Evan Dinata Dan Anggita sudah menikah satu tahun. Sesuai kesepakatan mereka akan bercerai jika kakek Martin kakek dari Evan meninggal. Kakek Martin masih hidup, Evan sudah tidak sabar untuk menjemput kebahagiaan dengan wanita lain.
Tidak ingin anaknya menjadi penghambat kebahagiaan suaminya akhirnya Anggita
rela mengorbankan anak dalam kandungan demi kebahagiaan suaminya dengan wanita lain. Anggita, wanita cantik itu melakukan hal itu dengan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda manik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Marah
Sinar matahari yang masuk ke dalam kamar lewat celah jendela tidak membuat Anggita terbangun. Menangis semalaman memikirkan nasib pernikahannya membuat Anggita tertidur setelah larut malam. Anggita masih betah dalam tidurnya yang sedang bermimpi.
Dalam mimpi itu, Anggita sedang menikmati keindahan alam dengan beberapa anak kecil. Anggita dan anak anak itu saling berpegangan tangan membentuk lingkaran di sebuah taman. Dari mulut mereka terdengar suara nyanyian yang indah. Ketika mereka hampir menyelesaikan nyanyian itu seorang dari anak kecil itu melepaskan tangannya dari tangan Anggita dan berlari menjauhi Anggita dan yang lainnya.
Anggita melepaskan tangannya dari anak yang memegang tangan kirinya. Anggita berlari mengejar dan berteriak meminta anak itu untuk berhenti. Anggita merasakan kelelahan dan akhirnya terjatuh.
Saat itulah Anggita terbangun. Dia terkejut melihat hari sudah terang.
"Bodoh. Bodoh," gumam Anggita sambil memukul kepalanya.
Anggita menyadari jika dirinya bangun terlambat seperti ini membuat dirinya merasa lalai dalam menjalankan kewajiban sebagai istri. Tadi malam dia sudah menolak bercerai. Tapi pagi ini dirinya sudah menunjukkan kelalaiannya.
Anggita berjalan cepat keluar dari kamar untuk memastikan jika suaminya sudah berangkat ke kantor. Dia menaikkan tangga menuju kamar mereka dengan mengabaikan rasa mual dari mulutnya.
Dirinya menarik nafas panjang ketika melihat di kamar itu tidak ada lagi mahkluk yang dia sebut sebagai suami. Dengan lesu, Anggita kembali menuruni tangga. Dia menuju ruang makan untuk mengambil air putih hangat sebagai pertolongan pertama untuk mengatasi rasa mual yang semakin menjadi jadi itu.
"Dasar cengeng."
Anggita hampir menjatuhkan gelas di tangannya mendengar suara bernada ejekan itu. Dia melayangkan pandangannya ke arah suara dan benar saja di ujung makan Evan dengan santai sedang memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya. Terlalu fokus dengan tujuannya untuk mengambil air putih hangat membuat Anggita tidak menyadari keberadaan suaminya itu di meja makan.
Anggita tidak dapat menutupi keterkejutan di wajahnya. Biasanya jam seperti ini suaminya itu sudah berada di kantor. Tapi hari ini seakan hari libur. Pria tampan itu terlihat sangat santai walau sudah mengenakan setelan kerja. Pikiran pikiran buruk menghantui Anggita. Dia takut jika, Evan kembali menyuruhnya untuk menandatangani surat perceraian.
"Jangan tunjukkan muka sembab mu itu di hadapanku. Sekalipun kamu menangis tujuh hari tujuh malam. Seperti perkataan aku tadi malam, setelah pemakaman kakek semuanya sudah berakhir."
Anggita meraba matanya yang bengkak. Perkataan suaminya kembali menyakiti hatinya sangat dalam.
"Aku mengerti mas. Hari Minggu, kakek menyuruh kita ke rumahnya," kata Anggita setelah bersusah payah menyembunyikan rasa mual itu. Selagi suaminya mengucapkan kata kakek. Anggita mengingatkan tentang permintaan sang kakek.
"Pergilah sendiri."
"Apakah aku harus mengatakan alasan yang sama jika kakek bertanya mengapa kamu tidak ikut?.
"Terserah."
Anggita menarik nafas panjang. Entah sampai kapan Evan terus bersikap memusuhi kepada kakeknya. Sejak mereka menikah. Evan tidak pernah lagi bersedia bertemu dengan kakek Martin.
"Aku mohon mas. Temui kakek Martin. Dia kakek kandungmu. Dan tidak berumur lama lagi."
Suara Anggita melemah di ujung kalimatnya. Dia tidak tega untuk mengucapkan kalimat terakhir itu apalagi membayangkan kakek Martin meninggal.
Anggita menundukkan kepalanya melihat tatapan tajam suaminya. Kata katanya untuk menyadarkan Evan tapi perkataan itu seperti suatu kesalahan besar yang akan mendapatkan hukuman.
"Jangan terlalu ikut campur dengan diriku."
Perkataan itu penuh penekanan dengan wajah yang memerah karena marah. Lewat ekor matanya. Anggita dapat melihat Evan beranjak dari duduknya tetapi kemudian menghentakkan bangku dengan kasar.
Pria itu berlalu dari ruang tamu tanpa pamit sebagai mana suami istri pada umumnya. Tapi itu sudah merupakan hal biasa bagi diri Anggita.
Setelah Evan pergi dari rumah. Anggita juga bersiap siap untuk berangkat ke kafenya.
"Gita, apa yang terjadi. Kamu ada masalah?" tanya Nia sahabat Anggita yang menjadi orang kepercayaannya di kafe itu. Siapapun bisa melihat mata Anggita yang bengkak walau sudah dipoles.
"Apa aku terlihat seperti orang yang dalam masalah?" tanya Anggita balik dengan wajah yang sudah tersenyum. Senyum yang menutupi luka hatinya.
"Iya, aku sudah memperhatikan kamu sejak turun dari mobil. Wajahmu mendung seperti langit yang akan menumpahkan air hujan."
"Tapi sayangnya kamu salah friend. Mendung tidak selamanya mendatangkan hujan."
"Jangan berbohong Gita. Kamu pasti menangis semalaman makanya matamu bengkak kan?.
"Bukan. Mataku bengkak karena kebanyakan menonton video di ponsel."
"Mulutmu bisa berbohong Gita tapi tidak dengan matamu. Jika kamu butuhkan teman curhat. Aku selalu ada untuk kamu," kata Nia akhirnya. Dia bisa melihat kesedihan sahabatnya. Tapi Nia tidak ingin memaksa Anggita untuk bercerita.
"Terima kasih Nia. Aku ke ruangan dulu," kata Anggita dengan senyum yang masih dipaksakan.
"Masuklah ke kamar pribadimu. Jika kamu kurang tidur tadi malam. Sebaiknya kamu beristirahat. Tentang kafe kamu tidak perlu khawatir."
Anggita hanya menepuk lengan sahabatnya. Sebenarnya dia terharu dengan perhatian sahabatnya. Tapi untuk menghilangkannya kesedihan, Anggita berpikir dirinya harus sibuk dengan pekerjaan.
Satu harian Anggita benar benar memusatkan perhatiannya terhadap hal hal tentang pelayanan dan kualitas kafenya. Tapi di sore hari setelah jam kerja usai, Anggita justru berpikir untuk menginap saja di Kafe. Mengingat nama suaminya saja membuat hatinya sakit apalagi melihat wajahnya. Itulah sebabnya Anggita untuk menghindar sementara waktu dari Evan.
Tapi apa yang ada di pikirannya tidak sejalan dengan kenyataan. Ketika Anggita keluar dari kafe hendak berbelanja ke supermarket, mobil suaminya tiba tiba berhenti di hadapannya.
"Masuk." Suara dari pria dingin itu terdengar setelah kaca mobil terbuka.
"Apa mas sengaja menjemput aku?" tanya Anggita senang. Rasa sakit yang ditorehkan oleh Evan selama itu terlupa dengan keberadaan Evan yang menjemputnya untuk pertama kalinya setelah mereka menikah.
"Buka pintunya dan masuk." Evan berkata dengan tatapan lurus tapi bukan kepada Anggita.
Dengan wajah yang berseri, Anggita membuka pintu mobil dan masuk. Dia melupakan niatnya yang akan menginap di Kafe.
"Terima kasih mas," kata Anggita senang setelah duduk di dalam mobil.
"Jangan senang dulu. Aku hanya kebetulan lewat. Aku hanya berpikir. Orang lain saja dikasih tumpangan apalagi dengan wanita yang melemparkan tubuhnya ke atas ranjang aku."
"Serendah itu kamu menilai aku mas?. Aku istrimu bukan wanita murahan."
Anggita tidak jadi memasang sabuk pengaman yang sudah dia pegang. Dadanya sangat sesak mengetahui jika Evan menilai dirinya serendah itu. Bukan hanya kembali sakit hati, Anggita juga merasa malu karena terlampau senang.
Evan tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Anggita. Pria itu hanya tertawa sinis.
"Maaf mas, aku tidak jadi ikut mobil kamu Sebenarnya tadi aku berencana menginap di kafe karena ada pekerjaan yang belum siap aku kerjakan. Mohon ijin kamu."
"Keluarlah."
"Mohon ijin kamu mas."
"Menginap lah selama yang kamu mau. Jika perlu tidak perlu kembali ke rumah."
Evan kembali menancapkan pisau di hati Anggita. Anggita yang juga terpancing emosi akhirnya membuka pintu itu dan menutupnya dengan kasar.
Setelah pintu mobil tertutup. Mobil itu melesat dengan kencang. Bahkan Anggita dapat melihat mobil itu menyalib beberapa kendaraan lainnya.
"Jika itu keinginan kamu mas. Maka lihat saja. Aku tidak akan menjatuhkan harga diriku lagi untuk mempertahankan rumah tangga ini," kata Anggita pelan dengan tangan yang terkepal. Rasa sakit hatinya sudah bercampur dengan amarah. Seakan air matanya sudah habis, mata Anggita memerah karena marah.
tapi di ending bikin Sad
senggol dong
tapi mengemis no.