NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Genggaman Erat di Tengah Kebisuan

Malam menelusup perlahan di sela-sela tirai kamar kontrakan Kalista. Sunyi menyelimuti ruang sempit itu, seakan waktu sengaja melambatkan langkahnya. Di antara temaram cahaya lampu meja dan desiran kipas angin tua yang berdenting lirih, Arga dan Kalista duduk berdampingan di tepi ranjang yang sudah mulai hangat oleh kehadiran mereka.

Tak banyak kata terucap. Hanya suara napas dan degup jantung yang terasa semakin keras di telinga masing-masing. Arga memandangi Kalista, gadis yang kini semakin sulit ia lepaskan dari pikirannya. Mata itu mata yang dulu begitu asing baginya di pesta keluarga, kini seperti rumah yang selalu ingin ia tuju, meski tahu di dalamnya menyimpan luka dan rahasia.

Kalista menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik rambut panjang yang tergerai ke depan. Tangan Arga terulur perlahan, menyentuh jemari Kalista yang gemetar. Genggamannya erat, namun lembut. Seolah ingin mengatakan bahwa apa pun yang terjadi, ia takkan pergi.

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Ga," lirih Kalista. Suaranya serak, matanya mulai basah. "Semua ini terlalu cepat. Terlalu rumit."

Arga menggeleng pelan. "Kita nggak butuh kata-kata sekarang. Aku cuma ingin di sini. Sama kamu."

Kalista mengangkat wajahnya perlahan. Ada luka di matanya, luka yang tak terlihat dari luar, tapi terasa begitu dalam. Ia telah mencoba menjauh. Ia telah mencoba menahan diri. Tapi malam ini, di dalam kamar sempit yang menjadi saksi terlalu banyak kenangan, ia merasa tak sanggup lagi menyangkal hatinya.

"Aku takut, Ga," bisiknya.

"Aku juga," jawab Arga, jujur. "Tapi lebih takut lagi kehilangan kamu."

Seketika, Kalista menarik tubuh Arga ke dalam pelukannya. Erat. Hangat. Lama. Pelukan itu tak butuh penjelasan. Tak butuh janji. Hanya ada rasa. Dan di antara kebisuan itu, mereka menemukan ketenangan yang selama ini hilang.

Hening kembali menguasai ruangan. Tapi tak ada yang canggung. Mereka hanya menikmati kehadiran masing-masing, seolah waktu sengaja membekukan detik-detiknya untuk memberi ruang bagi dua hati yang terluka ini saling menyembuhkan.

Arga menyentuh pipi Kalista dengan punggung tangannya. Lembut. Seakan takut menyakitinya. "Kenapa kamu masih bertahan di kontrakan ini? Kenapa nggak pindah ke tempat yang lebih aman?"

Kalista menunduk lagi. "Ini satu-satunya tempat yang nggak ada campur tangan dari dia."

"Dia?" Arga tahu siapa yang dimaksud.

"Pamanku, Arman," lanjut Kalista, nyaris berbisik. "Kalau aku tinggal di apartemen yang dia sewa, aku nggak akan punya kendali atas hidupku sendiri."

Arga mengepalkan rahangnya. Mendengar nama Arman membuat darahnya berdesir. Selama ini ia mencoba menahan emosi. Tapi semakin hari, ia semakin sadar bahwa yang dilakukan pamannya bukan hanya keliru, tapi juga merusak. Merusak gadis yang kini ia sayangi.

"Aku nggak akan biarin kamu terus disiksa kayak gini, Lis. Kita harus cari jalan keluar."

Kalista menatapnya lekat-lekat. Ada harapan di sana, meski kecil. "Kamu yakin bisa hadapi semuanya?"

"Aku yakin, asal kamu di sampingku."

Mereka kembali saling menggenggam. Lebih erat. Di tengah kebisuan malam, hanya genggaman itu yang menjadi janji bahwa mereka akan mencoba, apapun risikonya.

Pagi menyapa dengan malu-malu, menembus celah jendela kecil kamar kontrakan Kalista. Suara ayam tetangga terdengar samar, bercampur dengan deru motor yang melintas di kejauhan. Kalista membuka matanya perlahan. Di sampingnya, Arga masih terlelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak tenang. Dalam mimpinya mungkin ia sedang jauh dari semua kekacauan yang mereka hadapi.

Kalista tak bergerak. Ia hanya menatap wajah Arga dalam diam. Ada damai di sana. Ada sesuatu yang tak ia temukan dari lelaki mana pun sebelumnya, bahkan dari pamannya, yang selama ini menyuapnya dengan kemewahan tapi menelantarkannya dalam kesepian.

Hatinya seolah ingin berteriak. Ia ingin bebas. Tapi rantai kenangan dan trauma membuat langkahnya tertahan. Ia sudah terlalu lama dikurung dalam permainan kekuasaan dan tubuh, seakan dirinya hanya sekadar pemuas nafsu seorang pria tua berwajah tampan dan berkantung tebal.

Tangannya perlahan menyentuh pipi Arga, mengusapnya lembut.

"Apa kamu benar-benar akan bertahan untukku, Ga?" bisiknya, lirih, nyaris tak terdengar.

Seakan mendengar bisikan itu, Arga membuka matanya perlahan. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya. "Pagi..."

Kalista tersenyum, mencoba menyembunyikan kekacauan dalam pikirannya. "Pagi..."

Arga mengangkat tubuhnya, bersandar pada dinding ranjang. Ia mengusap rambutnya sebentar lalu menatap Kalista serius.

"Aku mau kita mulai rencana keluar dari semua ini," katanya pelan. "Aku nggak mau hubungan kita sembunyi-sembunyi terus, apalagi kamu terus dikekang pam..."

"Sstt..." Kalista menyentuh bibir Arga dengan jari telunjuknya. "Aku tahu kamu marah. Tapi kita harus hati-hati. Paman Arman bukan orang yang bisa dihadapi sembarangan. Dia punya banyak orang. Pengaruhnya kuat. Bahkan polisi pun bisa dia kendalikan."

Arga menarik napas panjang. Ia tahu Kalista benar. Tapi ia juga tahu bahwa jika ia hanya diam, Kalista akan terus menjadi korban.

"Aku sudah buat keputusan," kata Arga akhirnya. "Aku mau temui dia. Sendirian."

Mata Kalista membelalak. "Apa? Enggak! Kamu gila?!"

"Kalau terus sembunyi, kita nggak akan pernah lepas dari bayangannya. Aku harus buat dia tahu bahwa aku bukan anak kecil yang bisa dia perintah seenaknya. Aku bukan ponakan yang bisa dia tekan."

Kalista menggenggam tangan Arga kuat-kuat. "Tapi dia bisa nyakitin kamu. Kamu nggak tahu seberapa gelap sisi dia, Ga."

"Justru karena itu aku harus tahu," ujar Arga tenang. "Biar aku tahu cara melindungi kamu."

Kalista tak mampu berkata apa-apa. Hanya air matanya yang mulai menggenang, menyuarakan rasa takut yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. Ia telah kehilangan banyak hal dalam hidup... orang tuanya, harga dirinya, bahkan kendali atas tubuhnya. Ia tak sanggup kehilangan Arga juga.

"Aku percaya sama kamu," katanya akhirnya. "Tapi janji, kalau ada apa-apa... kamu kabarin aku. Jangan coba-coba hadapi dia sendirian dalam gelap."

Arga mengangguk. "Aku janji."

Mereka saling merangkul dalam diam. Dunia di luar terus berjalan, tapi bagi mereka, saat itu waktu seolah berhenti, memberikan jeda bagi dua hati yang tengah bersiap menghadapi badai yang lebih besar.

Matahari mulai bergeser ke tengah langit ketika Arga mengenakan jaketnya dan melangkah keluar dari kontrakan Kalista. Tatapan Kalista mengiringi langkahnya, penuh cemas dan ketakutan yang berlapis-lapis. Ia berdiri di ambang pintu, tak mampu berkata apa-apa selain doa lirih yang menggantung di udara.

Arga memacu motornya menuju kediaman mewah Paman Arman. Rumah itu berdiri angkuh di atas tanah luas, berpagar tinggi dan dijaga dua orang satpam berseragam hitam. Tapi Arga tak gentar. Ia tahu apa yang akan ia katakan. Untuk pertama kalinya, ia datang bukan sebagai keponakan yang patuh, melainkan sebagai pria yang ingin melindungi wanita yang ia cintai.

Satpam membukakan pagar tanpa banyak tanya. Mereka mengenali Arga, tentu saja. Putra dari kakak kandung tuan rumah, pewaris darah yang tak pernah diakui sepenuhnya.

Di dalam, Arman tengah duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih yang dibuka dua kancing atasnya. Ia menyesap kopi dengan tenang, seperti raja di singgasananya. Saat melihat Arga, alisnya naik sedikit, lalu kembali ke ekspresi datarnya.

"Arga? Tumben datang tanpa kabar. Ada apa?"

Arga duduk tanpa permisi. Tatapannya tajam, dingin, tak ada basa-basi.

"Aku datang bukan sebagai keponakanmu, Man. Aku datang sebagai laki-laki yang mencintai Kalista."

Arman mengangkat gelas kopinya, menyesap sekali lagi sebelum meletakkannya perlahan.

"Berani juga kamu," katanya. "Tapi sayangnya, kamu lupa posisi kamu di mana."

"Aku tahu posisi aku. Tapi kamu juga harus tahu, aku nggak akan diam melihat Kalista terus kamu peralat."

Suasana menegang. Mata Arman menyipit. Tawa kecil keluar dari bibirnya.

"Kamu pikir Kalista hanya milikmu?" katanya sinis. "Dia milik siapa pun yang bisa membelinya. Termasuk aku."

"Dia bukan barang!" Arga mengepalkan tinjunya.

"Kalau bukan barang, kenapa dia bertahan denganku selama ini? Karena cinta?" Arman tersenyum miring. "Dia betah karena aku memberinya apa yang kamu nggak bisa beri."

"Karena dia nggak punya pilihan!" teriak Arga. "Kamu manfaatkan dia sejak dia masih polos! Kamu rendahkan dia dengan uang dan kekuasaanmu!"

Arman berdiri. Wajahnya berubah dingin. Aura mengancam mulai menyelimuti ruangan.

"Kamu pikir bisa mengubah semuanya hanya dengan cinta monyetmu itu?" ujarnya pelan, penuh tekanan. "Kamu pikir kamu bisa bawa Kalista pergi dariku? Dunia ini nggak sesederhana itu, Ga."

"Aku nggak takut sama kamu," balas Arga.

"Sayang sekali. Kamu seharusnya takut."

Hening. Tegang. Dua lelaki berbeda generasi saling menatap, masing-masing dengan bara di matanya.

Lalu, Arman mendekat. Wajahnya hanya sejengkal dari wajah Arga.

"Dengar baik-baik, Ga. Kalau kamu terus campur urusan ini, bukan cuma kamu yang kena. Aku bisa buat Kalista lebih menderita dari yang pernah kamu bayangkan. Dan kamu tahu aku mampu."

Arga berdiri. Napasnya berat. Tapi matanya tak goyah.

"Aku akan lindungi dia. Dengan cara apa pun. Kamu nggak akan menyentuh dia lagi. Itu janjiku."

Tanpa menunggu respons, Arga berbalik dan pergi, meninggalkan ruangan itu dengan langkah mantap. Tapi hatinya berdegup kencang. Ia tahu, ini baru awal.

Sore menjelang saat Arga kembali ke kontrakan. Kalista langsung menyambutnya, memeluknya erat tanpa kata-kata.

"Aku takut sesuatu terjadi..." bisiknya.

Arga membalas pelukan itu, menggenggam tubuhnya seerat mungkin. "Aku nggak apa-apa. Tapi kita harus cepat cari jalan keluar. Kita nggak bisa selamanya sembunyi di balik kontrakan ini."

"Kalau dia tahu kita tinggal di sini..."

"Aku tahu," Arga menyela. "Malam ini juga, kita pindah. Aku udah cari tempat lain. Lebih jauh, lebih aman."

Kalista mengangguk pelan. Ketakutan masih menyelimuti matanya, tapi ada keyakinan yang mulai tumbuh, keyakinan pada Arga, pada tangan yang menggenggamnya begitu erat dalam kebisuan.

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!