Seorang gadis muda bernama Alya dikhianati oleh kekasihnya, Raka, dan sahabat dekatnya, Mira, yang menjalin hubungan di belakangnya. Dunia Alya runtuh. Namun, tanpa diduga, dia justru dinikahi oleh Davin, om dari Raka , seorang pria dewasa, mapan, dan berwibawa. Hidup Alya berubah drastis. Dia bukan hanya menjadi istri sah seorang pengusaha kaya, tapi juga tante dari Mira dan mantan pacarnya. Dari situ, kisah balas dendam elegan dan kisah cinta tak terduga pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Hari itu langit mendung. Aluna sedang bermain dengan boneka kelincinya di ruang tengah, tertawa-tawa sambil mencoba menirukan suara kucing. Alya, yang tengah melipat baju di sampingnya, sesekali melirik putrinya dengan senyum hangat. Rumah terasa tenang.
Tiba-tiba, bel rumah berbunyi.
Davin yang sedang membaca di ruang kerja, langsung keluar. “Aku bukakan, sayang.”
Saat pintu dibuka, tubuh Davin seketika membeku.
Di hadapannya berdiri sepasang pria dan wanita paruh baya, berpakaian rapi namun wajah mereka menyiratkan kecanggungan yang luar biasa.
Alya, yang menyusul ke depan karena penasaran, langsung berhenti di ambang pintu ketika melihat siapa yang datang.
Mereka. Mama dan Papa-nya.
Orang yang selama ini menolak pernikahannya. Yang bahkan tidak hadir saat dia menikah, tidak menjenguk saat melahirkan, dan bahkan tak pernah mengucap selamat.
“Ayah... Ibu...?” suara Alya nyaris berbisik.
Ibunya tersenyum tipis, tapi mata itu berkaca-kaca. Ayahnya menunduk dalam diam.
“Kami... kami hanya ingin melihat Aluna,” kata sang ibu dengan suara lirih. “Dan... melihatmu juga, Alya.”
Ruang tamu yang biasanya penuh tawa kini terasa seperti ruang sidang. Alya duduk berseberangan dengan kedua orangtuanya. Davin duduk di sampingnya, memegang tangan Alya erat.
Aluna sedang digendong Tante Melati di kamar, agar suasana tak terlalu kacau.
“Kami tahu kami salah...” ucap ayahnya akhirnya.
“Kami terlalu keras kepala. Kami kecewa pada pilihanmu waktu itu, dan... kami tidak bisa menerima kenyataan bahwa kamu menikah dengan pria yang jauh lebih tua.” ujar ayahnya lagi
Alya menarik napas panjang. “Lalu sekarang, kenapa datang?”
Ibunya menatap Alya, dengan mata yang kini mulai berlinang. “Karena kami mengikuti sosial mediamu. Kami lihat Aluna... dan kamu... bahagia. Sangat bahagia.”
Ayahnya ikut menimpali, “Kami malu, Alya. Tapi kami juga rindu. Kami tidak bisa terus berpura-pura tidak punya anak.”
Alya menunduk. Air mata mengalir pelan di pipinya. “Tahukah kalian rasanya melahirkan tanpa didampingi orangtua? Menjadi ibu baru, takut, bingung, dan tak tahu harus bertanya ke siapa kecuali Davin dan Tante Melati? Kalian di mana waktu itu?”
Ibunya menangis. “Kami salah. Kami terlalu sombong.”
Alya berdiri, dadanya sesak. Ia berjalan menuju kamar, lalu kembali dengan menggendong Aluna.
“Ini anakku. Namanya Aluna. Dia sudah bisa memanggil ‘Mama’.”
Aluna, seolah mengerti suasana yang tegang, justru menatap dua orang asing di hadapannya sambil tersenyum lebar dan berkata, “Mamamama!”
Seketika isak sang nenek pecah. Ia berdiri, mendekat perlahan.
“Apa... boleh aku menggendongnya?” tanyanya dengan suara gemetar.
Alya diam sesaat, lalu menyerahkan Aluna ke pelukan neneknya. Sang ibu menangis sambil menciumi pipi Aluna yang tertawa geli.
Ayahnya berdiri di belakang, menatap Aluna lama. “Dia... mirip kamu waktu bayi.”
Sore itu berubah menjadi senja yang penuh haru. Makan malam disiapkan sederhana oleh Davin dan Tante Melati. Meski masih banyak luka, tapi setidaknya hari ini adalah langkah awal.
Sebelum pulang, ibunya berkata, “Bolehkah kami sering datang? Kami ingin memperbaiki semuanya.”
Alya tidak langsung menjawab. Tapi kali ini, ia tidak menutup pintu.
Malam itu, di ranjang, Davin memeluk Alya yang termenung.
“Kalau kamu butuh waktu, nggak apa-apa,” bisiknya lembut.
Alya menatap ke luar jendela. “Aku tidak tahu bisa sepenuhnya memaafkan mereka atau tidak. Tapi hari ini... aku tidak merasa sendirian lagi.”
Davin mencium keningnya. “Karena kamu memang tidak pernah sendiri, sayang.”
Dan dari kamar seberang, suara Aluna terdengar memanggil, “Mamaaaa!”
Alya tertawa kecil. “Itu, tuh... panggilan dari bos rumah ini.”
...----------------...
Beberapa hari kemudian
Hari itu, Alya baru saja menyelesaikan rapat daring dengan tim sosial dari kantornya. Aluna sedang tidur siang setelah bermain seharian bersama Tante Melati. Davin masih di luar kota mengurus proyek barunya.
Saat itulah pintu rumah diketuk cukup keras.
Alya membuka pintu—dan di sana berdiri seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun, bergaya nyentrik, dengan tas branded menggantung di lengannya dan kacamata besar menutupi setengah wajah. Matanya menatap Alya dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Tante Ratna?” Alya nyaris tak percaya.
“Ya, ini aku, Ratna. Mamanya Rey. Juga kakak ipar dari suamimu yang, entah kenapa, bisa sudi menikahi... kamu.” Ucapannya disertai senyum sinis.
Alya langsung tahu, badai akan datang.
Di ruang tamu, Tante Ratna duduk dengan posisi kakinya disilangkan anggun, meskipun auranya mengintimidasi seperti dosen killer.
“Alya... aku cuma ingin bicara, dari hati ke hati. Kamu tahu ‘kan, kamu itu pernah pacaran dengan Rey, dan sekarang kamu jadi... ya, ibunya, secara hukum.” Dia terkekeh geli.
Alya mengangguk tenang. “Iya. Sudah takdirnya begitu.”
“Dan kamu tahu, Rey itu trauma berat setelah kamu putus dengannya dan langsung nikah sama pamannya sendiri. Kami sebagai keluarga besar juga malu, loh. Jadi om-nya nikung keponakan sendiri?”
Alya tersenyum tipis. “Tante... seingat saya, saya dan Rey putus karena saya ditikung oleh sahabat sendiri. Dan Rey tak pernah menjelaskan apa pun, apalagi meminta maaf.”
Tante Ratna menatapnya dengan ekspresi tak terima. “Mungkin kamu terlalu sensitif waktu itu.”
Alya menegakkan duduknya. “Saya bukan sensitif. Saya sadar harga diri saya bukan mainan. Dan sekarang, saya bahagia dengan suami saya, Davin.”
“Tapi kamu mencoreng nama keluarga, Alya. Kamu bikin Rey tampak... lemah!” suara Tante Ratna mulai meninggi.
Alya menatapnya lekat-lekat. “Maaf, Tante. Tapi kebahagiaan saya bukan dibangun dari air mata Rey. Saya punya anak, keluarga, dan hidup yang saya bangun dengan darah dan air mata sendiri.”
Tante Ratna tertawa sinis. “Kamu pikir kamu sudah menang?”
“Aku tidak sedang berlomba, Tante. Tapi jika ini tentang Rey—dia-lah yang harus belajar dewasa. Dia sudah menikah dengan keegoisannya, bukan aku.”
Tiba-tiba, dari balik kamar, terdengar suara kecil: “Mamaaa!”
Tante Ratna terdiam. Aluna, dengan piyama kelinci, berjalan gontai menuju Alya sambil mengucek matanya.
Alya langsung menggendongnya, lalu menatap Tante Ratna. “Dan inilah hasil dari cinta yang bukan main-main.”
Aluna menatap Tante Ratna dan berkata polos, “Itu nenek galak?”
Alya nyaris tertawa, tapi menahan diri. Tante Ratna langsung berdiri dengan wajah merah padam.
“Kamu ajarkan anakmu bicara kasar?” tanya Tante Ratna marah
“Tidak, Tante. Anak kecil hanya jujur.” jawab Alya
Setelah Tante Ratna pergi dengan langkah menghentak, Alya duduk di sofa sambil mengelus punggung Aluna yang tertawa geli sambil memegangi pipi ibunya.
Tak lama, ponselnya berbunyi.
Davin menelepon.
“Aku dengar Tante Ratna ke rumah?” tanyanya dengan suara waspada.
“Iya. Tapi tenang, dia pulang sendiri dengan luka ego.” jawab Alya
Davin tertawa. “Istriku memang ratu counter attack.”
Alya tersenyum bangga. “ Mas Davin, satu pelajaran hari ini, kebahagiaan kita adalah senjata terbaik untuk membungkam julid.”
Davin menghela napas bahagia di seberang. “Aku pulang besok. Rindu istri cantikku dan anak kecil yang bisa menilai orang galak dari sekali lihat.”
Aluna menirukan suara telepon, “Halo, Papa!”
Suasana rumah kembali hangat. Badai kecil telah lewat, dan Alya berdiri tegak sebagai wanita yang tak goyah oleh masa lalu atau ocehan siapa pun.
Bersambung
kn ksel kl trs ngusik alya sm davin....
raka bnrn tlus atwcma modus????
kya'nya dia pduli sm alya,tkut d skiti ktanya....
aku udh mmpir lg...tp gmes pgn getok kplanya tu orng,gila bgt smp ftnah plus neror sgla sm alya....pdhl kn mreka yg udh jht....