Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang mengakar
Mika duduk sendirian di pojok taman sekolah, memeluk buku harian yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tubuh gemuknya terbungkus seragam yang tampak ketat di bagian pinggang, dan rambutnya yang kusut tergerai tanpa ikatan rapi. Suasana di sekitar terasa hangat, tapi tidak ada yang mendekatinya. Mika sudah terbiasa dengan kesendirian. Bagi teman-teman sekelasnya, dia hanyalah objek ejekan.
Hari ini, Mika kembali menjadi korban kekejaman geng Dara. Terdiri dari Dara—sang pemimpin dengan senyuman licik—dan dua pengikut setianya, Nisa dan Farah, mereka adalah trio sempurna yang selalu tampil anggun namun penuh kebencian. Dara selalu menemukan cara untuk menghancurkan harga diri Mika. Nisa, dengan rambut lurus panjangnya, senang melontarkan sindiran tajam, sementara Farah sering terlibat dalam aksi-aksi keji dengan ekspresi tanpa rasa bersalah.
“Eh, Mika! Kamu mau ke kantin? Tapi… yakin masih muat lewat pintu itu?” ejek Nisa sambil tertawa terbahak-bahak.
Farah menimpali, “Kasihan banget, pasti kursinya di rumah banyak yang patah, ya?”
Tawa mereka menggema, menarik perhatian siswa-siswi lain yang melintas. Mika hanya menunduk, menahan air mata dan rasa malu.
Puncak penghinaan terjadi di suatu siang ketika Dara menemukan sesuatu yang paling berharga bagi Mika: sebuah surat cinta yang ia tulis untuk Antony, cowok paling populer di sekolah. Mika sudah lama menyukai Antony secara diam-diam, mengagumi senyumnya yang tulus dan sikapnya yang ramah. Sayangnya, dia tahu bahwa Antony tak akan pernah memandangnya.
Namun, harapan kecil itu hancur berkeping-keping saat Dara, Nisa, dan Farah menemukan surat itu di dalam tasnya saat jam istirahat. Mereka menarik Mika ke lorong sekolah, jauh dari pandangan guru, dan merampas suratnya. Mika memohon agar mereka mengembalikannya, tapi Dara hanya tersenyum penuh kemenangan.
“Lihat nih, Nisa. Ternyata si Mika suka sama Antony!” Dara memamerkan surat itu dengan mata berkilat-kilat penuh kesenangan.
“Astaga, kamu serius suka sama Antony? Dia bahkan nggak tahu kamu ada!” Farah tertawa sinis sambil melirik Mika dengan tatapan meremehkan.
Mika merasa seperti terhimpit. Tubuhnya bergetar, ingin menangis, tapi air matanya terasa tertahan di tenggorokan. Ia tahu Dara dan gengnya tak akan pernah melepaskannya begitu saja.
Keesokan harinya, Dara memutuskan untuk membuat hari itu menjadi kenangan yang tak akan dilupakan Mika seumur hidup. Saat jam olahraga berakhir dan seluruh sekolah berkumpul di lapangan, Dara naik ke atas panggung kecil di sudut lapangan dengan surat di tangannya.
“Teman-teman, hari ini kita punya hiburan spesial!” Dara berseru di depan mikrofon, menarik perhatian semua siswa. Mika yang berdiri di pinggir lapangan mendadak merasa tubuhnya lemas.
“Ada yang tahu kalau Mika kita yang manis ini ternyata punya cinta rahasia?” suara Dara bergema, dan semua mata tertuju pada Mika.
Jantung Mika berdegup kencang, ia berusaha mundur perlahan, tapi Nisa dan Farah sudah berdiri di belakangnya, mencegahnya kabur. Dara membuka surat cinta itu dengan penuh drama dan mulai membacakannya lantang.
“Dear Antony, setiap kali aku melihatmu, rasanya seperti dunia berhenti sejenak...” Dara menirukan suara lembut penuh kepalsuan, diiringi tawa penonton.
“Aku tahu kamu mungkin tidak akan pernah memperhatikanku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu.”
Gelak tawa pecah di seluruh lapangan. Mika berdiri mematung, seolah tubuhnya tak lagi miliknya. Ia hanya bisa menatap Antony yang berada di tengah kerumunan, melihat senyum yang perlahan memudar dari wajah cowok itu saat dia sadar apa yang terjadi.
“Mika... ini beneran kamu?” Antony bertanya, setengah bingung dan setengah jijik.
Mika ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa dia tidak pernah bermaksud surat itu terbaca oleh siapa pun. Tapi suara Dara lebih cepat.
“Ya, Antony. Bayangin aja, Mika beneran mikir dia punya kesempatan sama kamu!” Dara tertawa keras, diikuti oleh Nisa dan Farah.
Saat itu, dunia Mika runtuh. Rasanya seperti seluruh sekolah bersatu untuk menertawakannya. Setiap tawa terdengar seperti pisau yang menusuk hatinya. Mika berlari meninggalkan lapangan, air matanya mengalir deras, tapi suara ejekan itu terus membuntutinya.
Ia bersembunyi di toilet perempuan, duduk di lantai dingin dengan tubuh berguncang. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran gelap. “Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku harus terlahir sebagai diriku?” Mika memukul-mukul dadanya sendiri, berharap rasa sakit di dalam hatinya bisa lenyap.
***
Mika berdiri di depan cermin kamar tidurnya. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena bobotnya, tapi juga beban ejekan dan rasa malu yang terus menghantuinya. Ia menatap bayangannya—gadis dengan pipi tembam, tubuh gemuk, dan kulit wajah yang dipenuhi jerawat. Mata kecilnya tampak sayu di balik bingkai kacamata yang sudah sedikit usang. Rambutnya yang berantakan membuatnya semakin terlihat kusam.
Mika memegang perutnya, meremas lemak yang bergelambir di sana dengan penuh benci. “Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku nggak bisa cantik seperti Dara dan teman-temannya?” bisiknya pada diri sendiri. Ia menggigit bibir hingga terasa perih, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar.
Rasa jijik yang ia rasakan pada dirinya sendiri semakin menguat. Setiap ejekan dari geng Dara seolah berputar kembali dalam pikirannya. Kata-kata mereka seperti cermin lain yang memantulkan segala kekurangan dirinya—bukan hanya tubuh, tapi juga harga diri yang semakin rapuh.
Malam itu, Mika memutuskan sesuatu. Besok aku akan datang lebih pagi. Aku nggak mau ketemu mereka lagi. Ia berharap dengan menghindari Dara, Nisa, dan Farah, setidaknya bisa mengurangi rasa sakit yang harus ia tanggung setiap hari.
***
Keesokan Paginya
Mika bangun lebih awal dari biasanya. Mata sembabnya belum sepenuhnya pulih, tapi dia tak peduli. Ia mengambil tas sekolah dan bergegas keluar rumah. Jalanan masih sepi, langit berwarna abu-abu muda, menandakan matahari baru saja muncul dari peraduannya.
Sesampainya di sekolah, Mika merasa sedikit lega. Koridor-koridor masih kosong. Tidak ada Dara dan gengnya. Tidak ada tawa mengejek. Tidak ada tatapan merendahkan. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah udara pagi itu memberinya sedikit kekuatan untuk bertahan sehari lagi.
Namun, harapan Mika hancur seketika ketika ia memasuki ruang kelas. Di mejanya, ia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya serasa berhenti.
Sebuah poster besar terpampang di papan tulis, menampilkan foto Mika yang diambil secara diam-diam saat dia duduk sendiri di taman sekolah. Di foto itu, dia sedang makan roti dengan ekspresi canggung, dan di bagian bawah poster tertulis besar-besar:
“Kontestan Lomba Makan Terbanyak: Mika vs Kuda Nil, Siapa Menang?”
mampir juga dikaryaku ya kak jika berkenan/Smile//Pray/