Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#24 : Sebuah Pertemuan yang Tak Terduga
Langit membentang luas di atas Akademi Valdris, membentangkan cakrawala biru yang hanya ternoda oleh awan tipis yang melayang perlahan. Angin pagi berembus sejuk, membawa serta harapan dan bisikan yang memenuhi koridor-koridor akademi. Biasanya, pagi di tempat ini dipenuhi riuh rendah para murid yang berlalu-lalang, sibuk dengan rutinitas mereka—menuju kelas, menempa diri di arena latihan, atau sekadar bercakap-cakap di antara mereka. Namun, hari ini berbeda.
Lebih ramai. Lebih gaduh.
Bisikan-bisikan memenuhi udara, bisikan yang menggumpal dalam gelombang antusiasme yang nyaris tak terbendung. Para murid berkerumun, dan di antara mereka, terutama para gadis, mata-mata berbinar, pipi bersemu, dan harapan terselubung dalam desahan kagum.
"Damien… apakah itu benar-benar dia?"
"Tuhan, setelah sekian lama… dia kembali!"
"Ke mana saja dia selama ini?"
Sosok yang menjadi pusat perhatian mereka melangkah santai di antara lautan murid, acuh tak acuh terhadap kehebohan yang mengiringinya. Damien von Adler—putra sulung Jenderal Gerald von Adler, pewaris kejayaan, murid senior yang lebih sering absen daripada hadir.
Namanya disebut dengan rasa hormat dan kekaguman, digadang-gadang sebagai calon jenderal besar berikutnya. Dengan tubuh tinggi tegap, wajah tampan yang nyaris tak pernah menampilkan ekspresi, serta aura dingin yang menekan setiap jiwa yang berdiri di hadapannya, Damien bukan sekadar murid biasa. Ia adalah legenda berjalan, sosok yang diidamkan sekaligus ditakuti.
Para murid laki-laki memandangnya dengan rasa hormat, mengaguminya sebagai panutan. Para gadis, sebaliknya, hampir tak bisa menutupi kegembiraan mereka. Namun, bagi Damien, semua itu tidak lebih dari kebisingan tak berarti.
Ia terus melangkah, tanpa tergesa, menuju loker pribadinya. Begitu jemarinya menekan kombinasi kunci—
BRUK!
Ratusan surat berwarna merah muda meluncur jatuh, berserakan di lantai marmer.
Damien berhenti, menatap tumpukan surat-surat itu dengan alis sedikit berkerut. Sudah tiga bulan ia absen, dan sebanyak ini? Ia menarik napas pendek, lalu menyingkirkan surat-surat itu tanpa banyak pikir. Namun, di antara tumpukan itu, ada satu yang berbeda.
Sebuah surat hitam polos dengan cap lily tersemat di belakangnya.
Damien meraihnya, membaliknya perlahan, lalu membaca nama yang tertera.
Selene d’Aragon.
Alisnya sedikit terangkat.
Sebuah nama yang asing.
Meskipun lebih sering berada di perbatasan daripada di akademi, Damien mengingat hampir semua nama keluarga penting di Valdris. Tapi nama ini…
Tidak familiar.
Di belakangnya, bisikan-bisikan kembali terdengar. Namun kali ini, nadanya berbeda.
"Itu… Selene yang kita kenal?"
"Astaga, aku bahkan tak berani membayangkannya."
"Ehem, berhenti bicara tentang dia! Dia bahkan bisa mematahkan lehermu dalam sekali cekik."
"Jangan sebut namanya dengan sembarangan. Para murid elite saja tak bisa melawannya."
Damien menajamkan pendengarannya, menangkap setiap kata yang diucapkan dengan suara berbisik. Ada sesuatu yang menarik di sini.
Dengan tenang, ia berbalik, menatap sekelompok murid yang tampak ragu-ragu di hadapannya. Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman, tetapi cukup untuk membuat semua orang menegang.
“Siapa Selene d’Aragon?”
Kerumunan itu membeku.
Seseorang berdeham, tampak enggan menjawab.
Lalu, sebuah suara lirih terdengar.
"Dia iblis."
Damien tidak menunjukkan reaksi. Namun dalam hatinya, ia tersenyum tipis.
Menarik.
Seorang gadis yang ditakuti hingga murid-murid enggan menyebut namanya?
Ia ingin melihatnya sendiri.
Tanpa membuang waktu, Damien melangkah keluar dari gedung akademi, menuju satu tempat di mana ia yakin akan menemukan jawabannya.
Arena latihan.
***
Arena Latihan – Duel yang Ganas
Suara benturan pedang memenuhi udara.
Di tengah lapangan, dua sosok bertarung sengit. Pedang bertemu pedang, setiap tebasan disambut dengan balasan yang sama cepatnya. Langkah kaki menghentak tanah berpasir, menggores permukaan dengan gesekan tajam.
Selene d’Aragon berdiri tegap, matanya menyala dengan api keganasan. Lawannya, Austin, seorang murid berbakat yang baru saja kembali dari misi, terengah-engah di hadapannya.
Selene tertawa kecil—nada dingin yang penuh ejekan.
Dengan gerakan cepat dan licik, ia menyerang tanpa belas kasihan. Bilah pedangnya nyaris mengenai lutut Austin, memaksanya mundur dengan susah payah.
"Hey! Itu pelanggaran aturan!" seru seseorang dari tribun.
Selene hanya menyeringai. “Dalam pertempuran, siapa peduli aturan?”
Ia terus menekan Austin, serangannya ganas, tanpa ragu, tanpa ampun.
Dari tepi lapangan, sepasang mata tajam mengamati.
Damien von Adler berdiri di sana, lengannya terlipat di dada. Ekspresinya tetap datar, namun dalam matanya, ada secercah ketertarikan.
Saat duel berakhir, Austin tersenyum lelah dan menjabat tangan Selene.
“Hebat. Kau layak berada di sini.”
Selene hanya mengangkat bahu, seolah-olah kemenangan itu bukan sesuatu yang luar biasa.
Kemudian—
Prok. Prok. Prok.
Tepuk tangan terdengar dari seberang lapangan.
Semua kepala menoleh.
Damien von Adler melangkah mendekat, masih dengan ekspresi dinginnya.
“Luar biasa,” katanya, singkat. “Duel yang mengesankan.”
Selene tidak bereaksi.
Jason, pelatih mereka, tertawa kecil sebelum melambaikan tangan ke arahnya.
“Selene, kemarilah.”
Selene melangkah maju, tanpa ekspresi.
“Kenalkan,” ujar Jason. “Damien von Adler, jenderal muda Akademi Valdris.”
Selene menatapnya dari atas ke bawah. Cukup tampan dan cukup kuat.
Damien tersenyum tipis, penuh arti. “Jadi, kau Selene?”
“Ya. Kenapa?”
Damien mengeluarkan surat hitam dari sakunya. “Jadi ini surat cinta darimu?”
Selene melirik surat itu sekilas, lalu mendengus. “Aku tampak seperti gadis bodoh yang akan melakukan hal itu?”
Beberapa murid menahan napas.
Damien tetap tenang. “Jika bukan milikmu, mengapa namamu tertulis di sini?”
Selene menyilangkan tangan. “Mana aku tahu. Itu bukan urusanku.”
Damien menatapnya lama. Ada sesuatu tentang gadis ini yang menarik.
Tiba-tiba, Selene tersenyum miring. “Aku menantangmu.”
Damien mengangkat alis, nyaris seperti mendengar lelucon. “Kau yakin?”
“Banyak bicara,” desisnya. “Di arena, kita lihat siapa yang akan berlutut lebih dulu.”
Dan demikianlah, pertarungan yang dinantikan seluruh akademi pun dimulai.