Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 15.
...« Malam yang panjang »...
Semua orang sudah sampai di villa, sudah membagi kamar untuk ditempati masing-masing juga. Kini acara selanjutnya adalah barbeque-an. Di halaman depan yang luas, para lelaki menyiapkan peralatan panggangnya sedangkan para perempuan menyiapkan bahan-bahannya.
“Dina, sejak kapan Kak Lina punya pacar? Emangnya sama Mas Gavan gak jadi?”
Arasya melancarkan aksinya dengan berbisik. Keduanya berpisah dari yang lain sehingga Arasya tidak perlu menunda lagi untuk bertanya tentang hubungan Gavan dan Lina.
“Kenapa gak tanya Mas kamu, Ra?” Dina balik bertanya. “Awalnya kesel banget tahu pas kamu bilang kamu ajak Mas Gavan. Tapi pas semuanya di urus tuh aku ngerasa ini orang baik banget ya. Kak Lina juga bilang gitu, tapi karena Kak Lina sering galau gara-gara Mas Gavan, aku sering tutup telinga pas Kak Lina puji-puji Mas Gavan.”
Penjelasan yang panjang, Arasya harus menyiapkan telinga dan otaknya agar bisa memahami dengan cepat.
“Aku gak pernah tanya, takut. Kata Masku yang satunya, Mas Gavan kalau ditanyain perihal itu tuh galaknya bukan main.” Arasya berusaha membuat suaranya pelan.
“Oh, Mas kamu yang udah nikah itu?”
Arasya mengangguk mengiyakan.
“Kata Kak Lina, Mas Gavan welcome banget kok. Baik juga. Tapi susah. Masmu itu nempatin Kak Lina kayak maling, terus dianya bikin pengamanan yang ketat biar gak dibobol. Ngerti ‘kan maksudku, Ra?”
Arasya terdiam sejenak sembari membatin, mengulang perumpamaan yang diberikan Dina. Kemudian mengangguk mengerti.
“Terus karena capek sendiri, Kak Lina coba cari yang lain. Eh ternyata cocok sama sekarang, namanya Kak Bimo. Teman satu sekolahnya Kak Lina dulu.”
Bibir Arasya membentuk huruf O kecil. “Jadi itu karena Mas Gavan, ya?”
“Iya. Coba kamu tanya, Ra. Siapa tahu ada alasannya yang kita gak tahu. Atau mungkin juga Mas Gavan mau kenalan sama Kak Lina karena yang kenalin kamu.”
Arasya tersentak mendengar ucapan Dina. “Aku jadi merasa bersalah sama Kak Lina.”
“Eh?” Dina menolehkan kepalanya dengan cepat. “Kamu gak salah, Ra. Aku yang salah omong. Aduh, maaf, ya. Udah gak perlu dipikirin. Sekarang Kak Lina udah bahagia tahu sama Kak Bimo.”
Dina buru-buru menghibur Arasya, mengalihkan topik agar rasa bersalah temannya itu tidak berlarut.
“Woy, ngapain kalian? Udah ditunggu Kak Lina tuh di sana. Masa iya mau bakar daging tapi gak ada dagingnya.” Voni muncul dari belakang, memisahkan jarak antara Arasya dan Dina.
Dina langsung menyerahkan sebaskom daging dan sosis pada Voni. “Nih. Tolong, ya.”
Tanpa menunggu persetujuan Voni, Dina menarik Arasya untuk menjauh secara cepat. Meninggalkan Voni yang bengong di tempat.
Malam itu sangat berisik. Suara teriakan sahut-menyahut terdengar memecahkan keheningan malam. Apalagi setelah makanan siap untuk disantap, tidak ada yang berhenti mengoceh atau menguyah. Mereka semua melakukan dua aktivitas itu dengan lancar tanpa hambatan.
Selesai dengan urusan perut, pun beberapa puluh menit untuk meredakan kekenyangan. Mereka bergotong royong membersihkan barang-barang yang telah dipakai.
Tidak ada yang berleha-leha, atau hanya melihat saja. Semuanya menghamburkan diri membantu satu sama lain agar cepat selesai dan bisa beristirahat di kamar masing-masing.
“Capek, Dek?” tanya Gavan setelah pekerjaan mereka tuntas.
Arasya menggelengkan kepalanya, senyumnya merekah lebar. “Seru, Mas!” ujarnya penuh semangat.
Gavan ikut tertular senyum itu. Tangannya otomatis mengacak rambut Arasya. Gemas. Si kecilnya itu selalu tahu bagaimana berlagak lucu tanpa di sengaja.
“Semuanya udah selesai?” tanya Dina dengan suara lantang.
“Udah!” Jawab yang lain secara bersamaan. Mengundang tawa bagi mereka, sebab terlihat seperti seorang murid yang menjawab pertanyaan sang guru.
“Kalau gitu udah cukup buat hari ini. Makasih semuanya atas kerja keras masing-masing. Waktunya kita tidur. Biar besok bisa bangun pagi dan terusin rencana kita selanjutnya.”
Semua bersorak kegirangan. Lalu satu persatu berpamitan untuk masuk ke dalam kamar, termasuk Gavan dan Arasya.
“Sikat gigi dulu, Dek.”
Peringat Gavan pada Arasya yang hampir rebahan di kasur. Tidak lupa Gavan mengunci pintunya, kemudian membuka pintu kamar mandi dan mempersilahkan Arasya untuk masuk.
“Dingin, Mas.”
“Iya, makanya yang cepet. Nanti langsung tidur sama selimutan.”
Gavan memilih duduk di pinggir ranjang, tangannya terulur mengambil ipad yang berada di atas nakas. Sembari menunggu Arasya selesai, Gavan akan mengecek sedikit pekerjaannya.
Banyak sekali email masuk menunggu untuk dibaca. Menit setelahnya Gavan sangat fokus meneliti isi email dari masing-masing pengirim.
“Mas, udah.” Arasya keluar dengan terburu-buru dari toilet.
“Oke. Tidur gih.”
Gavan melirik sekilas ke arah Arasya. Kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. Ada jeda sejenak sebelum kasur bagian belakang Gavan bergoyang pertanda Arasya sudah menidurkan diri di sana.
“Mas ngapain?”
“Lihat email sebentar. Kalau ngantuk, tidur. Besok mau kulineran katanya.”
“Ya ayo tidur.” Arasya merengek. Sama sekali tidak mengindahkan kalimat pertama dari Gavan.
Gavan menghela nafasnya sembari menaruh ipadnya di meja nakas. Kemudian ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Sikat gigi sebelum tidur adalah hal yang wajib bagi Gavan.
Arasya menunggu dalam diam, tubuhnya sudah tertutupi oleh selimut dengan sempurna. Kakinya bergerak kesana-kemari mencari kehangatan.
Sampai di mana Gavan keluar dari kamar mandi dan menyusul Arasya di atas ranjang, si kecil langsung menata selimutnya agar bisa berbagi dengan Gavan.
“Mas tadi sekalian tarik tunai. Besok kalau jadi jajan, uangnya minta Mas aja.”
Arasya mendongak menatap Gavan, ia sudah memeluk pria tersebut supaya cepat tidur, tetapi diurungkannya karena ucapan dari Gavan.
“Mas mending ingetin aku buat bawa tas besok. Mas Devan kemarin transfer ke rekeningku, jadi uangku banyak.”
“Ya di simpen aja. Pakai uang Mas.”
“Tadi udah pakai uang Mas. Terus nolak di ganti lagi. Orang kita tuh rame-rame liburannya, jadi ya kalau beli-beli tuh emang harus patungan. Ngerti enggak?”
“Enggak.” Jawaban singkat itu membuat Arasya kesal bukan main.
“Aku aduin Mami.” Ancam Arasya sok berani. Ia lupa bahwa yang berada di sampingnya adalah Gavan. Kakak laki-laki yang membuat Arasya takut juga sungkan saat di rumah.
Gavan tertawa geli mendengar ancaman itu. Tidak kah si kecil lupa bahwa Gavan adalah pemegang tahta tertinggi dalam keluarganya? Apakah si kecil lupa bahwa keputusan Mami adalah hasil dari persetujuan Gavan?
“Pokoknya gak boleh bayar-bayar lagi ya, Mas. Dina ngomel mulu sama aku tau. Katanya gak enak, ngerepotin terus. Mas mah enak gak denger gimana Dina ngomel.”
“Ya emang. Mas dengernya Adek yang ngomel.”
Arasya mendengus kesal, tidak lagi mau bertatapan dengan Gavan. Gadis tersebut memilih menidurkan kepalanya di atas lengan Gavan, lalu memeluk si sulung sangat erat.
“Besok pagi joging dulu deh kayaknya, Mas. Aku nanti kalau masih tidur, bangunin ya? Pokoknya aku harus bangun tepat waktu. Ya, Mas, ya?”
...« Terima kasih sudah membaca »...