Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Pilihan, Hanya Kewajiban
Marsha menatap tangan Sean yang menggenggam tangannya. Hangat. Kokoh. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Keraguan itu kembali datang, merayapi pikirannya seperti bayangan yang enggan pergi. Ia mengingat sesuatu—sesuatu yang pernah diucapkan Sean di awal pernikahan mereka.
"Aku menikahi kamu untuk membalas sesuatu."
Kata-kata itu terus terngiang di benaknya, menghancurkan seberkas kenyamanan yang baru saja ia rasakan.
Tanpa sadar, Marsha menarik tangannya dari genggaman Sean.
Sean menatapnya heran. "Ada apa?"
Marsha mengalihkan pandangannya, menatap hamparan malam yang gelap di hadapannya.
"Aku mau tanya satu hal," ucapnya pelan.
Sean masih menatapnya, menunggu. Marsha menelan ludah. Ia harus tahu kebenarannya, atau ia tidak akan pernah bisa benar-benar nyaman berada di sisi pria ini.
"Dulu kamu bilang… kamu menikahi aku untuk membalas sesuatu," suaranya terdengar lebih lirih dari yang ia harapkan. "Apa maksud kamu dengan itu, Sean?"
Hening.
Angin malam berembus pelan, membawa kesunyian yang semakin menekan dada Marsha. Ia menoleh, dan melihat ekspresi Sean yang berubah. Rahangnya mengeras, matanya menajam, tetapi ada sesuatu yang lain di sana. Sebuah keraguan. Marsha menunggu.
Sean menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya."
Jawaban itu membuat hati Marsha mencelos.
"Bukan waktu yang tepat?" ulangnya dengan nada tak percaya. "Jadi kapan waktu yang tepat? Sampai aku benar-benar percaya kalau pernikahan ini memang hanya sebuah permainan?"
Sean menatapnya tajam. "Aku nggak pernah menganggap pernikahan ini sebagai permainan."
"Tapi kamu nggak mencintai aku," potong Marsha. "Jadi apa arti pernikahan ini untuk kamu?"
Sean tidak langsung menjawab. Tatapan matanya menjadi lebih dalam, seolah sedang menimbang sesuatu.
"Aku nggak mau sakiti kamu," katanya akhirnya.
Marsha tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar getir. "Itu bukan jawaban yang aku inginkan, Sean."
Sean mengusap wajahnya dengan kasar, lalu bangkit berdiri. Ia berjalan mendekati pagar balkon, menatap langit malam dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Marsha tetap duduk, tetapi matanya terus mengikuti pria itu.
"Ada banyak hal yang nggak kamu tahu, Marsha," suara Sean terdengar lebih pelan kali ini. "Aku nggak mau membebaninya ke kamu."
Marsha menggigit bibirnya. "Aku istri kamu, Sean. Bukannya seharusnya kita menghadapi semuanya sama-sama?"
Sean menoleh, menatapnya dengan mata yang seolah menelanjangi isi hatinya.
"Kamu sungguh mau tahu?" tanyanya, suaranya dalam.
Marsha mengangguk.
"Aku menikahi kamu karena aku harus," kata Sean akhirnya. "Karena itu adalah bagian dari kesepakatan yang telah dibuat sejak lama."
Marsha merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
"Kesepakatan?" ulangnya. "Dengan siapa?"
Sean terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya.
"Dengan papa kamu," jawabnya pelan.
Dunia Marsha terasa berhenti berputar.
"Papa aku?" tanyanya, nyaris berbisik.
Sean mengangguk.
Marsha merasa tubuhnya melemah. Ayahnya sudah lama meninggal, dan ia tidak pernah tahu bahwa ada sesuatu yang melibatkan dirinya dalam urusan pria itu.
"Aku nggak ngerti," katanya jujur.
Sean menarik napas dalam sebelum menjelaskan, "Papa kamu pernah menyelamatkan keluargaku dari kehancuran. Dia melakukan sesuatu yang sangat besar untuk papaku, sesuatu yang membuat keluargaku tetap berdiri hingga saat ini."
Marsha menatapnya tanpa berkedip.
"Sebagai gantinya, papaku berjanji untuk melindungi kamu dan keluarga kamu," lanjut Sean. "Dan aku… adalah bagian dari janji itu."
Marsha merasakan matanya mulai panas.
"Jadi kamu menikahi aku karena hutang budi?" tanyanya pelan.
Sean tidak menjawab. Marsha tertawa kecil, meskipun air mata mulai menggenang di sudut matanya.
"Aku sempat berpikir... mungkin aku bisa menerima pernikahan ini," katanya lirih. "Tapi ternyata, aku bukan siapa-siapa. Hanya sebuah kewajiban."
"Marsha—"
"Sudah malam," potong Marsha cepat. "Aku ingin tidur."
Ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamar dengan langkah cepat. Sean tidak mencegahnya.
Saat Marsha membaringkan tubuhnya di tempat tidur, air matanya akhirnya jatuh. Pernikahan ini memang bukan permainan, tapi ia juga bukan sebuah pilihan. Ia hanyalah sebuah janji lama yang harus ditepati.
...***...