Menunggu adalah cinta yang paling tulus, tapi apakah yang ditunggu juga mencintai dengan tulus? Sudah tiga tahun lamanya Anaya Feroza Mardani menunggu sang kekasih pulang dari Indonesia. Kabar kematian sang kekasih tak akan membuat Naya begitu saja percaya sebelum dirinya bertemu dengan jasad sang kekasih.
Penantian tiga tahun itu, membuat kedua orang tua Naya harus menjodohkan Naya dengan seorang Dokter tampan bernama Naufal Putra Abikara anak dari Abikara Grup, yang tak lain adalah musuhnya saat SMA dulu.
Apakah kekasih yang Naya tunggu akan datang? Dan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal? Bagaimanakah hubungan Naya dengan Naufal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aniec.NM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 2 Hah Menikah!
RS. Mitra Medikal
Hari ini sangat melelahkan bagi Naufal, dirinya harus menangani banyaknya pasien yang datang. Naufal memesan secangkir kopi untuk mengisi kepenatannya.
Menatap layar handphone berisi chat dirinya masih ceklis dua abu-abu. Naya belum melihat chatnya, padahal dirinya chat lima jam yang lalu dan Naya terakhir online dua puluh menit yang lalu.
“Sebenci itu dia sama gue, padahal kan itu masa SMA masa-masa remaja?” monolognya.
**
“Hah! Kok bisa sih lo di jodohin sama Naufal?” Airin sekaligus sahabatnya Naya sejak SMA hingga saat ini masih tak percaya dengan penjelasan Naya.
“Iya beneran.”
“Hahaha …” Lalu Airin tertawa.
Naya mengangkat satu alisnya, aneh dengan kelakuan Airin yang tiba-tiba tertawa tidak jelas.
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu emang?”
“Ada. Lucunya karena lo dijodohin sama musuh Lo pas SMA.”
“Jadi bener ya apa kata orang-orang jaman dulu, kalau orang berantem terus lama-lama jodoh.” Airin mengingat perkataan ibu-ibu di komplek rumahnya.
“Ngaco lo, nggak mungkin lah gue kan sama Naufal musuh banget mana mungkin bisa akur apalagi jodoh, ogah banget,” gumam Naya.
“Mungkin saat ini lo nggak mau, tapi nanti lo bakal mau sama dia entah itu kapan, tunggu aja,” ucap Airin penuh keyakinan.
**
Malam ini jalanan begitu terasa sepi, tidak ada pengendara yang berlalu lalang. Naya mempercepat langkahnya, dirinya merasa ada seseorang yang mengikuti dari belakang.
Sepulang bertemu dengan Airin tadi, Naya pulang dengan berjalan kaki karena saat turun hujan waktu menjelang magrib, taxi online dan ojol tidak mengcancel pesanan mereka, menyebabkan Naya susah mencari transportasi untuk pulang.
Tap!tap!
Suara langkah kaki yang Naya dengar itu semakin mendekat ke arahnya. Sesekali dirinya menengok ke belakang namun tidak ada siapa-siapa.
“Ayok, dari mana mana, Neng?” Kemunculan dua pria dari hadapan Naya.
Berbadan besar dan berpenampilan acak-acakan, Naya sudah menebak bahwa kini yang ada di hadapannya adalah preman.
“Ayok Abang antar pulang.” Preman itu mencengkram lengan tangan Naya.
“Nggak mau, lepasin!” Naya berusaha melepas cengkraman itu, namun preman itu semakin menguat cengkeramannya.
“Lepasin, tolong … tolong!” teriak Naya.
Preman itu tertawa kemenangan. Naya tak berhentinya menangis, berharap ada seseorang yang menolongnya.
“Ya Allah, tolong Hamba. Hamba, janji jika ada yang menolong Hamba, Hamba akan memberi satu permintaan kepada orang yang menolong Hamba itu,” monolog Naya dalam hatinya.
Tak berselang lama, terdengar suara motor KLX dari kejauhan. Pengendara itu memberhentikan motornya tepat di depan mereka. Naya bernafas lega, seseorang ingin menyelamatkannya.
Pengendara itu membuka helmnya menampakan wajah tampan blasteran dengan potongan rambut curtain hair menambah pesona ketampanannya meningkat.
“Naufal!”
Lelaki dengan motor KLX itu Naufal Putra Abikara, lelaki yang Naya benci.
Naufal mencengkram kerah baju preman itu.
Bugh
Bugh
Bugh
Tinjuan melayang pas mengenai rahang kedua preman itu, tanpa ampun Naufal menghajar mereka secara bersamaan hingga bibir mereka mengeluarkan banyak darah segar. Naufal meraih tangan kedua preman itu dan melintirnya, ia lumpuhkan dengan menendang persendian kedua preman itu.
Preman itu tergeletak lemah di tanah tak sadarkan diri. Naufal membersihkan tangannya yang berumuran dara segar itu dengan botol minumnya. Naya mendekati Naufal, menjulurkan sapu tangan miliknya. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulut lelaki itu, ia tengah fokus membersihkan darah itu, lalu mengelapnya dengan sapu tangan pemberian Naya.
Lagi-lagi dia tak mengeluarkan kata-kata. Naufal memakaikan helm itu di kepala Naya, ajaibnya Naya tidak memberikan penolakan, mungkin karena syok dan masih ketakutan.
Naufal menurunkan footstep motornya satu persatu, kemudian mempersilahkan Naya untuk menaiki motor.
—
“Ya Allah, tolong Hamba. Hamba, janji jika ada yang menolong Hamba, Hamba akan memberi satu permintaan kepada orang yang menolong Hamba itu,” monolog Naya dalam hatinya.
Kalimat itu masih saja teringat dalam pikiran Naya. Naya mondar-mandir di dalam kamarnya, ia tak menduga bahwa yang menolongnya adalah Naufal. Naya harus mengabulkan janjinya itu, tetapi di satu sisi dirinya benci dengan Naufal.
Tanpa pertimbangan, Naya membuka tombol panggilan mencari nama cowok yang tengah di carinya.
Naufal Musuh Gue
Naya memencet tombol panggilan, dan terdengar suara deringan pertanda dia sedang aktif.
Naufal Musuh Gue.
Hallo.
Naya Aja
Oh
Hallo, Naufal.
Naufal Musuh Gue
Kenapa, Nay.
Naya Aja
Gue besok kau ketemu saja lo, bisa?
Naufal Musuh Gue
Di kafe dekat SMA kita dulu.
Naya Aja
Okey, by.
Naya mematikan sambungan telepon itu sepihak, lalu melemparkan Handphonenya di kasur.
–
“Ada hal penting apa?” tanya Naufal.
Keduanya tengah berada di kafe tepat mereka bertemu, sembari ada secangkir teh yang menjadi penengah pembicaraan mereka.
Naya pun mulai menceritakan maksud ucapannya tadi malam.
“Jadi apa mau lo sekarang?” Naya langsung to the point.
Naufal menatap Naya dalam, bibirnya mengukir sebuah senyuman yang tak bisa diartikan.
“Nikah,” kata Naufal Putra Abikara.
“Hah!” Naya mengangkat satu alisnya.
Permintaan Naufal di luar dugaannya. Naya memijat pelipisnya, seketika wajahnya menjadi pucat menampilkan ekspresi cemasnya.
“Maksud lo apa sih?”
“Lo budeg atau gimana? Ya gue mau nikah sama lo,”terang Naufal lagi.
“Tapi kenapa harus nikah? Kan bisa barang kek atau makanan?”
“Kalau itu gue bisa beli sendiri, yang gue butuhkan saat ini ya nikah sama lo,” jawabnya.
“Alasannya?”
“Oma, oma gue selalu nyuruh gue buat cepet nikah makannya bokap gue jodohin gue sama lo. Oma gue punya penyakit , gue cuma mau liat oma gue sembuh dan bahagia dengan liat gue menikah, jadi lo harus menerima perjodohan itu,” terang Naufal.
Ada rasa kasihan, namun ada rasa tak rela di hati. Naya masih berharap jika Raka kembali dan menikahinya pasti sekarang dia sudah bahagia. Menikah dengan orang yang tidak dia cintai bukan hal yang Naya inginkan apalagi orang itu musuhnya waktu SMA.
“Tenang, ini nggak berlaku selamanya, ini berlaku pas oma gue benar-benar sembuh dari sakitnya, terus gue bakal cerein lo. Lagi pula gue nggak mau kali nikah seumur hidup sama lo.”
Lagi-lagi Naya berpikir keras, ini bukanlah hal yang mudah. Menikah adalah ibadah, namun apakah menikah dengan orang yang tidak saling mencintai itu termasuk ibadah?
“Oke gue mau, tapi lo juga harus bantu gue.” Naya mulai angkat bicara.
“Apa?”
“Lo harus bantuin gue cari Raka, pacar gue yang hilang akibat kecelakaan pesawat,” ungkap Naya.
“Gue yakin banget dia masih hidup, dia cuma hilang,” lanjutnya. Naufal mengangguk paham dan setuju akan kesepakatan mereka berdua.
***
Tap!tap!tap!
Suara langkah kaki seseorang membuat satu ruang kelas 12 Mipa 3 berubah menjadi hening. Guru mapel Biologi memasuki kelas dengan langkah seorang lelaki di belakangnya.
“Selamat pagi anak-anak!”
“Pagi Ibu!”
Mata para murid tertuju kepada seorang lelaki tampan bertubuh tinggi, dengan tas yang di gendong di bahu kanan nya. Lelaki itu berwajah blasteran inggris.
“Kita kedatangan murid baru, silahkan kamu memperkenalkan diri!”
“Nama gue Alvero Putra Abikara, panggil aja Vero.”
“Baik, kamu boleh duduk di barisan sana!” Bu Mia menunjukan tempat duduk Vero.
Vero beranjak ke tempat duduknya, ekor mata nya melirik ke arah tempat duduk seorang wanita yang tengah membaca buku.
“Baik kita mulai pembelajaran nya!”
**
Bel istirahat sudah berbunyi, para murid berhamburan keluar kelas mereka, mereka harus mendinginkan kepala mereka akibat perangnya mapel di jam pertama. Begitu juga dengan Kyara dan sahabatnya bernama Luna, dengan datang ke kantin untuk mengisi perut mereka.
“Kyara, katanya di kelas lo ada anak baru ya?” tanya Luna, tangannya memainkan sumpit mie ayam.
“Iya.”
“Katanya ganteng ya?” tanyanya lagi.
“Lumayan.”
“Tadi gue dengar dari Siska, dia ikut ekskul basket.”
Kayra tak mempedulikan cerita Luna tentang anak baru di kelasnya itu.
“Ih ganteng banget!”
“Siapa sih dia?”
“Dia anak baru ya, namanya Alvaro.”
Kayra mendengar obrolan para murid di kantin tentang anak baru. Baru sempat menjadi bahan perbincangan para murid, lelaki itu kini memasuki kantin.
Semua pandangan mata tertuju pada objek yang tengah dibicarakan. Mata Kayra dan Luna juga ikut melihat lelaki yang tengah mengantri di barisan para siswa.
“Tuh kan Kayra, ganteng banget.” Luna menunjuk ke arah Varo.
“B aja.”