Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Tante Miranti
Istri Oom Bernard bertubuh sintal dengan kulit bersih dan putih mulus. Matanya bulat besar, bersanggul di atas kepala. Ia tidak terlalu tinggi. Usianya mungkin baru lima puluh, jelas terpaut jauh dengan Oom Bernard.
Kalau tidak salah, Mama mengatakan usia Oom Bernard sekitar tujuh puluh, meskipun masih terlihat gagah dan sehat. Tubuhnya tinggi dan belum bungkuk, dengan alis tebal dan mata masih awas, belum mengenakan kaca mata ketika membaca. Ketika muda ia pasti sangat tampan.
‘Tidak seperti Papa yang terlihat lebih tua dari usianya,’ Dara membatin dalam hati. Uang memang bisa membuat penampilan seseorang terlihat lebih baik. Atau itu karena ia lebih banyak bermukim di Cina yang udaranya segar dan makannya sehat? Atau mungkin keduanya.
“Mir, ini Dara, dia akan tinggal di sini, aku menugaskan dia untuk membereskan pembukuan kita,” Oom Bernard memperkenalkan mereka.
Di belakang Tante Mir, seorang gadis berambut sebahu mengikuti.
“Itu Siti.” Oom Bernard menunjuk gadis di belakang Tante Mir, lalu berkata kepadanya, “Siti, mulai besok kamu serah terima pekerjaan. Pembukuan akan dipegang Dara, kamu urus operasional saja.”
Dara benar-benar terkejut karena datang-datang ia sudah merebut pekerjaan orang. Wajah Siti jelas menunjukkan rasa tidak suka. Bibirnya tertarik sinis. Kedua matanya menatap Dara dari kepala ke kaki.
Dara ingin balas menatapnya dari kaki ke kepala lalu ke kaki lagi. Tapi ia takut mengecewakan Mama, ia harus bersikap sopan, atau ia akan kehilangan pekerjaan ini. Jadi ia menekan ego, mengulurkan tangan, tersenyum menjabat tangan Tante Mir dan Siti.
Tante Mir menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. Dara tak bisa menerjemahkan makna apa yang ada di sorot matanya.
“Siti, antarkan Dara ke kamar yang kemarin sudah gua bilang.” Tante Mir menoleh pada Siti, lalu berkata pada Dara. “Kamu taruh dulu kopernya, Siti akan antar kamu.”
“Oom akan masak dulu, nanti makan bareng ya.” Oom Bernard tersenyum, lalu berjalan pergi diikuti Tante Mir. Mungkin menuju dapur.
Rumah ini sangat besar, sepertinya dipisahkan menjadi tiga bagian. Begitu masuk adalah area terbuka yang pasti berfungsi sebagai tempat kerja, menerima dan mengolah belut dari pemasok. Agak masuk adalah bangunan beratap yang ternyata bak-bak penampungan.
Ada taman kecil yang tampak tak terurus, dengan rumput-rumput yang mulai meninggi. Dara sudah membayangkan nyamuk-nyamuk beterbangan di malam hari.
Siti berjalan mendahuluinya, melewati taman itu, dan berhenti di salah satu dari tiga kamar yang berderet. Kamar itu terletak paling depan, dengan pintu masuk dari taman, dan jendela kecil yang menghadap ke area terbuka itu.
Furnitur di dalamnya sederhana, hanya ada tempat tidur tunggal, lemari plastik dan meja rias dengan cermin kecil, tanpa AC, hanya exhaust fan yang menempel di dinding, sehingga pasti panas jika berdiam di dalamnya pada siang hari. Sekarang pun Dara sudah merasa pengap begitu pintu dibuka.
“Sebelumnya ini kamar siapa?” tanya Dara pada Siti.
“Gak ada, emang kosong, buat kalau ada tamu yang menginap. Agak panas sih, kalau di kamarku ada AC.” Ujar Siti, tampak puas.
“Gak apa-apa, kamarku di Ciamis juga gak ada AC, kok.” Dara tersenyum, meskipun hatinya merasa dongkol.
Dara tidak melihat rumah mereka.
‘Mungkin terletak di paling dalam.’ Dara berpikir dalam hati.
“Aku mau nunjukin kantor tempat kita kerja.” Siti yang menunggu di pintu sambil melipat tangan di depan dada berkata.
Mendengar itu, Dara hanya meletakkan kopernya begitu saja, tidak jadi membongkar untuk membereskannya, lalu berjalan mengikuti Siti.
Kantor itu terletak di seberang taman, berhadapan dengan kamar mereka. Di dalamnya ada dua meja tulis kayu, dengan lemari dokumen di belakangnya, dan lukisan kaligrafi Cina tertempel di dinding.
Di salah satu meja, terdapat tumpukan buku-buku besar, alat tulis dan kalkulator, serta salinan nota tanda terima. Bahkan tidak ada komputer, semua masih dikerjakan manual.
“Tuan sama Nyonya tinggal di rumah belakang,” Siti menjelaskan. “Kita sih jarang ke sana, kecuali dipanggil.”
Dara mengangguk mengerti.
“Lalu… apakah aku bisa melihat pembukuan seperti apa yang selama ini kamu kerjakan? Yang… yang akan aku pegang nanti?”
“Sabaaarr… napsu amat.” Siti merotasi matanya. Dara terkejut.
“Bukan begitu, aku hanya ingin melihat, karena ini pekerjaan yang benar-benar baru untukku.”
“Kamu bukannya calon sarjana? Pernah kuliah kan? Masa cuma pembukuan aja gak ngerti.” Suara Siti sangat sinis.
Dara terdiam, malas debat kusir dengan orang yang jelas-jelas dengki karena merasa pekerjaannya direbut.
Tak lama kemudian, telepon di meja yang kosong berdering.
“Halo,” Siti menjawab. “Iya.” Lalu ia meletakkan kembali telepon itu.
“Kita dipanggil makan, ke rumah Tuan di belakang.” Katanya, sambil melenggang ke luar kantor.
Dara mengikutinya, membenarkan dugaannya tadi, rumah Oom Bernard terletak di belakang, paling jauh dan tersembunyi.
Rumah itu cukup mewah untuk kondisi ekonomi saat ini. Sangat bergaya Cina. Menampakkan jelas bahwa pemiliknya benar-benar orang Cina. Kata Mama, Oom Bernard memang orang Cina asli, yang datang ke Indonesia ketika remaja. Sudah memiliki istri di Cina, juga di Taiwan, tapi memiliki istri lagi di Indonesia. Jadi istrinya ada tiga.
Bahkan meja makan di sana, adalah meja bulat dengan bagian yang bisa diputar di tengahnya, seperti yang terdapat di drama-drama Mandarin atau restoran Cina. Dan seperangkat piring mangkok serta cangkir di atasnya, yang sekarang telah tersaji dengan hidangan yang dimasak Oom Bernard dan teh panas, juga adalah porselen Cina.
“Ayo duduk, Dara. Makan dulu ya.“ Oom Bernard tersenyum dengan ramah, menunjuk salah satu kursi di sebelah kirinya, sementara Tante Mir telah duduk di sebelah kanannya.
Dara menurut dan duduk di sana, sementara Siti menempati kursi di sebelah kanan Tante Mir.
“Kalian harus bekerja sama.” Oom Bernard memulai pembicaraan. “Pak Haji Mamat sudah telepon, satu minggu lagi akan kirim belut. Katanya bisa satu ton. Jadi satu minggu ini Dara belajar dulu dari Siti ya. Sekarang, ayo makan.”
Dara mengangguk, dan matanya menangkap Siti yang saling melirik dengan Tante Mir.
Dara tidak mengerti mengapa kedua wanita itu tidak menyukainya. Dara memiliki firasat, hari-harinya di sini tidak akan mudah.
byk yg qu skip krn byk yg g penting
karyawan baru emg hrs byk belajar g salah jg mirna menyuruh bangun dini hari
Kejutannya di karya ini adalah ternyata Qing Qing dan Dara Sepupuan.
ahh terpaksa komentar di bagi bbrpa kna kepanjangan wkwkwkwk
semangatt ka Dela👍👍👍
spt cinta Damar dan Qing Qing, tak ada yg salah sama Cinta mereka, wlpn Qing Qing 14 thn dan Damar 19 thn, mereka iya salah kna terpancing gelora muda hingga MBA... tapi jika spt ungkapan ada hukum sebab akibat bkn kah Damar dan Qing Qing sudah mendapatkan nya?
mo koment apa yaak pastinya panjang komentar ku soalnya akumulasi dari all komentar dari awal bab sampe bab benang merah end.
awalnya cuma kepo nih baca karya penasarannya kna muncul di beranda, baca awal bab ehh bikin penasaran, kok bisa ide nya belutt wkwkwkwk akhirnya keterusan dehh baca nya.