Karena pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasihnya, Bumi terlempar ke dunia penyihir, tempat dimana kekuatan sangat di perlukan untuk bertahan hidup.
Bumi diangkat menjadi anak seorang penyihir wanita paling berbakat era itu. Hidupnya mulai mengalami perubahan, berpetualang menantang maut dan berperang.
Meski semuanya tak lagi sama, Bumi masih menyimpan nama kekasihnya dalam hatinya, dia bertekad suatu hari nanti akan kembali dan meminta penjelasan.
Namun, gejolak besar yang terjadi di dunia penyihir membuat semuanya menjadi rumit. Masih banyak rahasia yang di simpan rapat, kabut misteri yang menyelimuti Bumi enggan menghilang. Lantas saat semuanya benar-benar tidak terkendali, masih adakah setitik harapan yang bisa diraih?
*
cerita ini murni ide author, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat itu hanyalah fiktif belaka.
ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Tubuh pemuda itu terus meluncur jatuh kedalam jurang dalam nan gelap, bahkan setelah tiga menit masih belum mencapai dasar jurang. Matanya menatap lurus ke langit malam yang dipenuhi hamparan bintang, malam ini indah sekali.
Namun, sayang sekali, keindahan malam ini harus rusak oleh pengkhianatan yang ia terima. Delima yang dengan gencar mendekatinya, membuatnya jatuh cinta, lalu saat hubungan mereka tidak direstui, Delima juga yang menyarankan untuk pergi menuruni jurang dalam.
Gadis itu yang meyakinkan Bumi bahwa dasar jurang tidaklah menakutkan, Delima yang mengatakan dengan penuh kasih sayang bahwa dibawah sana mereka berdua akan hidup bahagia.
Inikah kebahagiaan yang di maksud? Mengirim dirinya untuk mati di dalam jurang dalam dan gelap. Jika saja bukan gadis itu yang sengaja menjatuhkannya, hati Bumi tidak akan sesakit ini.
Perlahan kesadarannya mulai hilang, matanya tertutup dan dari sudut matanya keluar setetes air mata yang kala jatuh langsung berderai di hempas angin malam yang bertiup kencang.
Saat kesadarannya sepenuhnya hilang, dasar jurang terlihat, sebelum tubuhnya benar-benar menyentuh tanah sekelebat bayangan biru berkelebat cepat kearahnya. Bayangan itu menangkap Bumi dengan kecepatan tinggi, setelah berhasil mendapatkan pemuda itu, ia jungkir balik dua kali di udara lalu berkelebat cepat kearah timur.
Sosok itu bergerak secepat angin dan dalam sekejap mendarat sempurna di depan sebuah rumah beratap tinggi. Sambil terus menggendong Bumi, ia melangkah lebar ke tangga yang hanya ada tiga undakan.
"Nyonya, Anda kembali lebih cepat?"Seorang wanita memakai baju yang sama muncul dari dalam, membuka lebar pintu dan membiarkan orang yang dipanggil nona masuk kedalam.
Orang itu masuk kedalam dengan Bumi di gendongannya. Langkahnya ringan hampir tidak ada beban saat menginjak lantai papan. Ia terus melangkah hingga sampai di sebuah ruangan berbentuk jajar genjang, dalam ruangan itu terbentang sebuah permadani biru laut mulai dari pintu masuk hingga ke sebuah kursi empuk yang ada di ujung ruangan.
"Analika, kau kah itu?"Satu suara bertanya dari atas kursi. Rupanya orang yang duduk diatas kursi tinggi itu adalah pria tua berusia hampir tujuh puluhan, rambutnya sudah memutih, matanya terpejam, tubuhnya ceking dan posturnya tinggi. Meskipun dia sedang duduk namun masih sangat jangkung.
"Iya, paman." Si wanita meletakkan Bumi di atas permadani, lalu melipat kedua tangan diatas perut dan menjura hormat pada si pria tua.
Cahaya aneh berwana kebiru-biruan bersinar terang di ruangan itu hingga wajah wanita berpakaian biru terlihat jelas saat dia menatap lurus ke depan. Wajahnya seindah namanya, rambutnya bercampur antara hitam dan biru, dia memiliki wajah oval dengan hidung mancung, bola matanya berwarna biru. Bibirnya merah muda, namun saat tidak tersenyum fitur wajahnya menjadi sangat dingin.
"Siapakah yang kau bawa?"Si pria tua membuka matanya, dia juga memiliki mata biru. Netra nya itu menyorot tajam bak pedang algojo yang dapat membelah segala sesuatu menjadi dua dengan sangat cepat.
"Anak manusia yang di buang ke negeri kita,"Analika menjawab sembari duduk pada salah satu kursi di sisi kanan.
Mata biru pria tua itu menatap Bumi tanpa berkedip kemudian dia berkata, "masih sangat muda. Apa yang hendak kau lakukan pada dia?"
Analika tersenyum miring, sudut matanya bergerak teratur, ia menatap tepat di mata pamannya dan barangkali hanya dia seorang yang berani bersikap demikian. "Dia akan menjadi anakku, paman. Aku akan memasukkannya ke Akademi Langit Hitam."
Saat mengatakan itu Analika nampak sangat bengis, pada kedua bola matanya berkobar api ganas. Dia mengedipkan mata, api langsung padam dan wajahnya kembali normal.
"Apa? Kau akan mengirimnya kesana?"si pria tua berdiri dan melangkah lebar ke arah keponakannya, "Kau kan tahu, langit hitam sangat ketat dan susah sekali masuk kesana. Bahkan anak muda keturunan pemerintah pun banyak yang menyerah masuk kesana."
"Karena itulah dia menjadi anakku, paman. Dia akan ku ajarkan bagaimana caranya menjadi penyihir sejati, dia akan aku ajarkan bagaimana bermain pedang, bahkan jika perlu akan ku ajarkan dia cara bermain nyawa." Analika menatap tajam sang paman, menepuk dadanya dan berkata, "Anak Analika tidak akan sulit untuk masuk kedalam akademi itu, paman."
"Baiklah. Kau ajari lah dia, masih ada tiga bulan lagi sebelum penerimaan murid baru."
Analika mengangguk memberi hormat kemudian membawa Bumi keluar dari ruangan itu. ia menendang pintu salah satu kamar yang sudah lama kosong di rumah itu, dan meletakkan Bumi diatas ranjang dengan sangat hati-hati.
" Caeruleus sembilan, bawalah embun kesini." gumamnya sambil membuka jari-jarinya membentuk cakar, cahaya berwarna biru pudar keluar dari sela-sela jarinya. Melihat itu Analika membawa tangannya ke sekujur tubuh Bumi dalam gerakan mengusap.
Cahaya biru pudar itu menyerap masuk kedalam daging dan tulang Bumi. Kelopak mata Bumi bergerak-gerak sebentar kemudian matanya terbuka lebar.
"Delima!"Desis Bumi mengubah posisi menjadi duduk tanpa sadar. Matanya mengerling sekitar ruangan, dia menatap heran mendapati satu sosok wanita cantik sedang menatapnya dingin.
"Siapa kau?!"Bumi patut waspada, karena bisa jadi ini jebakan lain dari Delima. Mengingat wanita membuat hati Bumi kembali sakit, jadi ia menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan Analika.
"Namaku Analika, Dewi penyihir paling cantik di wilayah pemerintahan kerajaan Castaria." Analika melipat kedua tangannya di depan dada, "Aku menyelamatkan nyawamu, kau terjatuh dari ketinggian yang sangat tinggi."
"Terimakasih sudah menolongku,"Mendengar pihak lain baru saja menolongnya, Bumi dengan cepat mengucapkan terimakasih.
"Terimakasih saja tidak cukup."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk membalasnya?"Tanya Bumi bingung.
"Menjadi anakku."
Bumi kaget, ia perhatikan wajah serius Analika. Wanita ini masih terlalu muda untuk menjadi ibunya, mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan bumi.
"Aku sudah hidup selama tiga ratus tahun dan tentu saja sangat pantas menjadi ibumu."kata Analika kesal.
"Seratus tahun?" Bumi melongo, bagaimana mungkin wanita cantik yang masih sangat muda sudah hidup selama itu. Bumi tidak ingin percaya tapi melihat wajah serius Analika membuat nyali nya ciut untuk bertanya lebih jauh.
Bumi memperhatikan sekelilingnya dengan seksama, ia baru menyadari bahwa ruangan ini sangat aneh. Semua yang ada dalam ruangan ini berwana biru. Bumi mengangkat tangannya dan menghela nafas lega kulitnya tidak ikut berubah warna.
Tempat apa ini?
Bumi memijit keningnya yang tiba-tiba saja pusing, beberapa kali mencubit lengannya dan saat merasakan sakit, Bumi yakin kalau sekarang tidak sedang bermimpi.
Ah, Jangan-jangan aku sudah di alam baka. Wanita ini bisa jadi malaikat yang sedang menyamar. Batin Bumi, tanpa sadar beringsut menjauhi Analika.
***
Like, komen dan vote yaa...