Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
"Kamu nurut apa kata Ayah dan Ibu baru kamu, ya. Jangan nakal. Jadilah anak yang bisa membanggakan keluarga." Pengurus panti itu berkata pada Joano dengan mata berkaca-kaca. Joano tahu jika kalimat template itu pasti akan keluar dari mulut pengurus panti, tapi anak itu tidak pernah tahu dan menyangka kalau pengurus panti akan menatapnya penuh haru seperti itu. Joano jadi bisa membayangkan bagaimana perasaan pengurus panti setiap menyerahkan anak-anak ke orang tua baru mereka, perasaan campur aduk itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Joano mengangguk kepalanya. "Iya, Ibu. Joano akan jadi anak yang baik dan juga penurut."
"Saya akan menjaga Joano sebaik mungkin, Bu. Jangan khawatir." Laki-laki berkumis tipis itu maju satu langkah lalu mengulurkan tangannya kepada Joano.
Pengurus panti menganggukkan kepala. Dia percaya penuh kalau laki-laki itu akan merawat Joano selayaknya anak sendiri, seperti para orang tua lainnya yang mengadopsi anak-anak dari panti asuhan ini.
"Kalau begitu saya permisi, Bu. Semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan yang lebih baik." Imbuh laki-laki itu. Sekali lagi dia tersenyum tipis kepada pengurus panti sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya.
Sementara itu, melalui jendela mobil Joano menatap sedih pengurus panti, juga pada bangunan yang telah menyimpan banyak kenangan tentang dirinya. Joano sungguh berharap suatu hari bisa berkunjung ke tempat itu dengan keadaan yang lebih baik.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, mereka akhirnya sampai ke tempat tujuan. Di belakang laki-laki yang kini menjadi ayah angkatnya, Joano berjalan memasuki sebuah rumah tua. Meski terlihat kuno, rumah tua itu menawarkan estetika khas yang tidak dimiliki bangunan masa kini.
Selagi menunggu ayah angkatnya naik ke lantai dua, Joano memandang pigura-pigura yang menempel di dinding. Gambar-gambar di sana seperti menceritakan kehidupan pemilik rumah dari masa muda hingga masa kini.
Dan dari tempatnya berdiri saat ini, samar-samar Joano mendengar perdebatan antara laki-laki dan perempuan. Sesekali si perempuan berteriak hingga membuat bulu kuduk Joano berdiri. Raut cemas dan takut tampak sekali di wajahnya. Joano mencengkeram ujung bajunya di tengah situasi yang menegangkan itu.
...***...
"Sudah gue bilang adopsi remaja! Bukan bocah yang baru lahir kemarin!" Margaret berteriak sambil menggebrak meja. Raut wajah wanita itu penuh amarah setelah mengetahui kalau suaminya tidak melakukan pekerjaannya dengan baik.
"Nggak ada bocah lain selain dia. Sisanya masih pada kecil-kecil." Tio, laki-laki yang sudah lima tahun dinikahi Margaret itu berusaha membela diri saat wanita itu menyalahkannya. Apa pun yang Tio lakukan selalu saja salah di mata Margaret, selalu saja tidak bisa memuaskan hati wanita itu.
Bola mata Margaret membulat sempurna mendengar alasan Tio, wajahnya merah padam. "Emangnya nggak ada panti yang lain?!"
Tio diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Lo nggak bilang, sih."
Margaret menghela napas kasar. Suaminya itu memang tidak berguna, sebutannya saja menikah tapi keduanya tidak ada kecocokan sama sekali. Mereka seperti menikah di atas dokumen, selebihnya hubungan mereka hanya seperti seorang nyonya dan pesuruh. Memang dulu Margaret mencintai laki-laki itu dan bahkan sampai sekarang, tapi semua kekuasaan rumah tangga mereka sepenuhnya dipegang oleh Margaret, itu karena Margaret merasa suaminya itu tidak bisa diandalkan.
"Bisa-bisanya gue dulu mau nikah sama lo! Nggak ada keuntungannya sama sekali! Kerjaannya cuma nongkrong sama ngerokok doang. Disuruh melayani pelanggan nggak mau, dikasih saran adopsi anak malah nyari yang nggak berguna! Bisanya apa sih, lo!"
Tio terdiam, menundukkan kepalanya. Meski raut wajahnya menampilkan rasa bersalah, namun sebenarnya perkataan Margaret hanyalah angin lalu baginya.
Margaret adalah seorang pemilik kafe yang memiliki beberapa cabang di Bandung. Kafenya bisa dibilang ramai, apalagi saat akhir pekan. Oleh karena itu, Margaret membutuhkan pegawai paruh waktu yang bisa di gaji rendah. Namun, akhir-akhir ini para pegawai paruh waktu yang bekerja di tempatnya beramai-ramai berhenti karena mereka tidak tahan dengan lingkungan kerja dan upah yang rendah.
Berita mengenai lingkungan kerja yang tidak sehat dan upah yang rendah cepat tersebar di kalangan para pencari kerja, oleh sebab itu banyak para pencari kerja tidak ingin melamar posisi apa pun di tempat usahanya.
Sementara itu, Tio yang memegang cabang sering mengeluh karena dia harus ikut melayani pelanggan, padahal posisinya di sana adalah seorang kepala kafe. Menurut Tio, tidak seharusnya seorang kepala kafe ikut memberikan service karena pekerjaannya sendiri sudah banyak. Laki-laki itu akhirnya meminta Margaret untuk mencari pekerja paruh waktu lagi.
Margaret, selaku nyonya yang mencintai suami yang menurutnya tidak berguna itu akhirnya menyuruh Tio untuk mengadopsi anak dari panti asuhan supaya bisa diperkerjakan tanpa upah dengan dalih membantu orang tua.
Dan lagi-lagi Margaret dibuat meradang melihat hasil kerja Tio yang tidak bisa diandalkan. Margaret menyuruh Tio untuk mengadopsi remaja yang bisa diajak bekerja, tapi dia malah membawa pulang seorang bocah yang bahkan membersihkan ingusnya saja belum tentu bisa.
Margaret membanting gelas yang ada di hadapannya, matanya melirik tajam ke arah Tio yang kini tengah menundukkan kepala. Sekali lagi Margaret bergumam sebal, "Dasar nggak berguna!" Wanita itu kemudian berlalu dari hadapan Tio dan keluar dari ruangan.
Di sisi lain, Joano terperanjat mendengar suara gelas pecah. Anak itu bahkan hampir menangis saat mendengar suara pintu yang terbanting. Dia memegang ujung bajunya kuat-kuat untuk mengurangi rasa takutnya. Bahkan suara hak sepatu wanita yang sedang berjalan menuruni anak tangga itu berhasil membuat kaki Joano gemetar, raut gugup tampak jelas di wajah Joano begitu wanita itu menatap tajam ke arahnya.
"Awas aja kalau nggak bisa kerja." Gerutu wanita itu terdengar jelas di telinga Joano.