Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2 (Rumah Pohon di Tepi Kota)
Setelah beberapa menit ruang itu hanya mereka yang tersisa: Algar, Radit, Aldrin, Awan, Sandi, Gilang, Bay, dan Sasa bersama dua temannya, Clara dan Andin. Masing-masing tenggelam dalam kesibukan. Sandi dan Bay sibuk membayar tagihan sementara yang lain bercanda, melempar tawa yang menggema. Namun, kehangatan suasana itu perlahan menghilang, seiring waktu yang terus bergerak tanpa jeda.
Tiba-tiba, Awan yang duduk sambil menatap layar ponselnya, memecah kesunyian yang menggantung. "Woi, ke rumah pohon yok! Rumah pohon punya mereka," serunya sambil melirik ke arah Algar dan Sasa, seolah menggugah kenangan lama yang hampir terlupakan.
"Waa, boleh tuh! Boleh nggak, Sa? Lagi pula, udah lama banget kita nggak ke sana,” ujar Clara dengan mata berbinar penuh harapan senyuman manis tersinggung di wajahnya seakan memohon persetujuan sasasa
Rumah pohon yang maksudnya itu dulunya adalah tempat yang akrab bagi mereka semua. Sudah hampir dua bulan sejak mereka terakhir kali menginjakkan kaki di sana. Bagi Sasa dan Algar, rumah pohon itu bukan hanya tempat singgah. Tapi adalah saksi bisu dari banyak cerita yang terjalin di kedua sahabat itu (Sasa and algar) tapi sejak SMA mereka pun sering mengajak mereka ketempat tersebut.
Sasa tersenyum kecil, mengangguk tanpa banyak bicara, memberikan lampu hijau yang mereka harapkan. Wajahnya memancarkan kehangatan yang tenang, seperti tempat itu sendiri tempat yang dulu sering mereka sebut rumah.
Selain rumah pohon itu tempat ternyaman dan saksi bisu persahabatan Sasa dan algar tempat tersebut juga menjadi tempat ternyaman untuk kedelapan orang itu juga mereka sering menyebut nya sebagai rumah ternyaman kedua selain sekolah. Ya hampir 89% dari sepuluh orang tersebut rumah yang semestinya jadi tempat ternyaman tapi Mala jadi sebaliknya makanya mereka memberikan julukan rumah pohon tersebut sebagai rumah ternyaman kedua setelah sekolah karena sekolah adalah tempat ternyaman menurut mereka tapi ini bukan dari segi akademik ya tapi dari segi pertemanan didalam kelas mereka.
Setelah Mendapat izin dari Sasa, mereka segera bersiap. Selama perjalanan menuju rumah pohon, tawa dan canda bertebaran, menghidupkan suasana. Jalanan terasa begitu singkat, seakan sepuluh sahabat itu tengah ditarik oleh gravitasi kenangan menuju tempat yang begitu mereka rindukan.
Hanya lima belas menit, dan mereka sudah tiba di hutan kecil di tepi kota, tempat rumah pohon itu berada tersembunyi di antara pepohonan tinggi dan danau kecil dengan air jernih, dihiasi suara burung yang berkicau. Surga tersembunyi di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus berputar.
Mereka memarkir kendaraan di dekat pohon besar yang menyangga rumah pohon itu. Meski pohonnya tak terlalu besar, namun cukup kokoh untuk menahan pondok kecil di atasnya, dengan tangga kayu yang menghubungkan ke pintu masuk. Warna coklat tua rumah pohon itu tampak menyatu dengan alam, seolah menjadi bagian dari hutan yang mendekapnya.
Setelah meletakkan barang-barang di dalam rumah pohon, mereka larut dalam kesenangan. Clara, Sasa,Andin, Awan, Bay, dan Radit asyik dengan mainan gelembung yang baru mereka beli di perjalanan. Mereka tertawa lepas, mengejar gelembung-gelembung yang melayang ditiup angin. Sementara itu, Algar, Aldrin, Gilang, dan Sandi memilih duduk santai di dekat rumah pohon, menikmati ketenangan yang jarang mereka temui di keseharian.
"Al, lo sering banget ya ke sini berdua?" tanya Aldrin tiba-tiba, matanya menatap Algar yang sibuk merapikan rambutnya.
Algar tersenyum tipis, lalu menjawab singkat, "Ya, lumayan sering." Pandangannya kembali mengarah ke pepohonan yang bergerak pelan tertiup angin.
Gilang menyela dengan nada menggoda. "Oh, tapi Al, kalau kalian berdua ke sini, biasanya ngapain aja sih?" timbal Gilang, tersenyum seolah menyimpan rahasia di balik pertanyaan itu.
Algar menatap Gilang dengan mata yang berusaha membaca maksud tersembunyi. "Maksud lo?" balasnya, nada ketus tak bisa ia sembunyikan.
"Becanda, bro. Gitu aja baper," balas Gilang lagi. Aldrin tertawa, berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.
Percakapan itu pun berlalu, meninggalkan mereka dalam keheningan yang nyaman. Suara tawa teman-teman yang bermain gelembung, disertai hembusan angin dan kicauan burung, kembali mengisi udara di sekitar mereka.
Radit yang memperhatikan teman-temannya duduk diam, tiba-tiba berteriak, "woy, ayo main bareng! Jangan diam aja disitu !" serunya, melambaikan tangan untuk mengajak mereka bergabung. Energi persahabatan kembali menyala, dan mereka semua pun bermain dengan gembira.
Setelah puas bermain, mereka kembali duduk di dekat rumah pohon, menikmati keindahan alam di sekitarnya. "Cantik banget yaa tempat ini. Sebenarnya, rumah pohon ini udah ada sejak kapan sih?" tanya Andin penasaran, menatap rumah pohon dengan mata berbinar.
Sasa tersenyum, mengingat cerita yang sudah lama tak ia ceritakan. "Sebenarnya, rumah pohon ini bukan kami yang buat. Dulu, waktu kelas enam SD, gue sama Algar sering main di danau ini. Dulu hutan ini masih cantik, belum banyak pohon-pohon besar. Suatu hari, kami jalan mengelilingi danau dan menemukan rumah pohon ini, sudah ada seperti sekarang, tapi ya cuma sedikit diubah aja," cerita Sasa, suaranya lembut tapi jelas, seolah berbicara dengan kenangan yang masih lekat.
"terus jadilah tempat ini. Sejak saat itu, tempat ini jadi kayak rumah kedua buat kita,” lanjutnya, mengakhiri cerita dengan senyum hangat. Teman-temannya mendengarkan dengan seksama, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Sasa.
Di bawah langit malam yang mulai merangkak gelap, dengan suara daun yang berbisik dan cahaya bintang yang redup, mereka menikmati waktu yang terasa melambat, seolah dunia milik mereka. Sepuluh sahabat ini kembali bersenang-senang, seolah waktu tak pernah bergerak.
Saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, mereka pun akhirnya bersiap untuk pulang. Satu per satu berpisah meninggalkan rumah pohon itu dengan hati yang hangat.
"Din, mobil gue Lo bawa aja ya dulu. Nanti gue yang ambil ke rumah Lo, gue pulangnya bareng Al," ucap Sasa sambil mengenakan helm, memutuskan untuk pulang bersama Algar.
Andin hanya mengangguk, mengerti tanpa perlu banyak bicara. Ia masuk ke dalam mobil milik Sasa, diikuti Clara yang duduk di sampingnya.
Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang hangat. Kenangan rumah pohon dan tawa sahabat akan selalu ada, diingat dalam setiap langkah, seakan waktu telah berhenti hanya untuk mereka.
Sasa dan Algar menaiki motor mereka. Di sepanjang perjalanan pulang, angin malam yang berhembus pelan membelai wajah mereka, membawa perasaan tenang yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di balik helmnya, Sasa melirik ke arah Algar yang mengemudi dengan tenang, matanya tertuju ke depan, fokus pada jalan.
“Gue seneng hari ini,” ujar sasa lirih, nyaris tenggelam dalam suara deru mesin. Algar hanya tersenyum, tak perlu banyak kata untuk menjawab. Hari itu, di rumah pohon yang menjadi saksi banyak cerita, mereka kembali merasa lengkap.
Dan malam itu, dengan langit yang dihiasi bintang dan rembulan, sepuluh sahabat ini pulang membawa kenangan baru, seolah rumah pohon itu telah merangkul mereka semua, menjadikan setiap momen bersama tak terlupakan.
Tq All, jangan lupa dukung.
LIKE
KOMENT
VOTE
HADIAH
FAVORIT
#Typo bertebaran
...
..
.
.
.