"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Mencemaskannya, tapi Aku Tetap Usil
Dalian duduk di samping Karel, wajahnya berkerut dalam campuran kekhawatiran dan frustrasi. Dia meraih kotak P3K yang tergeletak di meja, membuka penutupnya dengan gerakan kasar.
“Ini semua nggak masuk akal!” Dalian menggerutu sambil mengeluarkan kapas dan antiseptik. “Pak Pandita dan semua omongan misteriusnya. Terus sekarang lo malah kena luka bakar gara-gara dia. Gue nggak ngerti apa yang dia inginkan.”
Karel, yang duduk dengan tenang di hadapan Dalian, hanya mengangkat bahu, menatap Dalian dengan senyum tipis. "Nggak perlu khawatir. Ini cuma luka kecil. Gue masih utuh, kan?" Karel terkekeh, suaranya tenang seolah menghilangkan beban berat yang sedang dipikul Dalian.
Dalian mendongak, mata gelisahnya bertemu dengan pandangan Karel yang menenangkan. “Luka kecil? Lo serius? Ini bukan luka kecil, Karel! Tangan lo sampe kebakar gini. Apa yang dia lakukan ke lo itu—”
“Sudah, Dalian. Gue udah bilang nggak apa-apa.” Karel memotong, nadanya masih hangat dan menenangkan.
Tangannya yang satu lagi, yang bebas dari luka, menyentuh lengan Dalian dengan lembut. “Jangan kebawa emosi. Nggak semua pertanyaan harus lo jawab sekarang. Ada waktunya, gue yakin itu.”
Dalian terdiam, jemarinya yang gemetar mulai mengobati luka Karel dan membalutnya perban. Dia mengamati ekspresi tenang di wajah temannya itu, dan mendadak teringat seseorang yang membuat dadanya berdenyut. Kaya.
Cara Karel bicara, cara ia menenangkan situasi tanpa merasa tertekan, semua itu mengingatkannya pada Kaya. Sosok yang pernah menolongnya dengan kebijaksanaan dan ketenangan yang sama.
“Lo selalu kayak gini ya, Karel,” gumam Dalian, setengah tertawa sambil terus membalut pergelangan tangan Karel. “Selalu lebih bijak dari yang seharusnya.”
Karel tersenyum, tapi kali ini senyum itu tampak dalam, penuh makna. “Gue cuma belajar dari yang gue lihat. Kadang, kita harus punya jarak sama masalah biar bisa lihat semuanya dengan lebih jelas. Lo juga harus belajar itu. Jangan keburu panik, apalagi soal yang nggak lo ngerti sepenuhnya.”
Dalian menghela napas panjang, sambil sejenak mengelus dahinya yang terasa sakit akibat sentuhan dari tangan Pak Pandita. “Gue cuma takut... takut gue nggak siap buat apa yang bakal datang.”
Karel menatapnya dalam, seakan mencari sesuatu di balik kata-kata Dalian. “Nggak apa-apa buat merasa takut. Yang penting, lo nggak lari dari ketakutan itu. Lo hadapin, walaupun lo belum ngerti semuanya.”
Dalian terdiam, tubuhnya menegang ketika Karel meniup lembut ubun-ubunnya. Sentuhan itu membangkitkan kenangan lama yang tersimpan di sudut hatinya, kenangan tentang Kaya.
Hembusan hangat itu seperti membawa kembali momen-momen masa lalu, ketika Kaya adalah satu-satunya yang mampu membuatnya merasa aman di tengah kekacauan.
Perasaan campur aduk menghantam dirinya seperti gelombang pasang. Tangannya gemetar, dan tanpa sadar, air matanya berlinang. "Aku merindukanmu, Kaya," bisiknya dengan suara bergetar, hampir tak terdengar.
Karel, yang mendengar kata-kata itu, berhenti sejenak. Mata teduhnya memandang Dalian dengan perhatian yang tak biasa. “Kaya?” tanyanya lembut, seolah takut menghancurkan momen rapuh itu.
Dalian menunduk, menggigit bibir bawahnya. “Lo ngingetin gue sama dia… Cara lo tenang, cara lo ngebantu gue. Rasanya…” Dalian terhenti, tak sanggup melanjutkan. Emosi yang meluap membuatnya bingung dan canggung.
Karel perlahan mengangkat tangannya yang tidak terluka, menyentuh pipi Dalian dengan lembut. "Mungkin gue memang Kaya," katanya pelan, suaranya penuh ketulusan.
Sentuhan dan jawaban itu membuat Dalian mendongak, matanya yang basah bertemu dengan tatapan dalam Karel. Di sana, dia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar ketenangan. Ada ketulusan, ada kehangatan yang tak pernah dia duga sebelumnya.
Perlahan, jarak di antara mereka terasa memudar. Dalian merasakan detak jantungnya berdebar kencang, terlalu kencang hingga hampir menyakitkan. Dia tahu ini salah—atau mungkin benar—tetapi dia tidak bisa menghindar dari tarikan itu.
"Kaya.." panggilnya pelan, napasnya hampir tak terdengar.
Karel hanya tersenyum tipis, lalu tanpa kata, dia mendekatkan wajahnya. Hati Dalian terasa seperti melompat keluar dari tubuhnya ketika bibir mereka bertemu.
Sentuhan itu lembut, penuh kehati-hatian, seolah Karel memberi ruang untuk Dalian menarik diri kapan saja. Ciuman singkat itu cukup untuk menyampaikan segala yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata.
Dalian menarik diri perlahan, napasnya tersengal. Dia menatap Karel dengan ekspresi penuh kebingungan, campuran antara emosi dan rasa ingin tahu.
“Tunggu,” katanya, suaranya masih bergetar. “Elo bilang tadi, elo memang Kaya? Jelasin itu.”
Namun, alih-alih menjawab dengan serius, Karel hanya tersenyum tipis—senyum khasnya yang penuh teka-teki dan sedikit usil.
“Hmm… Gue bilang gitu, ya?” Karel menatap ke atas seolah sedang mengingat-ingat, tetapi nadanya jelas menunjukkan dia sedang bermain-main.
Dalian langsung merasa darahnya naik ke kepala. "Karel! Jangan main-main deh. Barusan serius banget, terus sekarang lo malah—ugh!" Dia menjambak rambutnya sendiri, frustrasi.
Karel malah tertawa kecil, ekspresinya kembali santai seperti biasa. “Eh, santai, Dalian. Gue cuma bercanda. Tapi…”
Dia mendekat lagi, menatap Dalian dengan mata yang lebih serius, walau bibirnya masih melengkung tipis. “Kalau gue memang Kaya, lo bakal gimana?”
Pertanyaan itu membuat Dalian terdiam. Dia membuka mulut untuk menjawab, tapi tak satu pun kata keluar. Pipinya memerah, campuran antara kesal dan bingung.
“Gue… gue nggak tahu,” gumamnya akhirnya. “Tapi lo nggak bisa bilang hal kayak gitu terus bikin gue bingung, Karel!”
Karel mengangkat kedua tangannya, seperti menyerah. “Oke, oke. Gue salah, gue bercanda di momen yang salah.” Namun, senyumnya kembali muncul. “Tapi lo lucu banget kalau lagi marah begini.”
“Argh!” Dalian meninju lengan Karel, cukup untuk menunjukkan kekesalannya. “Lo nyebelin banget, sumpah.”
Karel hanya terkekeh, menahan tawa saat memegangi lengannya yang dipukul. “Gue cuma pengen bikin lo nggak terlalu tegang. Lagian, gue nggak bisa jawab soal Kaya karena… ya, mungkin gue memang dia. Tapi kalau lo butuh seseorang buat nemenin lo, gue di sini.”
Perkataan itu langsung meluruhkan sedikit amarah Dalian. Dia mendesah, masih menatap Karel dengan ekspresi setengah kesal, setengah tersentuh.
“Lo tuh aneh banget, tahu nggak? Kadang nyebelin, tapi kadang bikin gue nggak bisa marah lama-lama.”
“Bagus dong,” balas Karel sambil mengangkat bahu. “Artinya gue berhasil jadi sahabat plus-plus yang baik.”
“Sahabat plus-plus?” Dalian memiringkan kepala, alisnya terangkat.
Karel hanya terkekeh tanpa menjawab, membuat Dalian menghela napas panjang lagi. Tapi kali ini, ada senyuman kecil di wajahnya, meski ia berusaha menyembunyikannya.
“Lo benar-benar bikin gue capek, Karel.”
“Capek karena sayang, kan?” Karel mengedipkan mata, jelas sengaja menggoda.
Dalian hanya memutar bola matanya, lalu bangkit dari tempat duduk. “Udah, gue nggak mau bahas lagi. Kita selesai di sini.”
Tapi saat ia melangkah pergi, Karel memanggil, “Dalian.” Suaranya lembut, hampir membuat Dalian berhenti.
Dalian menoleh, meskipun wajahnya mencoba terlihat datar. “Apa lagi?”
Karel tersenyum, kali ini lebih tulus. “Terima kasih udah percaya sama gue.”
Dalian mendengus kecil, tapi tak bisa menahan senyuman tipis di wajahnya. “Iya, iya. Tapi jangan bikin gue kesel lagi, ya.”
“Gue usahakan,” jawab Karel dengan nada bercanda, sebelum kembali menyeringai.
Dalian menggeleng pelan dan berjalan pergi, dengan perasaan yang entah kenapa bisa menjadi lebih ringan. Berbeda jauh dari perasaan seseorang yang tidak terlihat begitu sengaja mengintip mereka berdua.
Intrik makin dalem...
Aduh, itu tuh kayak... Aaarrrgggg
Gue bisa ngerasain jantung Dalian yang literally kayak drum konser. Dan pas dia mau cium…
Rasanya epik 🤩🤩
Gue ikut amazed lihat keajaiban ini 🤩🤩
Sekarang Karel bolehlah buat Chelsey 😉
Kecil-kecil tapi impactful 👍👍👊👊
Anak-anak pecinta Studio Ghibli pasti bakal suka Luma banget. Dan dialognya tuh dapet! Lucu, ringan, tapi ada hint misterius!!
Lo kasih nuansa self-redemption yang keren. Kaya bukan cuma berubah secara penampilan, tapi juga secara batin. ❤❤
Dalian gugup sampe belepotan manggil namanya, vibes-nya tuh kayak cewek yang naksir sama kakak kelas ganteng yang tiba-tiba ngajak ngobrol. Bikin pembaca auto senyum-senyum sendiri. 🤣🤣
Gue suka banget cara lo gambarin transformasi si Pandita, dari yang mungkin dulu nyeremin jadi kayak idol Korea habis meditasi di gunung. 😘😘
Aura dia tuh bukan cuma ganteng, tapi juga kayak... soul healer gitu loh. #gulinggulingparah!!!