessy! Berani-beraninya Kakak ngomong kayak gitu ke temanku?! Apa Kakak nggak sadar kalau sekarang dia jadi malu gara-gara Kakak?!" serunya dengan nada tinggi.
Jessy yang sudah berbalik sempat berhenti sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Oh? Jadi kamu malu karena temen mu dihina?" tanyanya santai, lalu tertawa kecil. "Aneh. Padahal yang aku omongin benar semua. Kenapa? Kamu merasa gak enak dengan temanmu itu? Lain kali suruh temanmu itu dandan ke tempat yang lebih profesional, baru anak SMA dandanannya seperti ani-ani."
Molly terdiam seketika.
Jessy tersenyum tipis, lalu melanjutkan dengan nada tajam, "Molly, ajarin temen mu buat jaga mulut? Biar lain kali dia nggak asal ngomong dan mempermalukan dirinya sendiri."
Teman Molly menggertakkan giginya. "Lo—"
"Dan satu lagi," Jessy memotong sebelum gadis itu bisa membalas. "Kalau kamu nggak siap dikritik, jangan mulai duluan. Aku cuma balas ucapan yang keluar dari mulut kamu sendiri."
Dengan itu, Jessy kembali melangkah pergi menuju ke kamarnya, meninggalkan Molly yang masih terdiam dengan wajah merah padam, sementara temannya hanya bisa menatap dengan kesal tanpa bisa membalas satu kata pun.