Widia Ningsih, gadis berusia 21 tahun itu kerap kali mendapatkan hinaan. Lontaran caci maki dari uanya sendiri yang bernama Henti, juga sepupunya Dela . Ia geram setiap kali mendapatkan perlakuan kasar dari mereka berdua . Apalagi jika sudah menyakiti hati orang tuanya. Widi pun bertekad kuat ingin bekerja keras untuk membahagiakan orang tuanya serta membeli mulut-mulut orang yang telah mencercanya selama ini. Widi, Ia tumbuh menjadi wanita karir yang sukses di usianya yang terbilang cukup muda. Sehingga orang-orang yang sebelumnya menatapnya hanya sebelah mata pun akan merasa malu karena perlakuan kasar mereka selama ini.
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
Yuk ramaikan ....
Update setiap hari...
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Widi yang baru saja tiba di rumahnya, ia langsung masuk ke dalam menemui kedua orang tuanya.
"Assalamualaikum Ibu, Bapak."
"Wa'alaikumsalam."
"Wa'alaikumsalam."
Wendi dan Nia pun menoleh ke arah sumber suara, mereka sangat bahagia melihat anaknya sudah pulang.
"Sudah pulang, Nak?" tanya Pak Wendi meraihkan tangannya, agar Widi duduk di sampingnya.
"Sudah, Pak," jawab Widi dengan wajah bahagianya.
"Ada apa ini, kok bahagia sekali wajahnya?" tanya Nia yang memahami gerak-gerik Widi.
"Coba Ibu sama Bapak, tebak aku bahagia karena apa?" tanyanya dengan senyuman.
"Apa ya?"
"Kamu lagi jatuh cinta, ya?" tebak Nia, Widi menggelengkan kepalanya.
"Hadiah untuk Bapak sama Ibu?"
Hingga akhirnya Nia dan Wendi menyerah menjawab tebakan dari Widi. Widi menarik napas dalam.
"Aku sudah dapat pekerjaan baru!" seru Widi langsung memeluk Bapaknya yang berada di samping.
"Alhamdulillah...."
Sementara itu, Henti yang sedang menguping pembicaraan keluarga Nia pun terasa panas. Ia langsung mendobrak pintu rumah Nia, sehingga terlepas dari Pakuannya.
Brak!
Bugh!
"Astagfirullah!"
"Astagfirullah al'azim!"
Sontak membuat keluarga Nia terkejut mendengar suara pintunya yang di dobrak Paksa.
"Hei! Keluarga miskin, jangan bangga dulu meskipun kamu mendapatkan pekerjaan!" sentak Henti dengan berkacak pinggang.
"Apa lagi salah kami?" tanya Wendi dengan gemetaran.
"Dan kamu Widi! Jangan bangga dengan pekerjaan kamu, bisa saja kamu nanti di jual sama bos kamu sebagai pelacur!" seru Henti dengan ketawa kerasnya.
"Bahkan orang yang berijazah SMA, gak akan mungkin secepat itu mendapatkan pekerjaan. Atau jangan-jangan, kamu menjual diri, ups!"
"Ua, jangan sembarangan ngomong. Aku mendapatkan pekerjaan itu murni." Widi yang ingin maju untuk menghajar uanya, namun ia di tahan oleh Bapaknya.
Plak!
Plak!
Dua kali tamparan mendarat ke pipi Widi. Sontak, Nia dan Wendi tercengang melihat Henti berani menampar anak semata wayangnya. Selama 21 tahun mereka tidak pernah memukul Widi, sebesar apapun masalahnya.
Wendi ingin saja menegur Henti dengan sikapnya yang kurang ajar. Namun, ia urungkan niat baik mengingat statusnya terlalu di bawah standar di mata Henti dan keluarganya.
"Berani kamu menjawab ucapan aku!" bentak Henti, ia mencengkram kedua pipi Widi lalu mendorongnya hingga Widi terduduk di atas lantai.
Bugh!
Widi hanya mampu menangis dengan bisu, ia juga tidak berani melawan Henti. Keluarga Henti bisa membeli segalanya, beda lagi dengan keluarga Nia yang hanya bersyukur bisa makan enak berkat kegigihan Widi.
"Sudah miskin, malah sok belagu lagi!" sinis Henti dengan melipatkan tangannya di depan dadanya.
"Dan kalian bertiga, jangan pernah sok bahagia! Kalian orang miskin hanya bisa merasakan kesedihan dengan nasib kalian sendiri!" ejek Henti dengan ketawa kerasnya.
^^^"Teruslah menghina keluargaku, akan aku pegang semua omonganmu! Suatu saat kau akan membayar semuanya!" batin Widi seraya mengepalkan kedua tangannya.^^^
Nia dan Wendi mendengar ucapan Henti hanya bisa menahan rasa sakit hatinya, mereka sadar diri dengan nasib hidupnya. Widi hanya menunjuk wajah bencinya kepada Henti, ia menahan egonya hingga tiba waktunya untuk membalas semua perbuatan Henti.
Brak!
Bedentum!
Pintu rumah milik Wendi terlepas dari konsennya, mereka berdua hanya mampu mengusap dadanya. Perlahan-lahan Wendi memperbaiki sebisanya, mengingat kondisinya masih lemah.
Widi menangis di pelukan Ibunya, ia tidak mengerti kenapa orang tuanya masih bertahan tinggal yang berdekatan dengan saudaranya yang kejam.
.
.
.
Matahari pagi sudah terlihat sangat cerah, Widi sudah berdandan dengan rapi demi mendapatkan pekerjaan yang baik. Ia sangat bersemangat bekerja demi sebuah cita-citanya, dan tidak lupa ia minta doa restu kepada kedua orang tuanya agar rezekinya di beri kemudahan.
"Pak, Bu. Widi berangkat kerja dulu, ya. Assalamualaikum," ucap Widi sembari mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
"Iya Nak, hati-hati di jalan ya. Bekalnya jangan lupa dimakan siang nanti," balas Nia dengan penuh haru.
"Baik-baik di sana, kamu harus patuh apa kata bos kamu. Dan kamu harus bersabar apa pun masalah yang menimpa padamu," ucap Wendi memberi nasehat pada anaknya agar tidak menyebabkan masalah di pekerjaan barunya.
"Insya Allah pesan Bapak, akan Widi ingat. Assalamualaikum," balas Widi
Saat ini Widi hanya bermodalkan jalan kaki menuju ke perusahaan, apapun caranya akan ia coba agar pekerjaan yang ia harapkan tidak sia-sia begitu saja.
Nasib baik Widi datang tepat waktu secara bersamaan dengan Pak Cakra. Spontan Pak Cakra kagum dengan kecepatan waktu Widi. Terlihat Widi yang baru tiba di perusahaan, ia mengatur napasnya dengan baik sebab ia berlari dari rumah.
"Widi, kamu kenapa?" cemas Pak Cakra.
Sontak, Widi terkejut begitu mendengar suara yang tidak asing.
"Selamat pagi, Pak Cakra," Widi berusaha menutupi kelelahannya, sayang sudah terbaca oleh Pak Cakra meski ia pura-pura tidak tahu.