Babysitter-ku Maduku
"Hah, Ibu benar-benar menyesal karena sudah menuruti keinginan mendiang Ayahmu, Dodi. Andai Ibu tahu dia mandul, Ibu pasti menolak perjodohan kalian mentah-mentah! Sudah hidup di desa, miskin, sekolah cuma lulusan SMP, mandul pula! Lengkaplah sudah!" umpat Bu Nining kepada anak dan menantunya pagi-pagi sekali.
Ya, saat itu Bu Nining, Arini dan Dodi baru saja menikmati sarapan pagi mereka. Namun, belum habis makanan itu masuk ke dalam perut mereka, tiba-tiba sebuah pesan chat ke nomor ponsel milik Bu Nining yang mengatakan bahwa salah satu anak teman arisannya baru saja melahirkan.
Mendapatkan kabar itu, Bu Nining kembali meradang. Setiap kali teman-temannya membahas tentang cucu-cucu mereka, Bu Nining hanya bisa tersenyum kecut karena hingga saat ini dirinya belum juga memiliki seorang cucu.
Jika sudah seperti itu, Bu Nining tidak akan segan-segan melampiaskan kemarahannya dengan mencaci maki Arini. Wanita yang sudah menjadi menantunya selama 6 tahun belakangan ini, tetapi belum juga memberikan seorang malaikat kecil untuknya.
"Sudahlah, Bu. Jangan keras-keras, malu kedengaran tetangga-tetangga sebelah," sahut Dodi sambil merangkul pundak Arini yang sejak tadi hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya menghadap lantai.
Hati siapa yang tidak sakit saat berada di posisi Arini. Ia terus dikatakan mandul oleh ibu mertuanya, padahal Dokter saja tidak pernah memvonis dirinya mandul. Dokter bahkan mengatakan bahwa kondisi rahimnya baik-baik saja. Namun, sepertinya Tuhan memang belum bersedia menitipkan seorang malaikat kecil ke dalam rahimnya.
"Biarkan! Biarkan saja para tetangga mendengarnya! Lagi pula semua orang di sini juga sudah tahu bahwa istrimu itu mandul!" sahut Bu Nining dengan bertolak pinggang di hadapan Dodi dan Arini.
"Ehm, sebaiknya aku ke kamar dulu ya, Mas. Ada yang harus aku kerjakan," ucap Arini yang sudah tidak sanggup mendengar ocehan Bu Nining. Ia segera bangkit dari posisi duduknya kemudian berjalan dengan kepala tertunduk menuju kamar.
"Ya, pergilah! Menangislah di sana seperti yang biasa kamu lakukan!" umpat Bu Nining dengan setengah berteriak.
"Bu, sudahlah!" ucap Dodi dengan wajah sendu menatap Bu Nining.
Dodi tidak bisa berbuat apa-apa. Di satu sisi Bu Nining adalah Ibu kandungnya dan di sisi lain ada Arini, wanita yang sudah enam tahun menemaninya dalam suka maupun duka. Dodi tidak bisa memilih salah satu dari wanita itu karena menurutnya baik Bu Nining maupun Arini sama-sama penting baginya.
Arini masuk ke dalam kamarnya kemudian duduk di tepian tempat tidur. Untuk kesekian kalinya ia terisak di sana sambil merenungi nasibnya. Bibir Arini bergetar hebat dan ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Sesekali terlihat Arini menyeka air mata yang terus jatuh dan mengalir dari pelupuk matanya.
"Ya Tuhan, sampai kapan aku harus begini? Mengapa Engkau terus menguji kesabaranku? Aku tahu bahwa Engkau tidak akan menguji hamba-Mu di luar batas kemampuannya, tetapi ...." Arini menghentikan ucapannya. Ia menggigit bibir bawahnya yang terus bergetar hebat tanpa henti.
Tidak jarang Arini berpikir untuk menyerah dengan pernikahannya. Namun, cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dodi kepadanya, membuat Arini sanggup mempertahankan hubungan itu hingga sampai saat ini.
Selain itu, ada yang membuat Arini harus berpikir ulang jika ingin menyerah pada pernikahannya. Ya, seperti yang selalu dikatakan oleh ibu mertuanya, Arini hanya seorang gadis kampung yang tidak berpendidikan.
Ketika di desa, ia tinggal bersama paman dan bibinya yang kini sudah menjadi almarhum dan almarhumah. Kemiskinan yang mendera kehidupan mereka, membuat Arini hanya bisa mengenyam pendidikan hingga di bangku Sekolah Menengah Pertama saja.
Jika ia memilih menyerah, itu artinya ia harus siap hidup luntang-lantung sendirian karena ia sudah tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal karena sebuah kecelakaan ketika Arini masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Sedangkan paman dan bibi yang selama ini menggantikan posisi kedua orang tuanya pun sudah meninggal dua tahun yang lalu karena memang faktor usia mereka yang sudah tidak lagi muda.
Mendiang paman dan bibinya tidak memiliki seorang anak dan orang-orang kamupung menyebut salah satu di antara mereka ada yang mandul. Sebab itulah Bu Nining yakin bahwa Arini mandul karena menurun dari mereka.
Di tengah kegalauannya, tiba-tiba Dodi menyusul masuk ke dalam kamar mereka. Tatapan lelaki itu langsung tertuju pada Arini yang masih sesenggukan di tepian tempat tidur. Menyadari bahwa suaminya berada di ruangan itu, Arini segera menyeka air matanya kemudian dengan menyunggingkan sebuah senyuman hangat meski hatinya terasa perih saat itu.
"Mas? Mas hari ini kerja, 'kan?" tanya Arini dengan mata yang masih sembab menatap Dodi.
Dodi menganggukkan kepalanya pelan dan duduk di samping Arini. Ia meraih wajah wanita itu kemudian menyeka air mata yang masih membasahi kedua pipinya yang tampak kemerahan.
"Sayang, maafkan aku," lirih Dodi dengan tatapan sendu menatap Arini. Setelah menyeka air mata istrinya itu, kini Dodi mulai merapikan rambut Arini yang terlihat sedikit berantakan.
"Maaf kenapa, Mas?" tanya Arini dengan alis yang saling bertaut.
"Maafkan aku karena tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku bahkan tidak mampu membelamu ketika Ibu terus menghakimimu," sahut Dodi dengan mata berkaca-kaca. Dodi meraih pundak Arini kemudian memeluknya dengan erat dan melabuhkan ciuman hangatnya di puncak kepala wanita itu berkali-kali.
Arini tersenyum getir. Inilah yang membuat dirinya mampu mempertahankan biduk rumah tangga mereka hingga saat ini. Kasih sayang yang Dodi berikan kepadanya menjadi penyemangat ketika ia harus menghadapi setiap hinaan dan cemoohan yang keluar dari mulut ibu mertuanya.
"Mas, aku boleh minta sesuatu padamu?" tanya Arini sambil mendongak menatap Dodi yang masih memeluk tubuhnya dengan erat. Masih terdengar dengan jelas suara sesenggukan Arini, walaupun air mata wanita itu sudah tidak merembes lagi.
"Apa itu? Katakan saja," sahut Dodi. Lelaki itu melerai pelukannya dan kini menatap kedua iris mata berwarna cokelat terang tersebut dengan lekat.
"Jangan pernah tinggalkan aku ya, Mas. Aku tidak memiliki siapapun lagi saat ini selain dirimu. Hanya kamulah harapanku satu-satunya," lirih Arini. Buliran bening itu kembali menggenang di pelupuk bola mata Arini, tetapi tidak sampai merembes keluar.
"Ya, Arini. Aku berjanji padamu bahwa tidak akan pernah meninggalkanmu hingga maut memisahkan kita berdua," jawab Dodi.
Dodi kembali memeluk tubuh Arini dengan erat. Begitu pula Arini, wanita itu segera membalas pelukan suaminya untuk beberapa saat sebelum ia melerai pelukan mereka.
"Sebaiknya Mas segera bersiap-siap. Nanti Mas terlambat," ucap Arini sambil melemparkan senyuman hangatnya kepada Dodi.
"Ya, kamu benar. Mana hari ini aku ada meeting lagi," jawab Dodi.
Dodi pun segera bersiap-siap, sementara Arini membantu suaminya dengan mempersiapkan tas, sepatu dan lain-lainnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Nina Pudjiastuti
diawal cerita aja udah Bombay.
penasaran nih kita /Grin//Grin/
2024-02-21
0
Marchel
ini yg ke dua kalinya aku bc karya mu thour
2022-11-22
0
Endang Priya
kenapa harus takut hidup sendirian. dari pada bathin tersiksa. selagi masih muda kenapa tidak berani menata hidupnya seorang diri.
alasannya cinta.
2022-08-29
0