Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.
Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.
Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.
**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4_Kedatangan Orang yang Ditunggu
Pukul tujuh pagi, suasana pesantren sudah sibuk. Para santri baru saja menyelesaikan sarapan pagi dan bergegas meninggalkan ruang makan untuk mengikuti kajian rutin. Beberapa santri berjalan dengan tenang menuju aula, sementara Santi dan teman-temannya masih sibuk membereskan dapur.
Udara pagi ini terasa sejuk, dengan sisa embun yang masih melekat di dedaunan, berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai meninggi. Burung-burung berkicau di antara pepohonan, seolah ikut menyemarakkan pagi yang tenang ini.
Di dapur umum, aroma khas masakan masih tercium samar. Santi sedang mengumpulkan piring kotor di meja panjang, kemudian mengangkatnya ke luar, ke tempat pencucian piring. Satu persatu piring itu ia cuci di bawah pancuran air bak yang airnya bersumber dari pegunungan. Tangannya terasa sedikit dingin saat menyentuh air, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya dengan sabar.
Suara riuh rendah santri-santri lain mulai mereda ketika satu suara terdengar dari arah gerbang pesantren.
Suara deru mobil.
Santi yang semula fokus dengan pekerjaannya, refleks menoleh ke arah sumber suara. Begitu pula Alea dan Zahra, yang tengah sibuk merapikan gelas-gelas teh di rak kayu.
"Itu mobil siapa?" Zahra berbisik penasaran, matanya menatap ke luar dapur.
Alea, yang sejak kemarin tak sabar menunggu kedatangan seseorang, langsung mendekati Zahra dan berbisik antusias, "itu pasti Mas Adam!"
Fatimah yang sedang menuang sisa sayur ke dalam panci besar hanya melirik sekilas, "kalau iya, kenapa? Mau menyambut beliau kah?" sindirnya datar.
Alea terkekeh pelan, "ya, nggak juga mbak. Tapi penasaran, kan?"
Santi diam saja. Namun, rasa ingin tahunya tak bisa ia hindari. Ia melangkah ke ambang pintu dapur, mengintip ke arah halaman utama.
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan pendopo utama pesantren. Beberapa santri ikut melihat dari kejauhan, mereka tampak berbisik-bisik kecil.
Pak Hasan, sopir keluarga Kiyai Nasir, keluar lebih dulu. Ia segera membuka pintu belakang, dan seseorang melangkah turun.
Seorang laki-laki.
Tinggi, tegap, mengenakan kemeja hitam yang digulung sampai siku, dengan celana bahan sederhana. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan, tapi tidak terlihat berantakan asal. Wajahnya tenang, rahangnya tegas, dan sorot matanya tajam.
Adam.
Keponakan Kiyai Nasir yang sejak kemarin jadi pembicaraan para santri akhirnya tiba.
Ia tampak berdiri tenang, dan mengamati sekeliling.
Beberapa santri ikhwan yang kebetulan ada di sekitar situ segera menyambutnya dengan takzim. Adam membalasnya dengan anggukan kecil, ia tak banyak bicara.
Dari dalam pendopo, Kiyai Nasir dan Nyai Halimah keluar menyambut.
"Selamat datang, Nak Adam, bagiamana kabarmu?" Suara Kiyai Nasir terdengar berwibawa.
Adam salam takjim dengan hormat kepada Kiyai dan Bu Nyai, "Alhamdulillah sehat Kyai, Bu Nyai."
"Perjalanannya lancar?" tanya Nyai Halimah lembut.
"Lancar, Nyai. Alhamdulillah."
Santi masih berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan dari jauh. Ia merasa pria itu tak asing lagi baginya, tapi ia tidak bisa melihat wajah siapa pria itu.
Santi, memicingkan matanya, berusaha untuk melihat wajah pria itu dengan jelas. Dan saat pria itu berbalik, Santi langsung terbelalak, ternyata benar, Adam keponakan Kiyai Nasir adalah Adam yang sama yang ia jumpai di Bis Kota sewaktu itu.
Pikiran itu muncul begitu saja di kepalanya, mengingatkan kembali pada pertemuan tak terduga antara dirinya dengan Adam hari itu. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan pulang dari rumah menuju kosannya. Ia masih ingat, kala itu ia tengah menangis tanpa suara, dan seorang pemuda entah dari mana datangnya tiba tiba memberinya selembar tisu.
Pemuda itu adalah Adam.
Saat pertama kali melihatnya, Santi tidak tahu siapa dia. Dan tidak mau tahu juga siapa pria itu. Hingga pria itu sendiri yang mengenalkan namanya.
Mereka tidak banyak bicara di dalam bus. Adam hanya sesekali meliriknya, lalu kembali memandang ke luar jendela. Hingga akhirnya Adam terlebih dahulu turun dari bus, dan tapa sengaja meninggalkan tasbih kayu di tempat duduknya. Dan tasbih itu masih Santi simpan hingga saat ini. Berharap, ia bisa bertemu kembali dengan Adam dan memberikannya.
Dan kini, pria itu berdiri di depan gerbang pesantren.
"Mas Adam!" bisik Alea pelan, suaranya bergetar dengan kekaguman yang jelas. Yang membuyarkan lamunan Santi.
"Ah, tampan sekali dia," puji Zahra.
Fatimah sendiri hanya terdiam, menatap Adam dari kejauhan.
Santi masih berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan dari jauh. Jari-jarinya menggenggam ujung celemeknya tanpa sadar.
Tatapan Adam tiba-tiba bergerak, mengarah ke dapur.
Santi tersentak, jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat.
Untuk sepersekian detik, mata mereka bertemu.
Santi buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk dengan celemek yang dipakainya. Tapi rasanya percuma, karena detak jantungnya masih terdengar begitu keras di telinganya sendiri.
Zahra yang melihat perubahan ekspresi Santi, bertanya pelan, "San, ada apa?"
"Nggak apa-apa," jawab Santi cepat. Ia berusaha mengendalikan dirinya, kembali ke tempat cuci piring dan melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Tapi hatinya tidak bisa bohong, jantungnya hampir saja melompat keluar dari tempatnya.
Di luar, Adam mulai melangkah masuk ke dalam pesantren, diiringi Kiyai dan Nyai.
Langkah-langkahnya terdengar tegas, tapi tidak terburu-buru.
"Santi, tolong buatkan teh," ucap Bu Nyai entah sejak kapan sudah sampai di dapur.
"Sa-ya Bu Nyai?" Santi menunjuk dirinya sendiri dengan gugup.
"Iya kamu, ayo ikut Ibu," ujar Bu Nyai kepada Santi.
Santi merasa deg deg kan tapi ia tidak bisa menolak.
tqpi kenapa ia cuek gtu..
apa yg membuatnya begitu..
atau emang orangnya gak mau gr..
klo gtu..
fahri harus swgera nembak.
biar Ros tau kalo fahri suka ama Ros..
❤❤❤❤❤❤
Fahri harusnya sat set cari no wa Ros..
bisa tanya Adam kan..
kenapa Ros punya firasat gak enak..
aoa dia jga ada rasa ama Fahri ...
klao iya..
kenapa kesannya dia cuek seolah gak ibgat mereka pernah temenan saat SMA..
Adam..
Adam..
kok gak muncul2..
kangen ini..
😀😀❤❤❤❤
Adam amna Adam.
kok gak munvil..
kangen ini..
❤❤❤❤❤
biar abi dan umimu pergi melamar Ros...
❤❤❤❤❤❤
klao sampai ketahuan gmna ya..
aoa mereka akan langsung dinikahkan?
apakah adam tidak kecewa saat tau santi gak perewan???
❤❤❤❤❤
fahri bisa salah paham.
pasti ros yg dikira mau dijodohkan ama dia..
pasti fahri langsung terima..
atau ris yg akhirnya sadar ada rasa ke fahri saat tau fahri mau dijodihka ama sahabatnya...
penasarannn....
❤❤❤❤❤
kok lama gak up..
kangen ama adam dan santi...
❤❤❤❤❤❤❤
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
halalin aja.
😀😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤❤
dingin..
menghanyutkan..
❤❤❤❤❤❤😉
pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..
mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.
mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤