Di atas bukit di tengah hutan, lebih kurang lima kilo meter jarak nya dari kampung.Terdengar sayup-sayup untaian suara yang berbunyi melantun kan seperti mantra jika di lihat dari dekat, ternyata dua orang pemuda berumur tujuh belas tahun paling tinggi, dihadapan orang itu tergeletak sebuah foto dan lengkap dengan nasi kuning serta lilin dan kemenyan.
Sesekali mengepul asap kemenyan yang dia bakar dari korek api, untuk mengasapi sebuah benda yang dia genggam di tangan kanan.
Jika di perhatikan dari dekat sebuah benda dari jeruk purut yang telah di keringkan, di lubang dua buah untuk memasukan benang tujuh warna.
Menurut perkataan cerita para orang-orang tua terdahulu, ini yang di namakan Gasing Jeruk Purut, keganasan nya hampir sama dengan gasing tengkorak tapi gasing jeruk purut hanya satu kegunaan nya saja, tidak sama dengan gasing tengkorak,
Gasing tengkorak bisa di gunakan menurut kehendak pemakai nya dan memiliki berbagai mantra pesuruh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MAHLEILI YUYI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Tusuk Konde
Para perampok-perampok jalanan dan maling sapi serta para pencuri ayam, mereka telah menjadi anak buah Tan Bojo.
Tan Bojo telah membangun sebuah tempat tidak jauh dari kaki Gunung Pusara Sakti, tapi zaman lalu, gunung itu belum bernama Pusara Sakti, tapi Gunuang Kayu Kamba.
Mereka telah membuat pemukiman di bangun dengan harta hasil rampokan, dan juga puluhan wanita muda yang telah mereka rampas, dan mereka tawan.
Tan Bojo bukan perampok kelas bawah lagi, di daerah itu, dia telah mulai di kenal, karena kejahatan nya yang meraja Lela, sehingga para pemuka adat dan pemuka agama berbagai cara untuk melumpuhkan Tan Bojo.
Seluruh pesilat dan perguruan agama zaman itu, mereka telah mengadakan rapat, tiap-tiap tetua suku, dari setiap negeri, mereka berkumpul dan berunding, di sebuah surau Awue Tunggea. Untuk rencana penangkapan Tan Bojo, serta seluruh anak buah nya, dan melepas kan para tawanan.
Alhasil dari rundingan itu, kerugian besar yang di tuai di setiap negeri, serta dusun, dan koto(kota) ratusan orang para hulu balang yang tumbang di tangan Tan Bojo, dan puluhan pendekar yang telah dia kalah kan, puluhan dukun santet yang telah dia habisi, karena ingin menyantet nya, para pembesar negeri bagian hilir Galodo Itam telah ketakutan atas kehadiran Tan Bojo.
Yang belum dia rampok sejak Negeri Kalimuntiang hingga ke hulu, entah apa sebab nya, karena guru nya Tambun Jati tidak mengizinkan, sebelum ilmu yang di miliki Tan Bojo sempurna, dia belum mengizinkan merampok atau melakukan kejahatan sejak Negeri Kalimuntiang hingga ke hulu.
Menurut cerita, tusuk konde Ibu nya Tambun Jati masih tersimpan di sebuah rumah gadang di Negeri Kalimuntiang, jika tusuk konde ibu nya di tusuk kan ke tanah, bisa melukai tambun jati dalam jarak seratus meter. Sehingga bisa membuat dia binasa, atau menjadi hantu dengan hina.
Sebab itu, kutukan ibu nya saat dia menuntut ilmu dahulu, sehingga dia menjadi pengikut Hantu-hantu hutan dan setan-setan gunung.
Nama asli Tambun Jati sebelum menjadi Iblis ialah Tuganggo.
Sebenar nya Tuganggo saat kecil dia adalah anak yang berbakti, anak yang penurut, dia anak yang baik. Pada umur lebih kurang sembilan tahun dia menuntut ilmu agama, ke negeri hulu, Negeri Lintang. Dia asli orang Talago Pandan kampung nya Kalimuntiang. Waktu saat Tuganggo berangkat ini lah, ibu nya mengucap kan sesuatu pada Tuganggo.
"Ingat setelah kamu menuntut nanti, kemanapun pergi, minta izin pada guru mu langsung, agar jangan seperti pengikut Setan dan Hantu-hantu". Itu lah ucapan Ibu Tuganggo, dia mengangguk.
Saat zaman dulu, kendaraan kuno hanya perahu untuk kendaraan ke hulu atau ke hilir sungai, dengan di dayung lebih kurang dua puluh orang laki-laki berbadan kekar dan tegap, saat perjalan air zaman dahulu nya, memakan perjalanan hampir dua puluh hari ke negeri lintang.
Setelah dia sampai ke Negeri Lintang, dia menuntut ilmu lebih kurang tujuh tahun, tampa pulang, mungkin karena penyebab ongkos yang sangat mahal, dan kehidupan orang tua nya begitu susah, sangat sulit untuk pulang sekali dalam setahun.
Di sini cerita nya di mulai, sudah hampir satu tahun ini Tuganggo sangat rindu pada orang tua nya di hilir, dan juga rindu kampung halaman, tapi untuk pulang pun biaya nya dia tak sanggup.
Kebetulan pada tahun itu musim sangat penghujan, kadang turun hujan berhari-hari lama nya tampa henti, menurut cerita orang-orang tua, zaman itu lah orang-orang melihat sungai Galodo Itam banjir terdahsyat, sehingga merendam rumah-rumah di segala negeri tepi sungai Galodo Itam.
Sehingga banyak yang mengungsi ke bukit dan gunung, saat sore hari air makin naik dan makin naik dalam hujan deras dan petir tidak henti, saat sore itu.
Menurut cerita para orang tua-tua Negeri Lintang, ada seperti hutan rimba yang hanyut di sungai Galodo Hitam di sore hari itu, di tengah hutan itu penuh dengan cahaya, seperti cahaya kunang-kunang mengelilingi hutan itu, dengan berbagai suara ratapan, rintihan, serta tangisan, kadang terdengar suara napas yang berat menggema saat hujan mulai reda. Hutan itu hanyut seperti suara bergemuruh setiap apa yang di landa nya, kadang seperti bunyi suara hutan kebakaran menderu.
Waktu itu, para murid-murid yang menuntut ilmu agama, mereka telah pindah ke lantai dua, karena tempat mereka telah di kelilingi air, ada anak murid yang lari ke atap, sebab atap tempat itu terbuat dari ijuk, apa lagi tempat atau surau mereka di bangun seperti rumah gadang juga.
Saat itu Tuganggo meninggal kan pesan pada teman-teman nya, untuk di sampaikan pada guru nya, bahwa dia akan menumpangi hutan itu ke hilir, dia ingin pulang.
Tampa membawa benda perbekalan dan pakaian, saat magrib tiba, hutan itu lewat dengan bantuan remang cahaya matahari yang belum tenggelam seutuh nya, dia ambil kayu yang sebesar pohon kelapa yang tersangkut di tiang surau oleh air dalam itu, untuk merapung tubuh nya, dan dia kejar hutan yang hanyut itu, yang berada di tengah hampir berjarak seratus meter dari surau mereka. Berbagai cara teman-teman nya melarang, dia terus mengejar hutan yang hanyut itu, hingga kegelapan malam tiba.
Setiap negeri yang berada di tepi sungai Galodo Itam melihat hutan itu lewat, Tampa tersangkut sedikit pun, hanyut hutan itu berderak derak melanda apa pun yang menghalangi nya.
Setelah satu bulan dari kejadian itu, pesan di sampaikan oleh guru nya kepada pembawa perahu, ingin memastikan kabar Tuganggo, balasan pesan itu langsung dari ibu nya, bahwa Tuganggo tidak pernah pulang, tapi kabar hutan hanyut itu, mereka benar kan, saat lewat senja hari, perjalanan dua puluh hari, tidak sampai satu jam oleh hutan itu hingga ke negeri kalimuntiang.
Jika dari lintang ke kalimuntiang paling cepat dua belas hari, jika dari kalimuntiang ke lintang memakan waktu lebih cepat dua puluh hari, sedang kan oleh hutan yang hanyut itu, hanya memakan lebih kurang satu jam, ini bukan perjalan hutan, atau manusia, mungkin perjalanan mahluk asing.
Sejak kejadian itu, setiap negeri di tepi Galodo Itam gempar, seorang anak murid tidak pulang, dengan berbagai cara penduduk negeri kalimuntiang, mencari berita hingga ke segala hilir negeri kalimuntiang, seseorang anak ngaji kampung Kalimuntiang hilang.
Ibu Tuganggo ini orang yang menyandang gelar Bundo Kanduang, masarakat berduyun-duyun membantu nya.
Menurut cerita dan berita dari segala negeri hilir, hutan itu lewat dengan waktu yang sama di