Dewi Sri, seorang gadis 23 tahun yang memimpikan kerja di kantoran. Gadis dengan penampilan biasa saja dengan logat Jawa yang medok. Dijodohkan dengan seorang pria yang lebih dewasa darinya. Yang seharusnya berjodoh dengan kakak tertuanya.
Lucky Albronze terpaksa menerima perjodohan dari orang tuanya karena balas budi berhutang nyawa. Padahal dia sudah punya kekasih hati yang di impikan menjadi pendampingnya kelak.
Dan mereka berdua menjadi punya kesepakatan dalam pernikahan, yang hanya untuk membuat orang tua masing-masing merasa bahagia.
ikuti kisah selanjutnya yuk!
🥰🙏 dukung author ya. makasih ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bennuarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENYETUJUI
Siang ini Sri duduk dengan lemas di gubuk bambu yang ada di tengah hamparan sawah yang masih hijau. Otaknya berpikir keras mencari cara menggagalkan acara pertunangannya dengan seorang pria dari kota.
Kata ibunya, lelaki itu mapan, kaya, dan juga tampan. Tapi itu semua tidak membuatnya tergiur sedikit pun. Sri masih bercita-cita ingin bekerja di perusahaan. Atau jadi pegawai PNS, atau setidaknya bekerja di kantoran.
Tapi hatinya semakin galau. Manakala pekerjaan tak kunjung di dapat. Sangat susah mencari pekerjaan sekarang. Apalagi hanya bermodalkan ijazah S1 tanpa ada pengalaman kerja dan tidak ada orang dalam.
Dan kini, dia harus di hadapkan pada beban lamaran dengan orang yang dia tidak kenal sama sekali. yang seharusnya lamaran ini di peruntukkan untuk Kakak perempuan tertuanya, mbak Lastri. Tapi karena Lastri sudah menikah dan punya anak, maka lamaran itu di tujukan pada dirinya.
Dewi Sri adalah gadis berusia dua puluh tiga tahun. Baru saja lulus S1 ekonomi. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak perempuannya sudah menikah. Hanya tinggal dirinya seorang yang masih sibuk mencari pekerjaan.
Orang-orang terdekatnya lebih suka memanggilnya Sri. karena terbiasa dari kebiasaan ibunya. Sri kini hanya punya ibunya. sedangkan ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu.
Sebulan yang lalu, ada seorang bapak yang mencari alamat rumah mereka. Dan akhirnya bertemu dengan ibunya. Betapa senang ibunya di datangi tamu itu. katanya kenalan lama ibu.
Sri cuek saja. Tidak terlalu menanggapi kedatangan tamu yang namanya adalah Frans. Begitu yang di dengar Sri ketika ibu memanggilnya.
Sampai dengan malam harinya Sri tercengang mendengar ibu menerima pak Frans melamar Sri untuk anak semata wayangnya.
Jelas saja Sri mencak-mencak tidak karuan. Menolak lamaran yang sudah terlanjur di terima ibunya. Kata ibunya, bapaknya sudah terikat janji dengan pak Frans itu dari dulu. Jadi sekarang giliran Sri yang harus menunaikan janji bapaknya dan pak Frans.
"Ojo ngono loh bune. Sri masih kepingin kerja. Sri belum mau nikah buneeee.."
"Bune wes lihat calon mu loh Sri. wonge ngguuaannteng!"
"Pokok'e Sri ora Sudi. Sri ora kepengen seng ganteng. Sri pengen kerjo bune"
"hallaaaahh.. Yo mengko kerjo mu Yo neng dapur juga. Wes ojo ngeyel. bune wes terimo lamarane"
Kalau ibunya sudah bilang begitu, Sri hanya bisa menundukkan kepalanya. Melawan juga percuma. Yang ada nanti ibunya malah unjuk akting menangis lebay.
Sri semakin lemas saja jika mengingat perkataan ibunya. Tak dapat berbuat banyak.
"Sriiii..."
Dari arah samping, terlihat Nunik berlari kecil di betengan sawah. Sri hanya melihatnya hampa. Tampak Nunik ngos-ngosan mendekatinya.
Nunik adalah sahabat Sri dari kecil. Selalu bermain bersama, sekolah bersama, sampai kuliah juga sama-sama. Nunik yang selalu menemani Sri disaat suka dan duka.
"Mbak mu nelpon aku Sri" ujar Nunik begitu sampai di dekat gubuk dengan napas ngos-ngosan.
"Bilang apa?" tanya Sri.
"muleh. bune mu nangis"
Sri diam tak menyahut. Wajahnya muram. Ibunya sudah menangis karena dia belum pulang dari pagi tadi.
"Aku males tenan loh, Nik"
"Ojo ndumeh Sri. Lekas muleh. Ntar bune mu semaput loh" Nunik menyenggol lengan Sri.
"kamu aja yang gantiin aku Nik"
"Opo tooohh.. wes ayo Ndang lekas"
Nunik menarik tangan Sri untuk segera beranjak pulang. Sri tidak bisa menolak. Menuruti tarikan tangan Nunik beranjak menyusuri betengan sawah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di rumah, Sri memarkirkan motornya. Ditemani Nunik pulang, agar Sri bisa memberi alasan.
Tampak keadaan rumah sudah ramai oleh sanak famili Sri. Karena besok adalah hari pertunangan Sri. Mereka sibuk mempersiapkan segalanya.
Welas menyambut Sri dengan wajah cemas. Belum sempat Sri membuka helm dari kepalanya, Welas langsung Menarik tangan Sri agak keras. Menggeretnya masuk ke dalam rumah. Sri hanya pasrah.
Mereka berhenti di ruang tengah. Tampak ibunya terbaring lemah sambil menangis. Wanita berumur yang selalu memakai kain dan kebaya, serta rambut kondenya itu terisak sedih. Ditemani Lastri kakak pertamanya.
"Tuh.. lihat bune. Dia semaput gara-gara kamu. Sana minta maaf" ujar Welas sambil mendorong tubuh Sri mendekat pada ibunya.
Sri maju kedepan akibat dorongan Welas. Tapi hanya berani berdiri tegak di samping sofa tempat ibunya terbaring.
"Bune" panggil Sri pada Warti, ibunya.
Warti menoleh. Masih terisak sedih. Air mata berderai di pipi tuanya.
"Kamu tega Sri" ujar Warti lirih.
Mendengar itu, rasa hati Sri bagai di remas tangan kokoh yang tak terlihat. Dia bukannya tega. Tapi di cuma tidak terima jika harus menikah sebelum bekerja.
Sri jatuh bersimpuh di lantai. menunduk dan terisak sedih.
"Maaf bune. Sri cuma kepengen kerjo ndisek" ujar Sri lirih. menunduk dalam tak berani menatap ibunya.
"Ini bukan soal itu nak. Tapi bapak mu dulu pernah menerima janji sama pak Frans untuk menikahkan putrinya sama anak'e pak Frans. bune Wedi loh Sriii... ntar pakne mu di tuntut Karo Gusti Allah" Warti menjelaskan apa yang selama ini yang terjadi.
Sri mendongak menatap ibunya. lalu beralih menatap kakak perempuan tertuanya.
"Janjine kan Karo mbak Lastri, bune. Kenapa harus Sri yang menggantikan?" Sri masih mencoba bernego.
"laahh.. mbak kan wes nikah, Sri... Ojo Eden nopo" sahut Lastri.
"Sri, calon mu iku ngganteng. Ora nyesel Sri" Welas juga ikut menimpali.
Sri memberengut sebal melirik Welas. kakak perempuannya yang kedua ini juga malah tidak berada di pihaknya sama sekali.
"Wes toh Sri. Ojo ngeyel tenan. Bune cuma mau kamu menebus janji bapak mu sama pak Frans" ujar Warti lagi.
Sri hanya diam saja. menatap ketiga wanita di depannya dengan muka masam.
"Yo wes, Sri mau" ujar Sri akhirnya.
"Naaaahhh... ngono toh nduk. Kamu iku cah ayu"
Warti langsung berlutut di depan Sri dan memeluk putri bungsunya itu dengan rasa gembira tak terkira. Sri hanya diam Saja.
"Yo wes, Kono. mangan sek Karo mbak mu"
Sri bangkit berdiri. tapi tidak menuju dapur. tapi pergi ke kamarnya. tidak ada selera sedikit pun untuk makan. Nunik hanya menatapnya prihatin.
Sri si gadis periang kini menjadi gadis pendiam. Satu Minggu ini Sri selalu mengeluh pada Nunik kalau dia belum siap menikah. Tapi apa yang bisa Nunik lakukan selain mengatakan Sri harus bersabar.
Sri menghempaskan tubuhnya di kasur. telentang menatap langit-langit kamarnya. Dia tidak kenal lelaki itu. tidak pernah bicara sama sekali. Tidak pernah melihat bagaimana bentuk rupa calon tunangannya.
Sewaktu ibunya ingin menunjukkan foto lelaki itu, Sri menolak. Hanya membiarkan foto itu tergeletak di meja makan, tanpa ada niat melirik barang sejenak pun.
Sri tidak tahu apa yang bakal terjadi padanya nanti setelah menikah. pasti sangat asing sekali hidup dengan lelaki yang tak di kenal sama sekali.
"hhahhh... nasib mu sriiii.. Sriii..."
Sri mendesah berat. Penuh beban pikiran di hatinya. Tapi hanya bisa pasrah demi janji bapaknya dulu. Mungkin sudah suratan takdir ia harus memenuhi janji itu. Menikah dengan lelaki asing yang belum tahu watak dan karakternya.