NovelToon NovelToon
To Be Your Mistress

To Be Your Mistress

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Angst / Kehidupan alternatif / Romansa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: moonwul

Ketika ketertarikan yang dihiasi kebencian meledak menjadi satu malam yang tak terlupakan, sang duke mengusulkan solusi kepada seorang gadis yang pastinya tidak akan direstui untuk ia jadikan istri itu, menjadi wanita simpanannya.

Tampan, dingin, dan cerdas dalam melakukan tugasnya sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth juga grup perusahaan keluarganya, Simon Dominic-Ainsworth belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak mengaguminya–kecuali Olivia Poetri Aditomo.

Si cantik berambut coklat itu telah menjadi duri di sisinya sejak mereka bertemu, tetapi hanya dia yang dapat mengonsumsi pikirannya, yang tidak pernah dilakukan seorang wanita pun sebelumnya.

Jika Duke Simon membuat perasaannya salah diungkapkan menjadi sebuah obsesi dan hanya membuat Olivia menderita. Apakah pada akhirnya sang duke akan belajar cara mencinta atau sebelum datangnya saat itu, akankah Olivia melarikan diri darinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonwul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

02: Pria Menawan Itu Bak Iblis

...♧♧♧...

“Namanya Olivia Poetri. Dia anak dari Aditomo, sopir ayah Anda, Tuan.” Adalah jawaban yang cukup terlambat diberikan Benedict.

Sebagai sekretaris, ia harus berbalik dan menanyakannya pada kepala staf rumah, perjalanan bisnis ke Australia selama dua minggu membuatnya ketinggalan informasi kecil ini.

Simon dengan tenang membuka jam tangannya. Sebelum aksesori bernilai jutaan dolar itu menyentuh permukaan meja kerja, ia menghela napas dan mengangkat kepalanya. “Ibu atau Ayah yang memberi izin?”

Benedict meluruskan postur tubuhnya dan segera menjawab. “Keduanya, Tuan. Seperti yang Anda tahu, Aditomo telah melakukan pekerjaan dan membuktikan dirinya dengan sangat baik selama hampir sepuluh tahun ini.”

“Dengan menampung gadis itu begitu saja?” Kedua alis Simon terangkat kecil. Benedict menelan ludah menyiapkan diri, kedua mata berwarna hijau emerald milik Simon tampak menyorot dengan keberatan, tampak jelas betapa ia tidak menyukai kedatangan gadis itu.

“Kepala Staf mengatakan bahwa gadis itu menawarkan diri membantu membuat kue dan biskuit setiap hari sebagai bayaran sudah dibolehkan tinggal di sini,” tambah Benedict. Ia mengencangkan doa dalam hatinya, berharap Simon segera menyudahi pekerjaan ini dan membiarkannya beristirahat.

Suara dengusan napas dari tawa sarkas Simon membuat Benedict kembali menelan ludah. Besar kemungkinan istirahat yang diimpikannya itu tidak terjadi dalam waktu dekat. Namun, seperti biasanya, sikap Simon sungguh tidak dapat diprediksi.

“Untuk jadwal malam ini, saya akan pergi sendiri.”

“Anda yakin, Tuan?”

“Tidak ada bisnis yang bisa dibangun dengan Joe Johnson. Kamu bisa istirahat malam ini.”

Benedict menelan senyum lebarnya, tidak mungkin ia terlihat sangat bahagia saat atasannya membiarkannya bolos kerja. Sebagai ganti, ia menunduk kecil memberi hormat sebelum mengundurkan diri dari hadapan sang atasan.

Simon tinggal sendiri di kamarnya yang begitu luas lengkap dengan ornamen klasik khas kerajaan Inggris dahulu. Ujung jemari panjangnya menyentuh satu persatu kancing kemeja dan membukanya. Pikirannya entah bagaimana bisa begitu terganggu dengan sosok seorang gadis yang dilihatnya dari kejauhan beberapa saat lalu.

Rambut coklat yang panjang dan bergelombang itu? Atau wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya?

Mengenyahkan pikiran yang sempat terkalihkan, Simon menghela napas cukup keras sebelum melangkah menuju kamar mandi. Mungkin guyuran air dingin dapat menjernihkan pikirannya.

♧♧♧

Jadwal Simon untuk malam ini adalah menghadiri pesta perayaan sebuah perusahaan musik yang dimiliki salah seorang alumnus kampusnya. Joe Johnson, seorang pecundang bermulut besar, semua orang di sekitarnya tahu betul kepribadian buruk pria itu.

Simon dikenal tidak pernah menyiakan sekecil apa pun kesempatan bahkan setiap situasi yang membuatnya harus menghadiri suatu pesta, ia akan membawa serta sekretarisnya dan menjalin bisnis dengan pihak-pihak yang dianggapnya penting.

“Yang Mulia, Duke Simon! Wah, siapa sangka pesta kecilku ini dihadiri seorang sepenting kamu,” racau Joe, terdengar sudah cukup mabuk.

Simon tersenyum, dengan penuh penguasaan diri, ia menjabat tangan Joe. Sorak riuh, tepuk tangan, dan puji-pujian seketika mengisi ballroom mewah ini. Tentu itu semua diperuntukkan kepada Simon. Bahkan para wanita cantik dan berpakaian seksi secara alami mulai mendekat.

Tawa mengejek keluar dari kedua bibir Joe, dengan gelap mata ia meraih gelas berisi sampanye dan meneguknya habis.

“Tidakkah kamu harus menjadi tuan rumah dengan baik?” pertanyaan yang dilontarkan Simon dengan suara cukup pelan sehingga terdengar hampir seperti bisikan membuat Joe sedikit tertegun. Bahkan bagi dirinya yang seorang pria berorientasi normal pun, sosok Simon sangat menawan.

Setelah menyadari betapa menggelikannya perasaan kagum itu, Joe kehilangan kendali dalam mengutarakan isi kepalanya. Suara yang lantang, dia memanggil semua tamu untuk mendengarkannya. Simon mundur satu langkah, dengan sebelah tangan dimasukkan ke kantung celana, ia menunggu tingkah sembrono apa lagi yang akan dilakukan pria itu.

“Haha, terima kasih atas kehadiran semua tamu yang begitu menakjubkan ini. Terlebih kepada sahabat dekat saya, Duke of Ainsworth, Simon! Sebenarnya hubungan pertemanan kami sempat renggang karena kesalahan saya, tapi rupanya sang duke mewariskan hati yang sangat luas sebagaimana ayahnya dan memaafkan saya.”

Simon tertawa sarkas, menyadari arah dari ocehan setengah mabuk Joe. Para tamu tampak masih menyimak dengan serius. Joe tersenyum puas melihat perhatian yang didapatnya saat ini. Ia lantas melanjutkan, “Iya, sebagaimana sebagian besar orang Inggris tahu betapa besarnya hati sang duke terdahulu bahkan mampu mencintai dua wanita sekaligus.”

Semua suara bahkan yang terkecil sekalipun tak terdengar lagi, topik pembicaraan ini adalah rahasia umum yang diketahui hampir seluruh rakyat Inggris. Sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan dan berpangkat duke, tidak mungkin kisah keluarga terpandang itu tidak terdengar oleh khalayak. Namun, tidak juga memungkinkan untuk rakyat biasa membicarakannya dengan terang-terangan.

Simon tersenyum singkat, ia berucap dengan tenang, “Tutup mulutmu, Joe Johnson. Kamu tidak akan menyukai apa yang akan saya lakukan setelah ini.”

Meski tatapannya bergetar, Joe menyeringai. “Yang Mulia Duke of Ainsworth! Maafkan hamba yang sudah lancang mengatakan fakta. Sebuah fakta bahwa ayah terhormatmu itu tergila-gila dengan wanita simpanannya.”

Cukup sudah. Simon kembali tersenyum singkat.

Seorang pria bersetelan jas datang dengan terburuk dan menutup mulut Joe dengan tangannya. Ia tersenyum pahit dan pamit undur diri membawa atasannya sebelum membuat kekacauan lebih lagi.

Suara orang-orang mengobrol dengan canggung mulai terdengar, dengan ketakutan mereka menghindari tatapan Simon dan berlagak sibuk.

Kebalikan dari ketakutan para tamu bahwa sang duke akan marah dan mengamuk, pria tinggi itu hanya berjalan dan dengan santai meraih gelas sampanye. Membelakangi meja panjang berisi berbagai hidangan itu, ia menyandarkan tubuhnya di sana dan mulai menikmati sampanyenya dengan tenang.

Di saat itulah orang-orang menyadari betapa sempurna sosok sang duke. Mereka dapat merasakan kekuatan dan martabat yang terpancar dari pribadinya. Seorang pria menawan yang sempurna untuk menyandang gelar Duke of Ainsworth.

Simon dengan pelan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat ia melihat ke arah persimpangan lorong ia dapat melihat dengan jelas Joe melangkah dengan gontai memasukinya.

Bibirnya menyentuh ujung gelas dan menyesap sampanye untuk terakhir kali, kemudian ia bangkit dan berjalan pelan mengikuti Joe barusan. Suara sepatunya yang memantul di seisi lorong panjang pun berhenti saat ia sampai di depan pintu toilet.

Ia mendorong pintu itu dan memasukinya. Pandangannya tertuju ke satu-satunya bilik yang diisi oleh seseorang. Menahan pintu masuk dengan tubuhnya, Simon menyandarkan badannya.

Benar saja, Joe memang masuk ke toilet ini dan begitu ia keluar dari biliknya, bahunya jatuh dengan kesadaran penuh bahwa ia tahu ia tidak akan baik-baik saja.

“S-Simon?” Ia tidak dapat mencegah suaranya tidak bergetar. Sedangkan Simon dengan setengah mengangkat wajahnya menatap lurus ke kedua mata yang ketakutan itu.

Satu senyuman miring yang samar, Simon menyandarkan sepenuhnya belakang kepalanya pada permukaan pintu. “Bukankah sudah saya peringatkan, Joe Johnson?”

Semenit yang lalu, Joe masih dapat merasakan efek keras alkohol yang membuat semua terasa buram, tapi saat ini, di hadapan Simon ia sepenuhnya sadar. Sebab itu, ia tanpa membuang waktu segera meminta maaf dan mengakhirinya dengan tawa canggung.

Sebelah alis Simon terangkat ringan, ia beranjak dan berjalan ke arah Joe.

“A-Ayolah, Simon. Kita sudah saling kenal sejak bangku kuliah. Bermurah hatilah denganku.” Joe mundur saat langkah Simon tidak kunjung berhenti. Saat Joe hanya tersisa satu langkah lagi dengan pintu bilik, Simon berhenti.

Menunduk dan membuang napasnya sebelum kembali berhadapan dengan Joe, Simon berucap pelan, “Kamu sungguh tidak akan menyukai ini, tapi mulut kotormu sendiri yang membuatmu begini."

Kedua mata Joe bergetar dan mengerjap, dengan tangannya, ia sudah bersiap akan memohon, tapi Simon lebih dulu menangkap dasi yang terkalung di kemejanya.

Tidak ada lagi belas kasihan atau pengampunan di sepasang mata hijau Simon. Pria adalah apa yang mereka katakan, rupanya sangat dipraktikkan olehnya.

Air mata Joe mulai jatuh saat sakit dan sesak yang dirasakan akibat dasi yang mencekik kencang bahkan tidak dapat mengubah apa pun, Simon hanya semakin menarik dasi itu, menambah tekanan yang sudah begitu tak tertahankan.

“Si-Simon... to-tolong.”

Mendengar itu, Simon mengerutkan dahinya. Dengan satu sentakan, ia menentang sebelah kaki Joe dengan sangat keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Kepalanya mendongak akibat tarikan dasi yang tidak kunjung dilepas.

Berusaha meloloskan dari, Joe meraih dasi itu dengan sebelah tangannya. Simon memiringkan kecil kepalanya dan tersenyum. Sebuah senyuman yang diiringi siksaan lainnya. Ia memelintir dasi itu ke tangannya, membuat Joe merasakan sakit yang lebih keras.

“Kamu tidak pernah belajar, Joe Johnson.” Simon menghela. “Dunia tidak akan merasa kehilangan dengan berkurangnya satu manusia tidak berguna sepertimu.”

Air mata yang sebelumnya murni karena rasa sakit kini menjadi tangisan penyesalan dan ketakutan. Joe menggelengkan kepalanya kencang. Tatapan memelas jelas tercetak di wajah pria itu. Namun, Simon tidak berencana berhenti.

Tidak sampai seorang pria tiba-tiba memasuki toilet dan berteriak terkejut. Simon menoleh ke arah pria muda berwajah Asia itu.

“Pak CEO!” seru pria itu melihat kondisi mengenaskan Joe. Simon mendecap, ia melepaskan dasi yang melilit tangannya dengan hentakan keras. Kepala Joe sontak menyandar ke pintu bilik, ia mulai batuk dan pria muda tadi segera menghampirinya.

Simon berniat berjalan dan keluar begitu saja, tapi terhenti.

“Hei, berhenti di sana! Kamu akan dituntut atas penyerangan ini.”

“Tidak, Paul. Biarkan dia pergi,” ucap Joe pada pria bernama Paul itu.

“Tapi, Pak—“

“Turuti saja, Paul.”

Tatapan khawatir Paul pada Joe membuat Simon muak. Ia lantas melangkah keluar, tanpa mengucapkan apa pun, tanpa menoleh ke belakang.

♧♧♧

Pesta adalah hal yang akan sering digelar dan dihadiri oleh kalangan bangsawan juga konglomerat di tanah Inggris ini.

Kedatangan Olivia berjarak tidak jauh dari pesta pengangkatan Simon setelah diakui secara resmi oleh pihak kerajaan sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth setelah ayahnya memasuki usia dan mengidap penyakit yang membuatnya harus melepaskan gelarnya.

Dibutuhkan waktu dua hari penuh untuk menyiapkan pesta akbar itu. Kediaman keluarga sang duke pun bukan main luas dan mewahnya. Olivia telah melakukan semua yang ia bisa dalam membantu pekerjaan para staf.

Malam ini saat pesta itu akan digelar, Olivia diajak Betty–kepala pembuat kue untuk menghadirinya sebagai tamu bukan sebagai staf apalagi pelayan. Penolakan Olivia dengan alasan tidak memiliki gaun yang pas untuk pesta seperti itu pun gagal karena ia dipinjami sebuah gaun oleh Betty.

“Ini adalah gaun tiruan brand mahal. Kalau kamu yang pakai, pasti tidak akan ada yang menyadarinya karena kecantikanmu, Olivia.”

Itulah yang dikatakan Betty dan berhasil membuat Olivia percaya. Namun, keputusannya untuk memakai dan melangkahkan kaki ke pesta adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat seumur hidupnya.

Tepat di tengah taman, tempat di mana tidak ada tamu yang menginjakkan kaki, sepasang lengan berbalut jas memeluknya dari belakang.

Olivia terperanjat dan segera melepaskan diri. Ia menoleh ke belakang dan kedua matanya terbuka lebar.

“Maaf. Saya salah mengira kamu sebagai kencan saya.”

Tidak tahu harus mengatakan apa, Olivia dilanda kebingungan parah, ditambah lagi ia seperti pernah melihat wajah pria tinggi bermata hijau ini.

Sepertinya baru-baru ini aku sering melihat wajahnya.

“Gaunmu. Mirip sekali dengan gaun yang dimiliki kencan saya,” tambah Simon diakhiri senyum seringai singkat.

Satu hal pada akhirnya menjadi jelas bagi Olivia. Ia familier dengan wajah Simon karena foto pria itu tergantung di banyak sudut ruangan kediaman duke. Ia pun melangkah mundur dan menunduk kecil memberi hormat.

“Maafkan saya, Yang Mulia Duke.”

...♧♧♧...

^^^** the picture belongs to the rightful owner, i do not own it except for the editing^^^

1
R. Danish D
Thor, udh jadi 20 bab Terbaik belum?/Left Bah!/
R. Danish D
Begitulah bangsawan bukan? Jika harta kekayaan menjadi sesuatu hal yang tampak tak lagi menggugah selera maka menginjak-injak harga diri sesama manusia adalah jalan pintasnya.
R. Danish D
sengaja, sungguh sangat disengaja wahai nona biadab
R. Danish D
kenapa Charlotte yang emosi? jiir
R. Danish D
Dua insan, Olivia dan Paul bagiku dicerita ini seperti ditakdirkan bersama, mereka sama-sama berjuang dari penindasan Duke yang semena-mena, aku berharap ada scene cerita dimana mereka berdua saling menguatkan, saling merangkul dan berpelukan menghadapi cobaan yang Duke berikan, aku cuman mau Tindakan Duke menjadi batu loncatan bagi Paul supaya dia bisa menjadi lebih intim ke Olivia. Maksudku, Paul meski sebagai Second Lead, dia berhak mendapatkan akhir bahagia yang dia inginkan kan? Mungkin bakalan ada yang kontra sama aku, Olivia pasti pada akhirnya bakalan berada dalam rengkuhan Simon.

Tapi aku juga mau Paul berhak mendapatkan kehidupan yang adil, dan biarkan Simon yang menanggung karma atas perbuatan nya, contohnya seperti 'rencananya untuk memisahkan Olip dan Paul justru menjadi pedang yang telah ia tempah susah payah namun dia gunakan untuk menggorok lehernya sendiri'
R. Danish D: (3)

Sejauh ini, aku menikmati ceritanya, sejauh ini pula aku suka pembawaan ceritanya yang perlahan-lahan terbakar 🔥 Banyak misteri yang belum terungkap, terutama latar belakang keluarga Paul yang pelan2 terkuak dan apa alasan dia terus menahan diri dan ragu mengungkapkan perasaannya ke Olivia, sebenarnya dia tidak ragu menyatakan cinta hanya saja dia takut untuk membawa wanita itu di sisinya kan... jadi ya aku suka, aku suka cerita ini.

Terutama pembawaan cara penulis merangkai kata-kata yang menggelitik, semuanya disusun dengan alur yang meski tempo lambat tapi kita tetap menikmati itu dengan cara yang elegan, sesuai dengan tema kerajaan nya wkwk.

Tema kayak gini emg paling enak tempo lambat sih, jadi ikut terbawa suasana bagaimana suasana istana dan riuh rendah bangsawan yang saling bercengkrama.
R. Danish D: (2)

Simon berhak mendapatkan hukuman, Paul berhak mendapatkan kebahagiaan dan Olivia berhak mendapatkan kebebasan.

simpel kan, Thor? persetan dengan pembaca yang kubu si Simon, aku tetap second lead Paul. Pria yang benar-benar menenggelamkan rasa nafsu dan hasratnya, sekian tahun lamanya, disisi Olivia, hanya pria itu yang mampu memupuk semua rasa egois nya untuk menjadikan Olivia sebagai miliknya sedangkan Simon? oh pria itu baru saja pergi 1 tahun lebih, jarang bertemu dan berbincang namun sudah bersikap cabul dan bertindak sesukanya.

Cara Paul yang begitu berhati-hati memperlakukan Olivia, seakan wanita itu bagai permata yang begitu mudah rapuh kalau tak diperlakukan sedemikian rupa, cara Paul yang ingin menyatakan perasaannya dengan cara yang tulus, murni bentuk rasa cinta bukan hanya nafsu semata deserve seorang wanita seperti Olivia yang bukan sesosok yang bakalan bersujud dibawah kaki Simon dan menjilat sepatu pria itu.
total 2 replies
R. Danish D
huekkkkkkkk
R. Danish D
persetan, gw ga restuin elu sma Olip!
ga peduli guwaa!!!
R. Danish D
hanya dia seorang yang boleh melakukan hal itu, bermain-main, bersenang-senang. ~
R. Danish D
boleh ga sih, aku berharap ending cerita ini Olivia bersama Paul saja, begitu logika ku saat ini. Kalau mau aku beritahu alasannya, panjang banget.. cuman aku berharap Simon dijadikan figur pesan moral aja. /Grimace//Grimace//Grimace/
R. Danish D
olip hahahh 😭😭😭😭😭👍👍👍👍
R. Danish D
duke jancok wkkwkwwkkwk aku JUNGKIR NI HAAAAA
R. Danish D
Charlotte kan juga bangsawan, tapi rada lebay yaa dapat kasur empuk gitu emg selama ini tidur beralaskan kardus wkkwk
R. Danish D
mau jual diri kah mbak charlo(n)tte?
R. Danish D
PANIK GA LU, PANIK GAAAAA!!!!
R. Danish D
Gentle man?
Jeez, of course she just sarcastic, my dear
R. Danish D
tunggu, ini sudut pandang siapa
ahh pake tanda sesuatu donggt/Grimace/
R. Danish D
/Silent//Silent//Silent//Silent/
R. Danish D
mabuk ya pak?
R. Danish D
iya nikmat, memang nikmat
tapi lu kelewatan batas sampe raba2 ke atas bawah
R. Danish D
aduh cok, kepala ku kotor sekali membaca ini /Whimper/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!