Guru Tak Kompeten, Murid Tak Berguna
“BOCAH TENGIIIIK!”
Teriakan nyaring wanita itu melengking dari puncak bukit, menyentakkan sejumlah besar burung-burung yang sedang bertengger di ranting-ranting pohon.
Para penghuni perguruan di kaki bukit itu sudah tak asing dengan situasinya. Sudah menjadi… semacam makanan sehari-hari.
“Bukit Mingyue menjadi ramai sejak kedatangan si bocah tengik,” gumam Penatua Agung sambil memandang ke arah bukit di mana wanita yang berteriak itu tinggal.
Wanita yang tinggal di Bukit Mingyue itu adalah Penatua Kelima, Wang Wu, dan si bocah tengik adalah muridnya.
“Tunggu sampai aku mematahkan kakimu!” teriak Wang Wu dengan marah.
Orangnya masih belum kelihatan.
Dari Serambi Ketua di mana tiga penatua berdiri, semak-semak tampak bergetar ketika sepasang kaki berdebam di jalan setapak menuju lapangan di kaki bukit, ranting-ranting kering berkeretak terinjak sepasang kaki itu.
Yang disebut Serambi Ketua itu adalah aula utama di mana seluruh aspek berpusat. Sama fungsinya dengan aula singgasana di sebuah kerajaan.
“Nama sama, sifatnya juga mirip,” komentar Penatua Ketiga.
“Mirip apanya?” sembur Penatua Kedua yang memang terkenal dengan mulut pedasnya. “Apakah masih belum cukup di Longtian ada dia?” dengusnya sambil menunjuk ke arah bukit itu dengan ekor matanya.
“Bocah Tengik! Kembali!” Suara Wang Wu sekarang terdengar semakin dekat.
Dan ketiga penatua di Serambi Ketua itu merasa seperti mendapat firasat buruk.
Orangnya belum kelihatan, tapi suaranya sudah membuat sakit kepala!
Tak lama kemudian, seorang pemuda berparas imut melompat keluar dari semak-semak di lereng bukit dan mendarat di pekarangan di mana sejumlah murid sedang berlatih di bawah Serambi Ketua. Pemuda itu menghambur ke arah Penatua Agung. “Pak Tua, tolonglah!” katanya terengah-engah. “Aku tak mau jadi muridnya lagi!”
“Tak mau jadi muridnya, lalu siapa yang mau jadi gurumu?” seloroh Penatua Agung tanpa beban sedikit pun.
“Aiya!” Pemuda itu menggamit lengan Penatua Agung dan menggoyang-goyangkannya dengan gaya merajuk. “Pak Tua… rubah betina itu tak bisa diandalkan. Dia tak pernah mengajariku apa-apa. Yang dilakukannya setiap hari hanya merendamku di bak mandi, menyuruhku menipu dan mencuri…”
Para murid yang sedang berlatih serentak mengerling ke arah pemuda itu.
Itu dia—si bocah tengik!
Bocah tengik itu bernama Wang Lu, sebenarnya adalah juara pertama dalam perekrutan murid baru Paviliun Pedang Dewa Longtian.
Bisa dikatakan bahwa jika semuanya berjalan baik, Wang Lu sebenarnya sudah memiliki modal wibawa yang cukup di awal karirnya.
Tapi nasib mempermainkan orang.
Wang Lu yang diberkahi segudang bakat dan ketampanan, tampaknya membuat para dewa bahkan cemburu, sehingga mereka memberinya lelucon besar. Perolehan juara pertamanya harus ditukar dengan sebagian besar daya hidupnya.
Demi meraih juara pertama itu, Wang Lu mengerahkan hampir seluruh esensinya hingga menyebabkan kerusakan fatal pada pondasi internalnya.
Sekarang, selain paras tampannya, tak ada lagi yang bisa dibanggakan.
Meraih juara pertama, tapi berakhir sebagai murid tak berguna. Lalu dengan terpaksa diangkat menjadi Murid Pewaris salah satu penatua yang katanya sudah menjadi dewa namun tak bisa diandalkan.
Seorang wanita cantik dengan aura sempurna seorang dewi.
Hanya saja…
Tuhan tampaknya membuat kesalahan ketika Dia membuatnya, menaruh naga dan rubah sekaligus padanya, dan itu malah menjadikannya lebih mirip gagak pemakan bangkai daripada keduanya.
Setelah selesai hari itu, Tuhan merasa ada sesuatu yang salah, jadi Dia membuat kompensasi dan meminjam setengah kecantikan dari keponakan phoenix untuk menutupi kekurangannya.
Sekarang monster cantik itu turun gunung dan menyeruak ke arah Serambi Ketua dengan membabi-buta.
“Junior Kelima, tenanglah!” Penatua Ketiga mencoba menghalanginya.
“Siapa?” hardik Wang Wu. “Siapa berani menghalangiku?!”
Penatua Ketiga langsung beringsut.
Wang Lu berlindung di balik punggung Penatua Agung. Kedua tangannya mencengkeram bahu lelaki tua itu dan memutarnya ke sana-kemari sebagai tameng.
“Aiya!” Penatua Agung mengerang tak sabar. “Junior Kelima… sebenarnya apa saja yang sudah kauajarkan padanya selama ini? Kenapa setiap harinya hanya membuat keributan?”
“Mengajarinya?” Wang Wu membelalakkan matanya. “Siapa yang sanggup mengajarinya?” Ia berkilah.
“Tak mau mengajarinya, lalu untuk apa kau mengekangnya?” tanya Penatua Agung setengah menggerutu.
“Bukankah dia lumayan tampan?” sergah Wang Wu.
“Tidak masuk akal,” gerutu Penatua Agung. “Memangnya tampan bisa dimakan?”
“Ai yo! Kakak Senior…” Wang Wu mengentakkan sebelah kakinya dengan gaya merajuk kekanak-kanakan. Raut wajahnya berubah dengan cepat. Tiba-tiba memperperlembut suaranya. “Bagaimanapun aku sudah memasuki usia menikah,” katanya dengan gaya kemayu yang jelas dibuat-buat. “Tentu saja aku membutuhkan seorang pemuda tampan untuk menghangatkan tempat tidurku.”
Para murid berdesis menahan tawa.
“Ni—” Penatua Agung tak bisa berkata-kata.
Tidak seorang pun berdaya mendebat Wang Wu. Selain tak tahu malu, wanita itu juga tak bisa diajak bicara serius di dalam segala hal.
“Tampanku…” Wang Wu menelengkan kepalanya melewati bahu Penatua Agung, melongok ke arah Wang Lu sambil mengulum senyuman nakal. “Ayo pulang!” ajaknya dengan gaya merayu.
Wang Lu spontan mengernyit dan bergidik. “Pak Tua!” bisiknya di dekat telinga Penatua Agung. “Percaya atau tidak, dia yang seperti ini jauh lebih mengerikan daripada dia yang sedang marah?”
“Memang mengerikan,” timpal Penatua Agung balas berbisik.
“WANG LU!” hardik Wang Wu menyentakkan semua orang. Wajahnya berubah lagi.
Wang Lu serentak melejit dan menghambur menjauhi serambi, melarikan dirinya lagi.
Wang Wu kembali memburunya, dan ketiga penatua di Serambi Ketua itu serentak menarik napas lega.
Tak hanya merasa lega karena terbebas dari Wang Wu, tapi juga merasa lega karena terbebas dari tanggung jawab mendidik muridnya yang tidak berguna.
Wang Lu mungkin terlahir dengan segudang bakat. Tapi bakat hanyalah kecepatan di mana esensi internal menyerap pertumbuhan jiwa. Tanpa esensi internal, bakat tidak lagi berguna.
Siapa yang sudi menjadi gurunya?
Para penatua yang terhormat itu sempat berdebat sebelum memutuskan siapa yang pantas menjadi gurunya.
Bagaimanapun Wang Lu adalah juara pertama. Menurut peraturan, juara pertama berhak menjadi Murid Pewaris.
Kalau mereka mengingkarinya, orang luar akan mengira mereka tak punya kredibilitas. Tidak memegang janji.
Bukankah itu sangat memalukan?
Hanya saja, posisi Murid Pewaris ini berada di atas posisi Murid Internal di mana orang yang dianggap sebagai penatua dapat mewariskan langsung kemampuannya.
Jadi kuotanya sangat terbatas.
Paling tidak, hasilnya, murid pewaris harus lebih unggul dari murid internal.
Tapi kondisi Wang Lu saat ini sudah tak memungkinkan untuk berkembang. Setidaknya itulah yang diyakini para penatua. Jadi, masing-masing mereka mencari alasan.
“Aku setiap hari sibuk mendidik murid internal,” alasan Penatua Ketiga. “Mana ada waktu untuk menerima murid pewaris?”
“Kalian semua tahu, aku tak pandai mendidik murid,” alasan Penatua Ketujuh. “Kalau tidak, mana mungkin muridku sampai…” katanya dengan gaya dramatis, mencoba mengungkit muridnya yang sudah tewas.
“Aku setiap hari sibuk mengurus misi dan kegiatan di Balai Umum,” alasan Penatua Keempat.
“Aku bertanggung jawab atas murid eksternal!” alasan Penatua Keenam.
“Aku bertanggung jawab atas keuangan,” alasan Penatua Kedua.
“Murid pewarisku sudah paling banyak,” alasan Penatua Kedelapan.
Begitu seterusnya semua orang beralasan, hingga tiba giliran Penatua Kelima, wanita itu tak bisa beralasan.
Dia tak pernah mengangkat murid seumur hidupnya. Tak pernah berkontribusi. Juga tak pernah melibatkan dirinya dalam urusan pengelolaan.
Wang Wu mencoba memasang wajah manja seorang gadis kecil yang tak berdaya. “Kakak Senior…”
“Kau yang paling senggang!” sergah semua orang menghardik kompak.
Wang Wu langsung terdiam dengan wajah mencebik, seperti anak kecil ingin menangis.
Itu adalah jurus andalannya!
Tapi tidak berguna.
Lalu dengan terpaksa Wang Wu menjemput Wang Lu yang baru sadarkan diri setelah terbaring koma selama berhari-hari di pondok pengobatan.
“Mulai sekarang aku adalah gurumu,” katanya sambil memasang wajah cemberut seorang anak kecil. “Soal menerima murid, sebenarnya…” ia menggantung kalimatnya sembari mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya ke ujung telunjuk satunya. “Aku juga tidak berpengalaman, jadi… jangan terlalu nakal, ya…?” katanya sambil tersenyum tersipu-sipu, sama persis seperti anak kecil yang sedang gembira namun malu-malu.
Wang Lu spontan mengernyih melihat tingkah lakunya.
Yang benar saja? pikirnya. Kelompok pak tua itu tak mungkin sengaja mencari orang untuk mempermainkanku, kan?
“Bagaimana?” tanya Wang Wu dengan tampang memelas kekanak-kanakan.
Wang Lu hanya mengerjap dan tergagap-gagap.
“Ah, sudahlah!” timpal Wang Wu cepat-cepat. Raut wajahnya berubah lagi. Kali ini memasang wajah tak sabar seorang wanita penggoda. “Terima saja!” desaknya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Wang Lu menjadi semakin ragu.
“Sangat jarang melihat muka sombongku ini memelas!” Wang Wu menambahkan, kali ini dengan tampang memelas seorang ibu.
“Tapi…”
“Aiya!” sergah Wang Wu memotong perkataan Wang Lu. “Tak ada yang mau jadi gurumu,” katanya berterus terang. Kali ini memasang wajah seorang kawan. “Patuhlah!” tandasnya dalam bujukan tegas yang disertai senyum simpatik.
“Aku sudah mendengarnya dengan jelas,” gumam Wang Lu sembari tertunduk muram. “Mengenai kondisiku…”
“Kau tenang saja!” Wang Wu meyakinkannya. “Karena kelompok pak tua itu sudah mempercayakanmu padaku, aku pasti akan membalikkan keadaanmu.” Ia berjanji. “Kerusakan pondasi internal, tak akan mengalahkanku!”
Semangat Wang Lu pun bangkit.
Dan…
Di sinilah ia sekarang.
“KENA KAU!” teriak Wang Wu dari sudut pekarangan.
Semua mata serentak mengerling ke arahnya.
WUUUSSSSHHH!
“WOAAAAAAAAAAAAAAAA….”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Bayu Arnanto
ok
2024-10-18
1
Machan
anjay🤣🤣
2024-10-05
0
Machan
ni guru imut dan lucu keknya🤣
2024-10-05
0