Ketabahan Arini benar-benar diuji. Selama 6 tahun menikah, Arini tidak juga dikaruniai seorang anak dalam rumah tangganya bersama Dodi Permana. Hinaan, caci maki dan perlakuan tidak adil selalu ia dapatkan dari Ibu mertuanya.
Namun, Arini tetap tabah dan sabar menghadapi semuanya. Hingga sebuah badai besar kembali menerpa biduk rumah tangganya. Dodi Permana, suami yang sangat dicintainya berselingkuh dengan seorang wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Babysitter-nya sendiri.
🚫 Warning! Cerita ini hanya untuk Pembaca yang memiliki kesabaran tingkat dewa, sama seperti tokoh utamanya. Cerita ini memiliki alur cerita ikan terbang yang bisa membuat kalian kesal 💢 marah 💥 dan mencaci maki 💨😅 Oleh sebab itu, jika kalian tidak sanggup, lebih baik di skip saja tanpa meninggalkan hujatan buat othor, yeee ...
❤ Terima kasih ❤
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aysha Siti Akmal Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Apapun yang dikatakan oleh Ibu, dengarkan saja. Tidak usah ditanggapi, ya!" ucap Dodi sembari melabuhkan ciuman hangat di puncak kepala Arini.
"Ya, Mas. Tentu saja," jawab Arini seraya tersenyum hangat kepada suaminya itu.
Dodi bergegas melangkahkan kakinya keluar dari kamar bersama Arini yang mengikutinya dari belakang. Ketika melewati ruang depan, Dodi dan Arini sempat berpapasan dengan Bu Nining yang baru saja selesai menyiram tanaman kesayangannya.
Bu Nining menekuk wajahnya sambil membuang muka ketika bertatap mata dengan Arini. Rasa kesalnya kepada menantunya itu sudah berada di puncak ubun-ubun. Sedangkan Arini, sesakit apapun hatinya saat itu. Ia tetap mencoba menyunggingkan senyuman hangat untuk Bu Nining. Wanita yang sudah ia anggap sebagai seperti Ibunya kandungnya sendiri.
Dodi mengelus tangan Arini yang sedang memeluk lengannya. Ia menatap wanita itu sambil berucap. "Sabar ya, Sayang."
Arini tersenyum. "Mas, tenang saja. Aku baik-baik saja, kok."
Setibanya di depan rumah mereka. Dodi segera menghampiri mobilnya yang sudah siap untuk dikemudikan menuju sebuah perusahaan, di mana ia bekerja sebagai seorang Manager Personalia.
"Mas Dodi," ucap Arini sebelum Dodi memasuki mobilnya.
"Ya?" Dodi berbalik kemudian kembali menatap Arini yang kini tengah menatapnya dengan wajah sendu.
"Ada apa, Sayang?" tanya Dodi heran.
"Hari ini 'kan Mas Dodi gajian. Bolehkah aku minta sedikit dari uang itu untuk membeli baju baru? Bajuku yang lama retsletingnya sudah rusak, Mas. Boleh, ya?" kata Arini dengan wajah memelas, berharap Dodi bersedia mengabulkan permintaannya.
"Ya, ambillah. Nanti bilang sama Ibu bahwa kamu sudah meminta izin padaku," sahut Dodi sambil membelai pipi Arini.
Mata Arini tampak berkaca-kaca. Ia sangat senang karena Dodi bersedia mengizinkannya membeli baju baru. "Terima kasih, Mas."
"Ya, sudah. Mas berangkat dulu, ya!" sambung Dodi yang kemudian segera masuk ke dalam mobilnya. Lelaki itu melambaikan tangannya kepada Arini, sebelum ia melesat pergi bersama kendaraan beroda empat tersebut.
"Dah, Mas! Hati-hati di jalan, ya!" ucap Arini dengan setengah berteriak sambil melambaikan tangannya kepada Dodi yang sudah keluar dari pekarangan rumah mereka.
Bu Nining mencebikkan bibirnya melihat aksi Arini saat itu. Ia memperhatikan gerak-gerik menantunya itu dari balik tirai kaca rumah mereka.
"Heh, apa dia tidak malu menampakkan wajahnya ke tetangga-tetangga sebelah rumah? Menikah selama enam tahun tidak juga hamil. Coba lihat menantu para tetangga sebelah, baru nikah beberapa bulan aja mereka sudah hamil," gerutu Bu Nining.
Arini tersenyum semringah sambil melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ia begitu bahagia karena Dodi mengizinkannya membeli baju baru untuk ia kenakan di hari pernikahan salah satu temannya minggu depan.
Selama enam tahun berumah tangga bersama Dodi, Arini tidak pernah sekalipun merengek untuk minta belikan barang keperluannya. Bu Nining selalu mengingatkan dirinya untuk tidak boros dalam menggunakan uang. Bahkan termasuk untuk membeli pakaian serta barang-barang keperluan pribadinya.
Namun, hari ini ia memberanikan diri untuk memintanya karena baju yang biasa ia gunakan untuk kondangan sudah rusak. Lagi pula ia pun malu jika harus mengenakan baju itu-itu lagi. Sampai semua orang pun hapal dengan warna serta model bajunya tersebut.
"Apa kamu tidak malu sama tetangga sebelah rumah, Arini?" ucap Bu Nining ketika Arini melewatinya.
Arini yang tidak menyadari keberadaan Bu Nining di ruang depan, segera menghentikan langkahnya kemudian berbalik menghadap wanita paruh baya tersebut.
"Maksud Ibu apa?" tanya Arini heran dengan alis yang saling bertaut.
"Coba kamu lihat mereka!" Bu Nining menunjuk ke arah rumah yang berdiri kokoh tepat di depan rumah mereka. Terlihat sepasang suami-istri yang sedang asik menemani bayi mungil mereka.
"Usia pernikahan mereka belum ada satu tahun, tetapi mereka sudah mendapatkan momongan. Sedangkan dirimu, heh!" Bu Nining tersenyum sinis menatap Arini.
Arini menghembuskan napas berat. "Arini pun ingin, Bu. Arini sudah berusaha semampu Arini agar bisa hamil. Tapi mau bagaimana lagi? Tuhan belum bersedia memberikan kesempatan kepada Arini untuk menjadi seorang Ibu."
"Halah, banyak alasan! Bilang aja kalau sebenarnya kamu itu memang mandul, benar 'kan? Tidak usah mengelak lagi karena buktinya sudah nyata. Coba lihat mendiang paman dan bibimu di desa! Bahkan hingga mereka meninggal pun, mereka tetap tidak memiliki seorang anak," kesal Bu Nining.
Hati Arini terasa tercabik-cabik saat mendengar penghinaan dari Ibu mertuanya itu. Namun, ia tetap mencoba tabah dan menuruti apa kata suaminya. Biarkan Bu Nining berkata apa, hanya cukup dengarkan dan jangan ditanggapi.
"Ya, sudah. Arini permisi dulu ya, Bu. Arini masih ingin beberes kamar," jawab Arini yang kemudian melenggang pergi dari ruangan itu dan membiarkan Bu Nining menggerutu di sana tanpa henti.
"Hhh, amit-amit jabang bayi! Semoga saja Dodi terbuka hatinya dan tidak akan bernasib sama seperti mendiang pamanmu itu," gerutunya dengan setengah berteriak agar suaranya kedengaran hingga ke telinga Arini.
Arini tetap diam dan akhirnya ia tiba di depan kamarnya. Ia masuk ke dalam ruangan dan seperti apa yang diucapkannya kepada Bu Nining, ia pun segera beberes kamarnya yang masih terlihat sedikit berantakan.
Tak terasa, matahari sudah meninggi dan berada tepat di atas kepala dan itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Pekerjaan Arini sudah selesai, wanita itu memilih diam di dalam kamar sambil sesekali memainkan ponselnya.
Tiba-tiba benda pipih itu bergetar, sebuah notifikasi pesan chat masuk ke nomor ponselnya. Arini segera membuka pesan chat yang ternyata dari suaminya, Dodi. Perlahan Arini mulai membaca pesan chat tersebut kemudian tidak lama setelah itu, tersinggung sebuah senyuman hangat yang melengkung di wajahnya.
"Syukurlah," gumamnya.
Di dalam pesan itu Dodi mengatakan bahwa gajinya sudah masuk dan sudah diambil oleh Bu Nining. Dengan hati riang, Arini keluar dari kamarnya. Ia ingin menemui Bu Nining dan meminta jatah yang sudah dijanjikan oleh Dodi kepadanya untuk membeli baju baru.
Ya, selama ini uang gaji Dodi semuanya dipegang dan dikendalikan oleh Bu Nining. Ia beranggapan uang milik Dodi sepenuhnya adalah hak miliknya. Lain halnya jika Dodi dan Arini memiliki anak, maka ia pun akan memberikan hak penuh uang itu kepada Arini.
Arini pun tidak mempermasalahkan hal itu. Ya, walaupun sebenarnya ia agak kesulitan jika ingin membeli barang-barang kebutuhannya. Seperti saat ini, di saat ia ingin membeli pakaian untuknya, ia harus meminta dulu kepada Bu Nining.
Arini mencari keberadaan Bu Nining dan akhirnya ia menemukan wanita paruh baya itu sedang duduk di ruang santai sambil menonton televisi. Wanita itu tampak serius menyaksikan acara yang sedang berlangsung. Wanita itu bahkan sampai tidak menyadari bahwa Arini sedang berada di dekatnya.
"Bu," sapa Arini.
Bu Nining terkejut dan ia segera menoleh kepada Arini. "Ya, ada apa?"
"Ehm, Bu. Sebenarnya aku ...."
...***...
penasaran nih kita /Grin//Grin/