Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Kabur
Akay terdiam. Tangannya secara refleks meremas kertas itu. Dia tidak pernah menyangka ada luka sedalam ini di balik sikap liar dan keras kepala Aylin. Jadi, alasan gadis itu begitu membenci pernikahan bukan hanya karena egonya, tetapi karena trauma masa lalunya.
Untuk pertama kalinya, Akay merasa sedikit kasihan pada istrinya.
Tapi bukan berarti dia akan membiarkan Aylin semena-mena. Jika gadis itu ingin bertingkah, maka dia juga akan membalasnya dengan caranya sendiri.
"Jadi ini alasanmu, huh?" Akay menatap surat itu dengan seringai samar. "Dasar bocah keras kepala. Kau pikir aku akan melembek setelah tahu ini? Salah besar, Ayang. Justru aku makin tertarik untuk menjinakkanmu."
Sambil mendengus kecil, Akay melipat surat itu dan menyimpannya di laci. Malam ini, dia akan membiarkan Aylin sendiri. Tapi besok, dia tidak akan membiarkan gadis itu terus-menerus keras kepala tanpa alasan.
"Siap-siap, Aylin. Aku tidak akan mundur semudah itu."
***
Pagi itu, Akay keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Setelan jasnya tampak sempurna, dasinya terpasang dengan presisi, dan wajahnya menunjukkan keseriusan. Hari ini ada pertemuan penting dengan pemilik lahan yang akan menjadi lokasi proyeknya. Dia tak boleh terlambat.
Namun, langkahnya terhenti ketika art mendiang Nenek Ros menghampirinya dengan wajah cemas.
"Tuan Akay, saya sudah mencari ke seluruh rumah, tapi Nona Aylin tidak ada di mana-mana," lapor art itu dengan nada gugup.
Akay memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang sebelum membuka matanya lagi. Seharusnya dia sudah menduga ini. Aylin mungkin masih marah, mungkin juga sengaja menghilang untuk menghindarinya. Tapi dia tidak punya waktu untuk bermain petak umpet pagi ini.
"Coba cari lagi," kata Akay, suaranya tetap tenang meskipun jelas ada nada kesal. "Periksa ke rumah tetangga atau tempat yang biasa dia datangi. Jika sudah menemukannya, segera beri tahu aku."
Art itu mengangguk cepat dan segera pergi untuk melaksanakan perintahnya. Sementara itu, Akay melirik jam tangannya. Dia tak bisa membiarkan masalah ini mengganggu pekerjaannya. Aylin memang keras kepala, tapi dia bukan anak kecil yang harus selalu diawasi.
Tanpa membuang waktu lagi, Akay melangkah keluar rumah, masuk ke dalam mobilnya, dan melaju menuju lokasi pertemuannya. Namun, di dalam kepalanya, ia bertanya-tanya—kemana gadis itu pergi pagi-pagi begini?
"Dia nggak bakal bunuh diri karena neneknya meninggal, ‘kan?" gumamnya pelan, lalu menggeleng. "Ah, nggak mungkin. Gadis keras kepala itu pasti kuat. Dia bukan tipe yang menyerah begitu saja."
Akay menghela napas, jari-jarinya mengetuk setir mobil dengan gelisah. "Tapi kenapa aku begitu peduli padanya? Aku bahkan baru mengenalnya sehari." Ia mendecak, merasa kesal sendiri. "Apa karena dia istriku? Atau karena janjiku pada nenek? Sial, aku bahkan tidak tahu jawabannya."
***
Senja telah jatuh saat Akay kembali ke rumah nenek Ros. Lampu-lampu rumah mulai menyala, menciptakan cahaya temaram di pekarangan. Mobilnya berhenti dengan mulus, dan ia keluar dengan ekspresi lelah setelah seharian bekerja.
Namun, alisnya berkerut saat melihat art nenek Ros berdiri di depan pintu, seakan telah menunggunya sejak tadi. Wajah wanita paruh baya itu tampak ragu, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
"Ada apa?" tanya Akay dengan nada rendah, langsung menebak ada sesuatu yang tidak beres.
Art itu menggigit bibirnya sebelum menjawab, "Tuan Akay… ada orang yang melihat Nona Aylin menaiki bus ke kota pagi tadi."
Sekilas, Akay terdiam. Matanya sedikit menyipit, mencerna informasi itu.
"Ke kota?" ulangnya pelan, nyaris tak percaya. Setelah semalam mengurung diri di kamar neneknya, pagi ini gadis itu malah pergi begitu saja tanpa kabar?
Art itu mengangguk hati-hati. "Saya sudah mencoba mencari tahu lebih lanjut, tapi tidak ada yang tahu dia pergi ke mana atau dengan siapa."
Rahang Akay mengeras. "Jadi dia pergi tanpa bilang apa-apa? Tanpa pamit?"
Art itu mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
Akay menarik napas dalam, menekan rasa frustrasi yang mulai merayap. Aylin benar-benar keras kepala.
Bukannya pulang dan menghadapi kenyataan, dia malah lari begitu saja. Ini tidak bisa dibiarkan.
Tanpa membuang waktu, Akay mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Aylin. Namun, seperti yang sudah ia duga, panggilan itu langsung dialihkan ke kotak suara. Gadis itu sengaja menghindarinya.
Akay mengepalkan tangannya. "Kalau dia mengira bisa lari seenaknya, dia salah besar," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Matanya menatap jauh ke jalanan depan rumah, seolah bisa menembus jarak dan menemukan di mana Aylin berada. Jika dia pikir pernikahan ini bisa diabaikan begitu saja, maka Akay akan memastikan dia kembali dan menghadapi kenyataan.
Bagaimanapun caranya.
Akay duduk di tepi ranjangnya, menekan pelipis dengan frustrasi. Ia baru menikah dua hari, tapi istrinya sudah menghilang, kabur entah ke mana. Dengan napas berat, ia menghubungi Pak Sastro.
"Pak Sastro, apa Bapak tahu ke mana Aylin pergi?" tanyanya langsung begitu panggilan tersambung.
Pak Sastro menghela napas di seberang sana. "Sebenarnya, Nenek Ros dan Aylin tinggal di kota. Saya akan mengirimkan alamatnya padamu."
Akay menggeram pelan. "Saya belum bisa ke sana. Saya harus menyelesaikan pembelian lahan untuk proyek saya dulu."
"Saya mengerti," kata Pak Sastro. "Mau saya cari Nona Aylin dulu?"
"Iya. Tolong, Pak," Akay mengangguk meski tahu Pak Sastro tak bisa melihatnya. "Kabari Saya kalau ada perkembangan."
Ia mengakhiri panggilan dan melempar ponselnya ke kasur. Istrinya yang badung itu benar-benar membuatnya pusing!
Akay menghela napas panjang, kepalanya terasa berdenyut. “Sialan! Ini pernikahan atau permainan petak umpet?” gerutunya, berjalan mondar-mandir di kamar.
Ia meremas rambutnya sendiri. “Baru juga dua hari, dua hari! Istri macam apa yang kabur bahkan sebelum suaminya hafal makanan favoritnya?”
Akay menendang kakinya ke udara, frustrasi. “Dan sekarang aku harus mencari bocah keras kepala itu sambil tetap mengurus proyek! Hebat! Sungguh hebat!”
Ia meraih ponselnya lagi, menatap layar seakan bisa menemukan jawaban di sana. “Kalau bukan karena perjanjian gila itu, bocah badung itu pasti sudah ku talak tiga sejak kemarin!”
Tapi kemudian ia mendengus, sinis. “Tapi kalau dia yang minta cerai? Warisannya jatuh ke tanganku? Hah! Sepertinya aku bisa bersabar sedikit lebih lama.”
Di Sisi Lain
Aylin melangkah cepat di trotoar kota yang ramai, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya. Angin sore yang sejuk berembus, membawa serta rasa lega yang begitu besar dalam dadanya. Setelah sempat merasa terkekang, akhirnya ia bebas.
Senyumnya melebar saat duduk di bangku taman, menyilangkan kaki dengan angkuh. "Rasain, pusing tinggal pusing nyariin aku," gumamnya penuh kepuasan. "Akhirnya aku bisa bebas!"
Matanya menatap langit yang mulai gelap, semburat jingga senja sudah menghilang sepenuhnya. Ia menghela napas, membayangkan masa depan yang kini ada di tangannya. "Aku harap dia tidak bisa menemukanku. Aku akan memulai hidup baru, dan anggap aja aku nggak pernah punya suami yang menyebalkan macam dia."
Aylin tertawa kecil, lalu menyandarkan tubuhnya. "Selama aku tidak menceraikannya, aku masih bisa menikmati harta keluargaku. Paling kalau dia bosan dan kesal, dia yang akan menceraikan aku." Ia menatap ujung sepatunya, senyum licik tersungging di bibirnya. "Dan kalau itu terjadi... aku akan jadi janda kembang kaya raya."
Angin kembali bertiup, membuat anak rambutnya berkibar. Aylin mengangkat dagu, merasa seolah seluruh dunia kini ada di genggamannya. Tanpa Akay yang mengganggu, tanpa aturan-aturan yang mengikatnya.
...🌟🌟🌟...
..."Lari dari masalah bukanlah solusi, tapi menunda waktu untuk mendapatkan solusi, menyiksa diri dalam bayang-bayang tak pasti."...
..."Lari dari masalah bukanlah keberanian, apalagi kebijaksanaan, tapi kelemahan dan kebodohan yang tidak akan pernah menciptakan kedamaian."...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍