Bagaimana jadinya jika seorang gadis manja harus menjadi pengasuh 3 anak CEO nakal yang tiba-tiba sangat lengket padanya?
Rosetta, seorang gadis cantik yang berusia 19 tahun, adalah putri seorang bupati yang memiliki keinginan untuk menjalani hidupnya sendiri. Namun ayahnya telah membuat keputusan sepihak untuk menjodohkan Rosetta dengan seorang pria tuatua bernama tuan Bramasta, yang memiliki usia dan penampilan yang tidak menarik. Rosetta sangat enggan dengan keputusan ini dan merasa bahwa ayahnya hanya menggunakan dia sebagai alat untuk meningkatkan karir politiknya.
Hingga puncaknya Rosetta memutuskan untuk kabur dari rumah. Di sisi lain ada Zein arga Mahatma, seorang bussiness man dan single parents yang memiliki tiga anak dengan kenakalan di atas rata-rata. Karena kebadungan anak- anaknya juga tak ada yang sanggup untuk menjadi pelayan di rumah nya.
Dalam pelarian nya, takdir mempertemukan Rosetta dan ketiga anak Zein yang nakal, bagaimana kah kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 02
Alvaro dan Alaska si kembar yang hanya berbeda lima jam itu tampak berdiri dengan kepala menunduk, sambil menyenggol lengan satu sama lain, sedangkan bocah lima tahun dengan mata seperti boneka itu hendak maju, namun Alvaro dengan sigap menahan.
"Tidak Chia, kamu harus tetap di belakang kami! "
Chiara hanya bisa mengikuti ucapan kakaknya dengan patuh. Sementara Zein, tetap diam dengan tangan terlipat di depan dada, dengan tatapan nya yang memicing, berusaha mengamati karakter anak- anaknya yang sebenarnya tak bisa ia mengerti selama ini.
"Oh apa kalian berusaha untuk melindungi diri sekarang? " suara berat Zein kembali terangkat ke udara, tidak keras memang tapi nada ketegasan di dalam nya cukup membuat ketiga anak itu terkejut.
Alvaro dan Alaska saling sungut tak ada yang mau mengalah dan membuka suara membuat Zein cukup kehilangan kesabaran nya, tapi sebelum dia berujar lagi, anaknya yang paling bungsu berjalan mendekat.
"Papa tolong jangan hukum kak Al dan kak Aska, meleka hanya ingin belmain, " ucap Chiara dengan suaranya yang masih cadel, tangan mungilnya mendekap salah satu jemari Zein. Ah, jika seperti ini Zein paling tidak bisa untuk marah. Dia kemudian mengangkat putrinya itu dalam gendongan nya.
"Katakan pada papa. Siapa yang merencanakan ini semua? " Tanya Zein dengan penuh pengertian pada putrinya. Kejadian seperti ini tidak terjadi sekali dua kali tapi ini sudah kesekian kalinya. Sudah banyak orang yang ia rekrut untuk menjadi pengasuh anaknya, tapi tak ada satupun yang bertahan selama satu bulan sesuai perjanjian yang selalu ia berikan. Tentu alasannya apalagi jika bukan karena kenakalan mereka, bukan sebuah rahasia lagi jika anak- anaknya ini sangatlah nakal.
Saking nakalnya, para pengasuh yang Zein rekrut satupun tak ada yang pernah ia pecat tapi semua mengundurkan diri. Rata-rata bertahan hanya dalam hitungan hari, yang terpendek kali ini dan menjadi rekor baru, ketiga pengasuh wanita tadi hanya bertahan setengah hari, bahkan mungkin hanya hitungan jam, fantastis. Benar- benar tak ada yang kuat dengan kenakalan anak- anaknya ini. Saking banyaknya keluhan, Zein bahkan tak mampu marah lagi.
"Kami tidak berbuat salah pah! " kata Alvaro, cepat- cepat berusaha membela diri. Dia berdiri di depan Alaska, adiknya. Mencoba mengambil peran sebagai pelindung. "Kami hanya bermain. "
"Bermain? hmm bagus. " Zein manggut-manggut namun mata nya semakin memicing tajam. "Kau lihat piala itu? piala itu adalah penghargaan yang baru papa dapatkan kemarin, tapi sekarang pecah karena ulah kalian, apa itu di sebut sebagai bermain? "
"Dan yang paling parah adalah ketiga pengasuh kalian tadi mendapatkan luka di matanya. Sebelumnya kaki, tangan, punggung dan sekarang mata? besok apalagi target kalian berikutnya?!" Zein berusaha menahan amarahnya, sebisa mungkin tak ingin terlihat meledak- ledak di depan anak- anaknya.
Alvaro bersungut-sungut. "Ck, kami hanya tidak suka dengan para pelayan itu pah, mereka hanya berpura- pura baik di depan papa, sedangkan jika tidak ada papa mereka seenaknya pada kami! " ujarnya.
"Tapi tidak dengan cara menyakiti mereka seperti ini! " tegas Zein, raut wajahnya mengeras membuat Alvaro dan Alaska seketika memundurkan langkah, Chiara yang biasanya ceria dan ceroboh kini terlihat lebih takut. Zein yang menyadari nya bergegas menetralkan raut wajahnya kembali, "maafkan papa sayang, " ucapnya pada putri bungsu nya itu.
"Baiklah sekarang tidak ada toleransi lagi, sebagai hukuman tak akan ada jatah pergi ke karnaval minggu ini! "
Alvaro dan Alaska melotot, mereka sontak tak terima, dan Zein sangat tahu itu. Dia berharap hukuman kali ini bisa membuat mereka jera.
"Yah pah, tapi kan karnaval malam ini sangat spesial karena ada pawai badut nya... " keluh Alvaro seketika merasa menjadi orang yang tak bersemangat.
"Tidak ada karnaval. malam ini kalian akan di kurung di kamar dan belajar! " ujar Zein lebih terdengar seperti sebuah ultimatum yang tak bisa di bantah. Zein kemudian menarik tangan anak- anaknya membawa mereka ke kamar.
"Tetap di sini dan jangan berusaha kabur! " tegasnya memperingati.
Zein kemudian menutup pintu nya dan menguncinya dari luar.
"Papa, jangan hukum kak Al sama kak Aska tellalu belat, " pinta Chiara dengan mata bulatnya yang yang mengerjap. Zein merasa gemas lalu mencium pipi chubby Chiara, anaknya yang terakhir itu masih berusia lima tahun jadi dia masih belum tega menghukum nya.
"Tidak apa- apa sayang, kakak- kakak mu harus banyak belajar. " Zein kemudian mengajak Chiara untuk bermain
Di sisi lain Rosetta yang baru saja berhasil melarikan diri dari rumahnya, melangkah dengan mantap menyusuri jalanan setapak mengikuti kemanapun kakinya melangkah. Tak ada tujuan pastinya hingga hari esok, tapi setidaknya Rosetta bisa merasa lega karena terbebas dari jeratan kekangan dari ayahnya. Tanpa sadar kini Rosetta sudah berada di sebuah karnaval.
Manik matanya bersinar terang melihat lampu warna- warni yang ada di depannya.
"Waaah! " Rosetta merasakan semangat untuk bersenang-senang nya kembali bergelora. Ia berjalan berniat menjelajahi karnaval itu. Di dalam otaknya Rosetta sudah membayangkan banyak permainan seru.
Hidup dalam kurungan sangkar yang di buat ayahnya sejak kecil membuat jiwa kanak- kanak Rosetta seolah tak pernah padam. Inner child nya selalu merasa ingin terpenuhi, jadi tak heran jika terkadang tingkahnya terbilang tak sesuai dengan umurnya. Tapi gitu- gitu juga Rosetta juga pintar, dia tahu kapan harus menggunakan otaknya dengan benar.
Rosetta berjingkrak+ jingkrak di antara kerumunan orang- orang yang berlalu lalang hatinya merasa sangat riang. Di lihatnya beberapa pasangan melewati nya sambil memakan eskrim, dalam hatinya dia ingin juga. Tapi dia tidak memiliki uang, pelariannya di lakukan spontan jadi ia tak memiliki persiapan, sekarang perutnya berteriak keroncongan.
"Aha, aku punya ide! " otak berliannya muncul di saat yang tepat. Ia memiliki ide yang bagus.
*
*
Di dalam kamar mereka, Alvaro dan Alaska berjalan mondar-mandir. "Ck, papah pikir dia bisa mengurung kita di sini! kita akan tetap pergi ke karnaval itu malam ini! " ujar Alvaro.
"Tapi bagaimana caranya Al? " tanya Alaska.
Lama berdiam diri, Alvaro menjentikkan jarinya, bocah itu memiliki sebuah ide yang cemerlang dan langsung saja di bisikkan ke kuping kembarannya.
Alaska manggut- manggut setuju dengan ide cemerlang kakak nya. Tak lama kemudian Alvaro mengambil sebuah walkie talkie yang ada di pojok kamar, dia tahu Chiara adiknya bisa di andalkan.
"Halo chia, kakak Al di sini. "
"Yes, chia di sini kak Al. "
"Chia, kamu bisa membantu kami kan? "
"Ya kak. Bantuan apa? "
"Ambil kunci kamar yang ada pada papa. Kak Al dan kak Aska ingin keluar dari kamar ini, kamu pasti bisa kan? "
"Oke ka, selahkan pada Chia. "
Sambungan terputus, Alvaro dan Alaska bersorak riang, sudah optimistis mereka akan terbebas dari sini.
Butuh waktu beberapa menit sampai pintu dari luar terketuk. Alvaro dan Alaska langsung bergegas menghampiri.
Trek!
Tak lama pintu pun bisa dibuka.
"Chiara! "
"Kak Al, kak Aska!" bocah lima tahun itu memeluk kedua kakak laki-laki nya tersebut.
"Bagaimana bisa kamu mengambil kunci dari papa secepat itu?"
Chiara tersenyum menampilkan deretan giginya yang belum sepenuhnya tumbuh. "Kebetulan kuncinya ada di dekat meja belajal aku kak, jadi aku gampang ngambilnya. "
Alvaro tersenyum bangga. "Anak pintar, kamu memang adik kami! " dia membelai lembut kepala adiknya itu.
"Ayo kita pergi! kita akan tetap ke karnaval malam ini! "
****