Sayangi aku.. Dua kata yang tidak bisa Aurora ucapkan selama ini.. Ia hanya memilih diam saat mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang- orang di sekitarnya bahkan keluarganya. Jika dulu dia selalu berfikir bahwa kedua orang tuanya itu sangat menyayangi dirinya karena mereka yang tidak pernah memarahi bahkan menuntut dirinya untuk melakukan apapun dan sangat berbanding terbalik dengan perlakuan ke dua orang tuanya pada kakak dan adiknya.. Tapi semakin dewasa Aurora menyadari bahwa selama ini ia salah.. Justru keluarganya itu sedang mengabaikan dirinya.. Keluarganya tidak peduli dengan apapun yang ia lakukan ...
INGAT !!! Ini hanya cerita fiksi dimana yang mungkin menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin menjadi mungkin..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#2
Happy Reading...
.
.
.
"Siapa kalian? Kenapa kalian mendorongku?" Tanya Rora sambil berusaha untuk berdiri.
"Dimana Evan?"
"Siapa kalian? Dan kenapa kalian mencari papaku?" Tanya Rora lagi mengabaikan pertanyaan dari orang yang baru saja mendorongnya.
Lelaki yang tadi mendorong Rora berjalan mendekat lalu mencengkeram kuat pipi Rora. "Katakan dimana Evan sekarang?" Ucapnya tajam.
Rora meraih tangan lelaki itu dengan kedua tangannya. "Lepaskan." Ucap Rora sambil menahan rasa sakit karena pipinya yang di tekan kuat.
"Kenapa kalian lama sekali?" Tanya Seorang lelaki yang baru saja datang.
"Maaf tuan. Sepertinya Evan sedang tidak ada di rumah." Ucap Lelaki yang mencengkeram Rora.
"Lepaskan dia." Titah lelaki yang di panggil tuan. Lelaki itu berjalan mendekat lalu mengusap pipi Rora yang terlihat memerah. "Ck.. Kamu menyakitinya." Ucap lelaki itu.
"Siapa kalian? Kenapa kalian mencari papaku?" Tanya Rora pada lelaki itu.
"Aku? Aku adalah orang yang di rugikan akibat keputusan yang sudah papamu ambil." Jawab lelaki itu sambil mendekatkan wajahnya ke arah Rora. "Dan aku kesini karena ingin meminta ganti rugi kepadanya."
"Papa tidak ada.. Papa pergi... "
"Apa maksudmu tidak ada." Potong lelaki itu sambil memberikan jarak pada Rora. "Cepat kalian cari.. Dia pasti sedang bersembunyi di dalam sekarang." Titah lelaki itu pada anak buahnya yang lain.
"Berhenti." Teriak Rora. Ia berjalan sambil meraba untuk menghentikan mereka saat mendengar beberapa barang yang sengaja di rusak. "Aku sudah bilang tidak ada." Ucapnya. "Aku akan melaporkan kalian ke kantor polisi." Ancam Rora yang membuat beberapa dari mereka tertawa.
"Bos.. kenapa kita tidak membawa gadis buta ini saja untuk jaminan." Usul dari salah satu mereka.
Setelah berfikir lelaki yang di panggil bos itupun menyetujuinya. dua anak buah lelaki itu berjalan mendekat ke arah Rora lalu meraih tangannya.
"Kalian akan membawaku kemana?" Tanya Rora sambil berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman anak buah lelaki itu.
"Kalian mau bawa kemana adikku?" Teriak Ezra. Ia berjalan memasuki rumah diikuti Evan, Laura, Clarista dan dua orang lagi.
"Lepaskan." Titah lelaki itu lalu beralih menatap tajam Evan.
Ezra berjalan mendekat lalu menarik tubuh sang adik untuk berada dekat dengan dirinya. "Kamu tidak apa- apa dek?" Tanya Ezra pada Rora.
Rora menggelengkan kepalanya sambil mengusap pergelangan tangannya.
"Apa yang kamu lakukan di rumahku Alex?" Tanya Evan.
Alex menjulurkan tangannya pada Evan. "Tentu saja untuk meminta uangku. Sekarang mana uangku?"
"Bukankah aku masih mempunyai waktu setengah hari lagi." Protes Evan. "Jadi aku minta sekarang kamu segera angkat kaki dari rumahku."
Alex tertawa sinis. "Kamu berani mengusirku?" Tanya Alex sambil menaikkan satu alisnya. " Tapi baiklah.. Aku akan pergi tapi aku akan datang lagi nanti.. Aku akan memberikan kamu waktu sampai nanti malam.. Dan ingat jika kamu tidak bisa mengembalikan uangku maka salah satu anakmu harus ikut denganku." Alex mengingatkan.
.
.
.
"Sekarang kita harus bagaimana pa?" Tanya Laura sambil meremat jari- jari tangannya.
Evan menghela nafasnya lelah sambil memijit pelipisnya. "Aku sendiri tidak tahu ma. Aku harus mencari pertolongan kemana lagi. Mama dengar sendiri semua yang kita mintai tolong menolak untuk menolong kita.. Mereka tidak mau berurusan dengan Alex."
"Apa om Vano masih belum bisa di hubungi pa?" Tanya Ezra. Evan menggelengkan kepalanya.
"Cobalah untuk menghubunginya lagi. Waktu kita hanya tinggal beberapa jam lagi pa." Laura mengingatkan. Ia semakin merasa kalut. Bagaimana jika Alex mengambil Clarista darinya? Bagaimana jika nanti Alex membuat hidup anaknya itu menderita? Laura memikirkan kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi lainnya. "Aku tidak mau sampai Rista diambil Alex pa."
"Mama tenang dulu.. Papa tidak akan membiarkan Rista diambil Alex."
"Apa papa akan menyerahkan Rora?" Saut Laura sinis. "Tapi apa mungkin Alex mau menerima anak setengah buta itu? Bahkan di berikan secara cuma- cuma pun aku yakin Alex tidak akan mau.."
"Stop ma." Ucap Ezra. "Tidak akan ada yang di bawa pergi dari rumah ini. Aku akan berusaha membantu papa untuk melunasi semuanya."
"Seratus milyar lebih. Dari mana kita akan mendapatkan uang sebanyak itu?" Tanya Laura sambil menatap anak sulungnya. "Sedangkan waktu kita hanya tersisa tiga jam saja. Jika pun terpaksa maka biarkan saja Rora yang di ambil. Biarkan Rora menjadi jaminan untuk..."
"Aku bilang stop ma." Potong Ezra dengan emosi. "Tidak akan ada yang keluar dari rumah ini.. Aku tidak akan membiarkannya.'
Aurora meremat bajunya. "Sebenci itukah mama kepadaku." Ucap Rora lirih. Ia pun memutuskan untuk menjauh. Ia tidak akan sanggup lagi untuk mendengar perdebatan yang pasti akan membuatnya sakit hati.
Aurora mendudukkan dirinya di kursi yang berada di taman rumahnya. Ia tidak ingin kakaknya sampai melihat dirinya menangis. Berulangkali Rora menghapus air matanya yang mengalir di kedua pipinya. Ia harus bagaimana sekerang? Ia harus bagaimana untuk mendapatkan uang dengan waktu yang hanya tersisah tidak lebih dari tiga jam?
Aurora kembali menangis saat teringat kembali ucapan mamanya yang akan membiarkan dirinya untuk menjadi jaminan pada lelaki tadi. Ia menangis sambil menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya. Sungguh ia takut sekarang. Andai ada yang bisa ia lakukan untuk membantu keluarganya pasti ia akan lakukan apapun itu tapi tidak dengan menjadikan dirinya jaminan.
.
.
.
"Bersiap- siaplah. Ganti bajumu dengan yang lebih baik." Titah Laura pada Rora.
"Untuk apa ma?" Tanya Rora sambil mengerutkan keningnya.
"Untuk sementara kamu akan ikut dengan Alex sampai kami bisa mengembalikan seluruh uangnya." Jawab Laura tanpa beban.
"Pa.." Panggil Rora lirih dengan kedua mata yang berkaca- kaca.
"Turuti ucapan mama kamu. Lagi pula ini hanya sementara." Ucap Evan.
Rora menggelengkan kepalanya. "Kenapa harus Rora?" Tanyanya dengan air mata yang menetes di kedua pipinya. "Rora tidak mau pa.. Rora tidak mau.." Tolaknya.
"Tentu harus kamu." Jawab Laura sambil menatap tajam pada Rora. "Jika bukan kamu harus siapa lagi? aku tidak mungkin membiarkan anakku yang pergi."
"Tapi ma.. Bukan kah Rora juga anak mama? Rora akan melakukan apapun asal papa dan mama tidak menjadikanku jaminan.." Mohon Rora sambil bersimpuh.
"Apa yang bisa di lakukan gadis buta seperti kamu. jika bekerjapun kamu akan menjadi beban. Lebih baik kamu segera pergi ke kamar kamu dan ganti bajumu.."
"Maa.." Bentak Ezra. "Ezra sudah bilang tidak akan ada yang pergi dari rumah ini." Lanjut Ezra sambil membantu Rora untuk berdiri.
"Mbak." Panggil Elina mengalihkan perhatian Evan dan Laura.
"Elina." Ucap Laura. Sungguh kedatangan Devano dan Elina membuat Evan dan laura bisa bernafas lega.
"Maaf karena datang terlambat." Ucap Elina lalu berjalan menghampiri Rora yang masih tertunduk disisi Ezra.
Elina mengusap pipi Rora. "Jangan menangis lagi.. Tante akan membantu keluarga kamu.. Tante tidak akan membiarkan gadis secantik kamu menjadi jaminan."
"Terima kasih tante." Balas Rora.
"Ezra lebih baik kamu bawa adik kamu ke kamarnya. Biarkan dia beristirahat." Titah Devano. Ezra pun menuntun sang adik untuk pergi ke kamarnya.
"Jadi apa lagi sekarang mas?" Tanya Devano sambil menatap tajam Evan dan Laura bergantian.
Jangan lupa tinggalkan jejak...