Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab- 1
“Ayo cepat! Apakah hidangan untuk meja nomor lima sudah siap?” seru seorang Manajer restoran bernama Pak Toni, pria itu berjalan mondar-mandir untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.
“Sudah siap, Pak!” jawab seorang chef wanita, namanya Luna.
Wanita itu tampak mengangkat piring berisi salmon panggang dengan saus lemon yang menggoda. Semua orang yang bekerja di dapur bisa bernafas dengan lega, karena hidangan terakhir untuk malam ini baru saja selesai.
Restoran tampak lebih ramai dari malam sebelumnya. Luna, yang bertugas sebagai chef utama, harus berdiri di dapur dengan penuh konsentrasi. Memastikan jika para pelanggan bisa mendapatkan masakan terbaiknya.
Hari yang cukup melelahkan, tapi semua terbayar dengan senyuman puas para pelanggan. Luna juga merasa senang bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, setidaknya hari ini ia tidak akan pulang terlambat ke rumah.
Namun, saat ia baru saja hendak membuka Apron masaknya, sang Manajer mendekat dengan senyuman kecil.
“Luna, bisakah meluangkan waktumu sebentar? Ada tamu yang ingin bertemu denganmu.”
“Anda yakin? Tapi, restoran sudah hampir tutup,” Luna menoleh, alisnya terangkat karena merasa sedikit keberatan.
“Tolonglah. Untuk kali ini saja, mereka adalah tamu terhormat di restoran ini.”
Luna melirik ke arah arloji yang melingkar di tangan kirinya. Sepertinya masih ada sedikit waktu, lagipula dia tidak bisa menolak permintaan seorang tamu yang ingin bertemu langsung dengan seorang chef. Dengan langkah mantap, ia mulai keluar dari dapur untuk bertemu dengan tamu tersebut.
Sesampainya disana, Luna melihat seorang pria paruh baya yang tengah duduk bersama dengan istrinya, mereka tersenyum dengan hangat.
“Saya sering datang ke restoran ini,” ucap sang pria dengan ramah. “Tapi malam ini, masakan Anda benar-benar sangat lezat.”
“Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami. Terimakasih karena telah memberikan hidangan yang terbaik,” tambah si wanita tak kalah ramah.
Luna tersenyum, merasa sangat senang mendapatkan pujian seperti itu. Segala lelah dan jerih payahnya terbayar saat seorang pelanggan begitu puas dengan masakannya. “Terima kasih banyak, Anda terlalu memuji.”
Si wanita kemudian tampak mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah tua, lalu menyerahkannya pada Luna. “Ini hanya hadiah kecil, tolong diterima.”
Awalnya Luna merasa tidak enak harus menerima sebuah hadiah dari seseorang yang tak dikenalnya. Tapi, karena keduanya memaksa, akhirnya Luna menerima hadiah tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih. Percakapan ketiganya memakan waktu yang cukup lama. Hingga membuat Luna tanpa sadar telah melewatkan sesuatu yang penting di dalam hidupnya.
Janji untuk makan malam dengan seseorang!
Luna baru saja sampai di rumah, membuka pintu dengan penuh semangat saat dirinya menemukan seseorang yang duduk di kegelapan. Tangannya terulur untuk menyalakan lampu, dan tampaklah sosok tersebut yang diyakini adalah sang suami, David.
Pria itu duduk dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apapun kepada Luna yang baru saja pulang bekerja. Di meja makan, telah tersedia berbagai macam makanan yang sepertinya sudah mendingin.
Luna tahu jika dirinya baru saja membuat satu kesalahan lagi. Dengan sigap, ia langsung meletakkan tas nya di atas kursi lalu mengambil beberapa piring yang masih berisi makanan.
“Kita bisa memakannya setelah aku menghangatkan ini,” ucap Luna merasa sangat bersalah.
Saat Luna hendak melangkah menuju dapur, David menahan tangannya. Membuat Luna harus menoleh, tatapan keduanya bertemu, tatapan yang begitu dingin seperti biasanya.
“Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kita,” ucap David dengan senyuman pahitnya. “Tapi sepertinya, hanya aku yang merasa begitu antusias untuk merayakannya.”
“David, aku tidak bermaksud untuk bersikap seperti ini. Tadi aku harus menemui seorang tamu yang begitu memuji akan masakanku.”
“Masakanmu, ya?” Lagi-lagi David tersenyum seolah meremehkan ucapan istrinya. “Bisakah kamu satu kali saja tidak bersikap egois dan memikirkan perasaan keluargamu?”
“Sekarang apalagi salahku?” tatap Luna meminta penjelasan.
“Kamu terlalu mementingkan pekerjaan, daripada keluargamu sendiri!” David meninggikan suaranya.
“Kita sudah membahasnya berulang kali, David. Ini pekerjaanku, karirku. Suatu hal yang aku perjuangkan sejak dulu,” ucap Luna, berharap jika David mau mengerti.
“Jadi, kamu sama sekali tidak ada niat untuk memperjuangkan keluarga kita? Apakah sebuah karir terasa begitu penting diatas segalanya bagimu?”
Luna memalingkan wajahnya, matanya mulai berair setiap kali berdebat dengan David. “Aku akan menghangatkan makanan sebentar.”
“Tidak perlu!” ucap David dengan suara yang keras. Tangan kekar David menyambar piring itu dan melemparkannya ke lantai dengan kasar.
PRANG!
Suara pecahan keramik menggema memenuhi ruangan. Luna diam membeku di tempatnya, berpikir kenapa David bisa semarah ini padanya. Makanan yang tadinya menggugah selera itu kini berhamburan di atas kakinya.
Hening di antara keduanya, hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar. David menatap ke arah lantai, melihat dengan kekacauan yang baru saja diperbuatnya. Luna masih berdiri disana dengan tatapan penuh luka, tapi sama sekali tak bisa melunakkan hati David yang telah mengeras seperti batu.
“Aku sudah memutuskan,” David berucap, tapi matanya enggan untuk menatap ke arah Luna. “Aku akan kembali ke rumah orang tuaku bersama dengan anak-anak. ku beri kau waktu satu Minggu untuk memikirkannya.”
Hanya itu. Tidak ada permintaan maaf maupun kata menyesal keluar dari mulutnya, justru hanya sebuah pernyataan kosong yang sangat mengejutkan.
“Kenapa kau tidak membicarakannya terlebih dulu denganku?” Luna tak bisa menahan tangisnya lagi. “Ini bukan hanya tentang dirimu, pekerjaanku dipertaruhkan di sini.”
“Asal kamu tahu, Luna. Kamu telah melukaiku setiap kali membahas hal seperti itu,” David melangkah untuk naik ke lantai dua rumah mereka. “Dan aku tak pernah memaksamu untuk ikut denganku.”
Luna baru sadar jika pertengkaran mereka selalu menyangkut hal yang sama, yaitu pekerjaan. David berubah menjadi pria yang kasar setelah ia diberhentikan dari pekerjaanya, tapi Luna tak terlalu mempermasalahkan hal itu.
David juga selalu merasa hidup terhina hanya karena mengandalkan kerja keras istrinya saja. Pria itu telah mencoba mencari pekerjaan lain, tapi gagal. Membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan tersinggung, terutama mengenai pencapaian besar yang diraih oleh Luna.
Dengan langkah gontai, Luna menaiki beberapa anak tangga dengan berat. Saat ia membuka pintu kamar, David tak ada disana. Sudah bisa dipastikan jika pria itu tidur di kamar anak-anak untuk menghindarinya. Luna menyandarkan tubuhnya di pintu kamar, berpikir kapan cobaan ini akan berakhir.
****
Beberapa hari kemudian, setelah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Luna akhirnya bertemu dengan sang pemilik restoran untuk secara resmi memberikan surat pengunduran diri.
“Apa yang terjadi? Karirmu sedang berada di puncak saat ini, lalu untuk apa kamu mengajukan surat pengunduran diri?” ucap seorang pria yang sudah 5 tahun ini menjadi atasannya tersebut.
“Maaf sebelumnya, Pak. Tapi ini hanya tentang masalah keluarga,” jawab Luna dengan tenang.
Pria yang bernama Pak Darma itu menghela nafas pelan. Ia berpikir hal ini pasti menyangkut tentang suami Luna. Padahal Pak Darma sempat menawarkan pekerjaan pada pria itu tapi ditolak, karena merasa tak mau bekerja dengan posisi di bawah istrinya.
“Baiklah, kuhargai setiap keputusanmu dengan baik,” ucapnya dengan berat hati. “Tapi ingat, jika kami selalu membuka pintu jika kau ingin kembali.”
“Terima kasih banyak, Pak,” Luna membungkuk, memberikan penghormatan terakhir untuk sang atasan.
Luna keluar dari ruangan Pak Darma. Saat melewati area dapur, Luna menghentikan langkah dan menatap ke arah beberapa macam alat disana. Sejenak ia berpikir pasti akan sangat merindukan semua ini, aroma makanan, suara riuh rekan kerjanya, juga senyum puas para tamu yang sering memuji akan kelezatan masakannya.
Para rekan kerja juga mendekat untuk memberikan ucapan selamat tinggal pada Luna, mereka sangat senang pernah ada dibawah pengarahan chef hebat seperti dirinya. Sedikit acara kecil yang disiapkan untuk Luna membuat wanita itu merasa terharu.
Pak Toni, sang Manajer mendekat. Pria itu menepuk pundak Luna dan mengatakan, “Dimanapun kamu berada, jangan pernah melupakan bakat hebat itu.”
Luna tersenyum, sangat menghargai ucapan rekannya itu. “Aku akan selalu mengingatnya.”
****
Luna tengah berada di kamar, memeriksa beberapa macam barang yang akan mereka bawa. Hari ini adalah terakhir kalinya mereka tinggal di rumah ini. Bukan hal yang mudah meninggalkan rumah yang sudah susah payah ia beli dan tiba-tiba harus pindah ke sebuah kota kecil, tempat David dibesarkan. Tapi, Luna harus menerimanya. Berharap jika keputusan ini bisa menyelamatkan rumah tangganya.
Suara gelak tawa terdengar dari kamar anak-anak. Luna melangkah untuk memeriksanya, dan menemukan si bungsu, Siena, tengah duduk di atas lantai bermain bersama bonekanya. Sedangkan si sulung, Sarah, lebih memilih membaca buku di atas ranjang.
“Sayang, kalian sedang apa?” tanya Luna antusias.
Siena menjawab dengan senyum ceria, bocah berusia 6 tahun itu memang dikenal berhati lembut dan penuh semangat. “Aku sedang bersiap, Ibu! Semua bonekaku juga akan ikut pindah, kan?”
“Tidak semua, sayang. Boneka Siena kan sangat banyak,” Luna mengusap kepala putri bungsunya, mencoba memberi pengertian.
“Tapi aku mau semua buku milikku dibawa kesana!” ucap Sarah dengan dingin. Si sulung yang berusia 8 tahun itu memang dikenal pendiam dan jarang tersenyum.
Luna terdiam, ia seolah merasa asing dengan putri sulungnya tersebut. Ucapannya begitu formal, seolah tengah berbicara dengan orang lain, bukan dengan Ibu kandungnya. Akhirnya Luna mengangguk, ia mengeluarkan dua buah liontin yang sangat cantik dan menyerahkannya pada Sarah dan Siena. “Ada hadiah kecil untuk putri Ibu yang cantik.”
“Terima kasih, Ibu! Ini sangat cantik,” seru Siena sangat gembira.
Berbeda dengan Sarah, ia hanya diam membeku tanpa memberikan ekspresi apapun. David yang melihat hal itu langsung merebut liontin tersebut dari tangan anak-anaknya. “Sarah, Siena, lepaskan!”
“David! Apa yang kamu lakukan?” Luna tak terima dengan sikap kasar suaminya itu.
“Kita akan hidup sederhana di sana,” jawab David dengan tegas. “Liontin mahal seperti ini akan tampak sangat mencolok di kota kecil tempat tinggal kita nantinya.”
“Jika tak boleh dipakai, maka aku mau anak-anak untuk menyimpannya!” ucap Luna tak kalah tegas.
David mendengus kesal dengan sikap Luna, berpikir kenapa wanita itu sangat sulit untuk diatur. Apakah karena ia merasa telah memiliki segalanya, termasuk rumah ini juga.
Beberapa jam kemudian mereka semua telah berada di dalam kereta. Siena duduk didekat jendela, menatap pemandangan di luar sana dengan antusias. Sedangkan Sarah hanya duduk diam dengan buku di tangannya.
Ayah mereka, David, duduk tepat di sebelah mereka. Memberikan senyuman ke arah dua putrinya, namun ekspresi itu berubah saat Luna datang sambil membawa satu buah tas kecil di tangan. Ia masih tersenyum saat menatap ke arah keluarga kecilnya, tapi semua berubah saat matanya menatap ke arah kursi yang seharusnya menjadi tempat duduknya.
Di sana, tampak seorang wanita paruh baya yang telah duduk dengan sangat nyaman. Membuat Luna menoleh ke arah David, mencari jawaban dari sang suami.
“Carilah tempat duduk yang lain, kasihan Ibu ini jika harus berjalan terlalu jauh ke gerbong selanjutnya,” ucapnya datar tanpa rasa bersalah.
Melihat tidak adanya pergerakan dari wanita itu, membuat Luna sadar jika sepertinya David memang sengaja melakukannya. Dadanya terasa sesak mendapat perlakuan tak menyenangkan itu dari sang suami, tapi Luna hanya menghela nafas dan tak ingin membuat keributan di depan anak-anak.
Pada akhirnya Luna mengalah, membiarkan David melakukan apapun yang disukainya. Dengan canggung Luna mulai melangkah ke belakang, mencari tempat duduk yang kosong. Ia hampir saja putus asa, setiap bangku telah penuh terisi. Hingga sebuah suara terdengar di dekatnya.
“Silahkan duduk di sini, Nona.” ucap seorang pria tinggi yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingnya.
BERSAMBUNG