Buku kedua dari Moonlight After Sunset, bercerita tentang Senja, seorang gadis yang terlilit takdir membingungkan. Untuk mengetahui rahasia takdir yang mengikatnya, Senja harus membuang identitas lamanya sebagai Bulan dan mulai menjalani petualangan baru di hidupnya sebagai putri utama Duke Ari. Dalam series ini, Senja aka Bulan akan berpetualang melawan sihir hitam sembari mencari tahu identitas aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riana Syarif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelatih Baru
"Menemukan yang terbaik itu sulit, namun bukan mustahil untuk mendapatkannya."
****
Setelah kegilaan yang mereka lakukan di hutan tersebut, Senja dengan malas harus kembali ke kamarnya untuk segera teleportasi menuju Hutan Kegelapan.
Ini merupakan waktu yang sudah dijanjikan untuk pelatihan barunya. Ia juga harus segera menyesuaikan mana miliknya yang sebelumnya hancur berantakan.
"Manusia, semua persiapan sudah selesai."
Kun terlihat santai sama seperti biasanya. Ia bahkan tidak melihat Senja sampai akhirnya sinar teleportasi menghilang dengan cepat. Namun siapa sangka matanya yang tenang ternyata selalu tertuju pada nona nya itu.
Ia masih kesal dengan sikap acuh tak acuh Senja. Ia merasa jika nona nya sangat tidak kompeten dan lemah. Manusia yang bahkan tidak sekuat ujung kukunya, malah ingin bersikap hebat dengan menanggung semua beban sendirian.
"Aku membencinya," lirih Kun sambil memejamkan matanya kembali.
****
"Apa yang terjadi disini?"
Lily dan Dian terlihat begitu tegang, wajah mereka pucat dengan sedikit keringat dingin yang menetes dari keningnya.
"Aku tanya sekali lagi. Ada apa dengan kalian?"
Senja murka dengan apa yang terjadi dengan tempat ini dan bawahannya. Terakhir kali ia meninggalkan tempat ini, semuanya terlihat rapi dan bersih. Namun sekarang semuanya tampak kacau, tidak ada sedikit pun seni di dalamnya.
Ia berencana untuk berlatih di tempat ini beberapa jam kemudian, namun apa yang telah terjadi disini membuatnya marah. Terlebih lagi kedua bawahannya yang terlihat acak-acakan dengan luka sobek yang menghiasi baju serta kulit mereka.
"... Kami hanya bermain."
Hening beberapa saat sampai sebuah suara kasar yang pelan terdengar. Suara itu terdengar begitu dingin dan dipenuhi oleh emosi yang kental. Siapa pun yang mendengarnya pasti merasakan kedinginan di pundak mereka.
Jelas Senja tahu jika yang di katakan Lily adalah kebohongan dan itu jelas terlihat dari matanya yang menatap tajam ke arah Dian seolah-olah tatapan itu bisa menembus kulit Dian dengan meninggalkan bekas luka yang dalam.
"Hah," desah Senja dengan napas beratnya. Ia tidak habis pikir dengan apa yang terjadi disini. Ia kesal tapi ia tidak bisa memaksakan kekesalannya kepada mereka.
Keduanya sangat keras kepala, bahkan pukulan keras pun tidak akan membuat mereka mengakui fakta di balik ini semua.
"Baiklah, aku akan mengambil tindakan tegas untuk ini kalian."
Senja mengeluarkan mana hijau dari telapak tangannya. Mana itu berfluktuasi dengan udara di sekitarnya sehingga membuat beberapa benda berterbangan kesana-kemari.
"Sampai kalian buka mulut, maka tetaplah disana."
Senja mendorong Dian dan Lily ke dalam danau kematian. Ia membalut keduanya dengan bola mana hijau dan menenggelamkan mereka segera setelahnya.
Keduanya tampak panik dengan memukul-mukul tembok mana tersebut, namun usaha mereka gagal setelah bola mana tersebut masuk ke dalam air.
"Sialan, ini semua karena mu!" teriak Lily yang hendak menyerang Dian namun terhalang oleh tembok mana yang memisahkan keduanya.
Posisi mereka sangat dekat satu sama lain karena berada di dalam bola mana yang sama, namun keduanya tetap terpisah oleh tembok pembatas yang transparan. Sehingga mereka masih bisa saling tatap-tatapan satu sama lain.
"Semua ini karena ulah mu yang menyerang aku terlebih dahulu," balas Dian sambil bergerak ke sudut bola untuk duduk.
"Kau tanpa bisa mengendalikan emosi mu, selalu saja bersikap seenaknya sehingga membuat Nona sering kesusahan."
Mendengar hal itu membuat emosi Lily terpancing. Ia kesal karena Dian selalu berhasil memprovokasinya dan membuatnya terlihat kacau sama seperti sekarang.
"Cih," maki Lily yang masih tetap setia memelototi Dian yang saat ini sedang duduk bersila di tempatnya.
"Semua ini juga karena mu yang selalu bersikap sok hebat dihadapannya. Ia itu hanya manusia lemah yang bahkan tidak bisa sebanding dengan kaum seperti kami, namun kau selalu saja membuatnya kesusahan."
"..."
"Bukannya menghubungi kami segera, kau malah membuatnya dalam bahaya karena keegoisan mu semata," lanjut Lily kesal.
"Sudah berapa kali aku katakan pada mu, dasar bodoh. Aku bahkan tidak tahu jika hal itu bisa terjadi, semua itu terjadi begitu saja."
"Aku... Aku bahkan tidak tahu jika keselamatan Nona terancam saat itu. Andaikan..., andai..."
"Itu karena kau lemah, jadi lihatlah dirimu sendiri. Kau bahkan tidak mampu melawan ksatria tingkat 5 dan masih bisa sombong."
Lily memotong perkataan Dian dengan emosi yang meluap. Ia tahu jika Dian adalah rakyat biasa dan kemampuannya cukup baik, namun itu tidak sebaik untuk bisa melindungi Nona mereka dalam bahaya.
"Berlatihlah dengan keras agar kau bisa melindungi Nona, tapi tetap saja jika kau terus bersikap gampangan seperti itu maka ini semua yang akan terjadi," lanjut Lily.
Dian diam seribu bahasa, ia bingung harus menjawab seperti apa. Jujur saja ia tidak ingin meladeni Lily dengan semua omong kosongnya, namun apa yang terus ia dengar membuatnya frustasi dan kosong.
Ia hancur saat melihat nona nya terluka, ia bahkan sempat berpikir itu semua terjadi karena ia lemah. Ia merasa jika saja dirinya kuat, mungkin nona nya tidak harus merasakan rasa sakit yang begitu hebat seperti sebelumnya.
"... Maka ajarilah aku untuk bisa menjadi hebat, tidak ajarkan aku untuk bisa menjadi lebih hebat dari sebelumnya. Sehingga aku bisa melindungi Nona dengan kedua tangan ku sendiri."
Lily sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar dari Dian. Ia tidak pernah membenci Dian, hanya saja kejadian beberapa hari yang lalu membuatnya begitu kesal dan murka.
Ia dan Kun marah saat mendengar berita mengenai manusia mereka yang terluka. Hal ini juga akan berdampak buruk bagi mereka berdua karena bisa saja mereka ikut mengalami kegilaan yang sakit karena kehilangan majikan.
Mereka bahkan bisa menjadi monster jika majikan mereka hilang begitu saja. Dan faktanya bukan hanya itu saja yang membuat mereka merasa khawatir.
Mereka juga takut untuk kehilangan Senja, mereka juga sudah bersumpah untuk terus melindunginya. Maka jika suatu hal buruk terjadi padanya, mereka akan benar-benar terluka.
"Aku tidak bisa," jawab Lily tegas.
"Aku akan terus bersamanya dan tidak akan memiliki waktu untuk mengajari mu," lanjutnya sambil membuang muka.
"Tapi mungkin saja dia bisa, dan mungkin kau lebih cocok berlatih dengannya dibandingkan dengan ku."
Batin Lily yang sama sekali tidak ia sampaikan pada Dian. Ia melihat wajah frustasi Dian yang kecewa karena penolakan darinya.
"Aku tidak berniat untuk mengatakan ini, biar kau saja yang mencarinya sendiri," gumam Lily sambil menenangkan pikirannya yang kacau.
****
HUFT
Angin berterbangan kesana-kemari dengan bebas. Ia menerbangkan segala yang ada disana tanpa terkendali.
"Sial, aku gagal lagi."
Senja memaki dirinya untuk kesekian kalinya. Ia merasa aneh setelah berhasil menenggelamkan Lily dan Dian ke dalam danau, entah mengapa energi sihirnya menjadi kacau.
Lebih tepatnya energi angin yang sebelumnya bisa ia gunakan untuk membentuk bola mana, kini menjadi sangat liar hanya untuk memindahkan beberapa batang pohon yang berceceran akibat ulah bawahannya itu.
"Aku bertanya-tanya berapa banyak tenaga yang mereka keluarkan sampai bisa begini," seru Senja saat melihat sekeliling area pelatihan yang kini sudah tidak terlihat lagi.
"Menyusahkan saja," lanjutnya masih dengan mana angin yang berterbangan memindahkan dahan pohon tersebut.
Yah bisa dikatakan jika Senja tidak gagal sepenuhnya, toh beberapa tempat yang berantakan sudah ia bersihkan dengan sihir anginnya. Meskipun kini hanya tinggal beberapa batang pohon yang masih berserakan saja.
"Huh, Sky Wind!" teriak Senja sambil merapalkan mantra sihir angin untuk menerbangkan batang pohon tersebut.
Ia sengaja memperkuat sihirnya dengan mana yang terkandung dalam angin tersebut, namun tetap saja batang pohon itu masih tidak bergerak dari tempatnya. Tidak, lebih tepatnya batang pohon itu hanya bergeser ke samping saat Senja meluncurkan sihirnya tersebut.
"Mantra yang bagus, tapi teknik penggunaannya salah."
Senja terkejut seketika saat mendengar sebuah suara bariton yang berada di belakang punggungnya. Ia kaget bukan main karena sama sekali tidak bisa merasakan aura dari orang tersebut.
"Siapa?" batin Senja sambil memutar tubuhnya dengan cepat.
"Fire Glide!" teriak Senja segera setelah tubuhnya menghadap ke arah pria tersebut.
Api itu menyerang sebelum Senja dapat melihat siapa sebenarnya pria tersebut. Jujur saja tempat ini adalah area tersembunyi yang bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya. Jadi bagaimana bisa pria itu datang ke tempat ini tanpa ketahuan sedikit pun.
"Aku sudah menyuruh Kun dan Ristia untuk memasang pelindung di tempat ini, bahkan aku tidak merasa jika dia menghilangkan pelindung tersebut," batin Senja sambil melihat ke arah langit dimana pelindung transparan masih tetap berada disana.
"Lantas..., siapa dia?" lanjut Senja masih melihat ke arah api yang sedang melahap pria tersebut.
Api itu terus menyerang masuk ke dalam perbatasan pria itu, namun dengan mudahnya pria itu memadamkan api Senja.
"Apa-apaan itu?" teriak Senja kaget saat apinya mulai hilang dan hanya menyisakan setumpuk asap hitam.
Ia kaget bukan main saat apinya hilang, tidak lebih tepatnya diserap oleh gumpalan asap hitam yang kini mulai mereda dan hendak menghilang.
"Sambutan yang sungguh luar biasa dari Nona Muda keluarga Ari."
Mata Senja membelalak kaget saat ia melihat pria yang dengan santainya mengibaskan tangannya untuk menghilangkan asap hitam yang mengepul disekitarnya.
Pria itu kemudian berjalan mendekati Senja dengan menyunggingkan senyum pepsodent nya yang terlihat begitu berkharisma.
"Kau terlihat begitu berantakan," lanjut pria itu yang kini jarak diantara keduanya hanya menyisakan satu jengkal saja dari wajah Senja.
Senja hanya berdiri di tempatnya dengan gugup dan wajah pucat. Ia bahkan tidak tahu jika pria yang paling ingin ia hindari sekarang malah berada di hadapannya, sungguh takdir yang tidak bisa ditebak.
Pria itu kemudian mendekatkan wajahnya pada Senja sambil berbisik pelan di telinganya, "biarpun begitu, aku tetap mencintaimu."