Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
²⁰ Jeruk Makan Jeruk
"Kamu pikir, saya tidak cemburu melihat mu dekat dengan Arif? Mengkhawatirkan Arif. Ke mana-mana dengan Arif, bahkan ke hotel bersama Arif" lanjut Mas Nata dengan suara lantang.
"Iya, saya tadi mengusir Arif. Saya menyuruh nya pulang dan melarang nya mendekati mu lagi. Coba kamu pikir, suami mana yang tidak cemburu melihat istrinya ke hotel dengan lelaki lain?"
Untung pintu ruangan ini sudah tertutup dan hanya ada kami di ruangan ini. Jadi, suara kami tidak mengganggu pasien lain.
"Kamu sendiri yang membuatku jauh darimu, Mas," ucapku sinis.
Menahan air mata yang hendak berambai-ambai. Aku harus kuat, tidak boleh cengeng. Mas Nata mendekatiku dan merangkum wajah ku dengan kedua telapak tangannya.
"Lihatlah, Sayang. Lihat mataku, di-sini masih tersimpan cinta yang begitu besar untukmu. Saya masih di sini, masih milik mu seperti yang dulu. Tidak pernah sekali pun saya mencari wanita lain untuk menggeser tempat mu di hati ini."
"Jika memang sayang, kenapa kamu tega mengkhianati saya seperti ini, Mas?"
Mas Nata diam, pandangannya lurus ke bawah. Di detik berikutnya setitik cairan menetes dari kelopak matanya.
"Tunjukkan ke saya, Mas. Kasih tahu saya, wanita mana yang telah merebut hatimu?"
Ku remas dan ku tarik kerah kemejanya, tapi dia tidak melawan. Tubuhnya ikut tertarik, merunduk dan kemudian mendekap ku yang masih setengah berbaring di atas brankar. Air matanya merembes di pundakku.
"Saya tidak punya wanita lain selain dirimu. Hanya kamu satu-satunya wanita pemilik jiwa dan ragaku," ujar Mas Nata dengan sesenggukan.
Harusnya aku terenyuh mendengar kata-kata manis yang di bisikkan suami di dekat telinga ku. Namun, yang ada aku malah muak mendengarnya.
Bohong sekali jika tidak ada wanita lain dalam kehidupan Mas Nata. Mataku sudah melihatnya sendiri, bagaimana tubuh ini di penuhi dengan cupang.
"Bohong kamu, Mas!"
Aku menjauhkan tubuh Mas Nata untuk memberi jarak di antara kami. Dengan beringas, aku menarik kemeja bagian depan hingga beberapa kancing copot dan jatuh ke lantai.
"Ini apa? Ini apa, Mas?"
Ku tusuk-tusuk dada bidang nya dengan telunjuk. Air mata bercucuran melewati pipi dan ikut jatuh ke lantai.
"Saya hanya sedikit melampiaskan kekecewaan yang tidak bisa saya tunjukkan di hadapanmu, Rif. Saya kesal, saya marah pada diri sendiri. Saya frustasi waktu itu, tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Tidak tahu harus meluapkan emosi itu ke mana, hingga datanglah seorang Alex Fernando. Dia yang bisa memahami saya, dia yang mengangkat saya dari keterpurukan."
Suara Mas Nata bergetar, air mata menganak sungai.
"Sayang, tapi percayalah. Saya tidak pernah bermain dengan perempuan lain. Sumpah," lanjutnya dengan merangkum kedua telapak tangan ku dan mengecupnya berkali-kali.
"Apa? Apa yang kau bicarakan, Mas. Katakan dengan jelas, saya tidak paham."
"Alex ... Alex yang melakukan semua ini." Suara Mas Nata sangat lirih, hampir mirip orang yang berbisik-bisik.
"Apa? Apa, Mas? Ulangi lagi, saya tidak bisa mendengarnya dengan jelas."
Mas Nata membisu, tidak mau mengulangi ucapan. Hanya isaknya yang masih terdengar.
"Maksudnya... kamu bermain api dengan se-sama pri-a, Mas?" tanyaku ragu, tapi rasa hati ingin memperjelas pendengaranku tadi.
Ku harap Mas Nata menentang nya dan mengatakan jika itu tidak benar. Namun, hingga beberapa detik, dia hanya diam. Apakah itu artinya, dia mengakui jika tebakan ku benar?
Seluruh tubuh ku lemas tak berdaya, aku merasa seperti terhempas dari ketinggian. Ku tarik kedua telapak tangan ku dari genggaman Mas Nata.
"Lepaskan saya, Mas. Saya takut berada di dekatmu."
Aku meronta saat Mas Nata kembali mau mendekap ku. Aku merasa asing berada di dekatnya, dia bukan lagi Mas Nata seperti yang dulu ku kenal.
"Ceraikan saya, pernikahan ini sudah tidak sehat lagi."
"Tidak, sampai kapan pun saya tidak akan menceraikan mu. Saya sangat mencintaimu, Yang. Tak bisa membayangkan hidup tanpamu."
🌸🌸🌸
Sinar matahari mulai merambat lewat celah-celah tirai, perlahan aku turun dari brankar setelah susah payah mencopot selang infus yang terpasang pada lenganku dengan paksa.
Mas Nata masih tertidur di kursi dengan tubuh condong ke brankar. Kedua lengannya ia tangkupkan di atas brankar untuk menyangga kepalanya sendiri. Pria yang biasanya terlihat segar dan mempesona itu, kini tampak kusam dan sembab.
Semalam, kami sama-sama tertidur setelah kelelahan menangis. Bahkan dia belum sempat mengganti kemeja yang di pakainya semalam, masih kemeja terbuka yang kehilangan kancingnya.
Melihatnya seperti ini, sebenarnya aku tidak tega. Apalagi cinta untuknya masih tertanam dalam hatiku. Namun aku tidak bisa lagi hidup bersama seorang pria yang sudah mengizinkan tubuhnya di jamah oleh orang lain. Lebih parahnya lagi, yang menyentuh tubuh itu adalah makhluk yang memiliki jenis alat pembuangan urine yang sama.
Sebisa mungkin aku meminimalis suara agar tak membangunkan Mas Nata, saat memunguti barang-barangku. Mengganti pakaian rumah sakit dengan pakaianku sendiri. Bersiap-siap meninggalkan tempat ini.
Aku memegang handle pintu dan hendak membukanya. Namun, tiba-tiba tanganku di tahan oleh tangan yang lain. Aku menoleh, ah sial ... sejak kapan Mas Nata bangun? Batinku.
"Mau ke mana, Yang?"
"Mau pulang," jawabku datar tanpa memandang wajahnya.
"Kok nggak bangunin saya? Memangnya, Sayang udah baikan? Udah kuat?"
"Hmm."
Entah mengapa aku merasa Mas Nata menjadi orang asing bagiku. Jadi enggan untuk menanggapinya. Namun, kalau pun aku menolak untuk pulang bersamanya, percuma. Dia akan bersikeras untuk pulang bersama-sama.
"Bentar ya, Sayang. Tunggu saya siap-siap. Kita bayar administrasi dulu, trus baru pulang."
Mas Nata berucap lembut seperti biasanya, seolah lupa jika sebelumnya kita berdebat hingga berderai-derai.
Di sepanjang perjalanan, aku lebih memilih diam. Tenaga ku sudah terkuras habis untuk menangis kemarin.
Gawai Mas Nata yang dia taruh di dashboard berkedip-kedip dan mulai mengeluarkan suara. Pemilik handphone tersebut melongok, melihat layar nya sekilas, kemudian kembali fokus pada jalanan.
Kembali, handphone tersebut berbunyi beberapa kali, tapi empunya membiarkannya begitu saja. Kira-kira siapa yang menghubungi Mas Nata pagi-pagi begini?
"Mas, handphone kamu berbunyi, kenapa nggak di angkat?" tanyaku yang mulai risih mendengar bunyi telepon sejak tadi.
"Biarin saja, nggak penting." Mas Nata mengambil handphonenya, lalu mematikan benda pipih tersebut.
"Apa orang kantor yang menghubungimu, Mas? Ini 'kan hari senin, bukan kah seharusnya kamu masuk kantor?"
Meski masih sedih bercampur marah pada Mas Nata, sebisa mungkin aku berusaha bersikap baik. Bagaimana pun juga, bumi masih berputar pada porosnya dan aku harus tetap menjalani dan menerima kenyataan ini. Apalagi, aku masih berstatus sebagai istrinya sebelum permohonan cerai ku di kabulkan.