Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.
Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.
Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?
Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERGI SENDIRI
Terbiasa terbangun sebelum subuh membuat Ayra segera terjaga begitu menjelang azan subuh. Punggungnya terasa sedikit kaku karena tidur di sofa semalaman. Ia menarik napas, mencoba mengumpulkan kesadarannya, hingga akhirnya menyadari sesuatu, terdapat selimut tebal membungkus tubuhnya.
Ayra menunduk, meraba kain lembut itu. Ia tidak ingat mengambil selimut sebelum tidur tadi malam.
Tatapannya beralih ke ranjang. Arsal masih tertidur di sana, bergelung dengan selimutnya sendiri. Sejenak Ayra hanya diam, memperhatikan punggung lelaki itu. Meski Arsal bersikap dingin, tetap saja ia masih memikirkan dirinya.
Senyum tipis terbit di bibir Ayra. "Mulai hari ini sepertinya aku harus lebih mencair jika di dekatnya."
Ayra harus mengabaikan prasangka negatif Arsal terhadap dirinya. Untuk sementara, Ayra akan mencoba dekat dengan lelaki itu.
Gadis itu lalu segera menuju lemari dan mengambil baju ganti. Ia harus segera mandi dan sholat subuh. Setelah rutinitas itu ia lakukan, kini ia berdiri di sisi ranjang, menatap sosok Arsal yang masih terlelap. Lelaki itu tampak begitu tenang dalam tidurnya, nafasnya teratur, wajahnya sedikit lebih lembut dibanding saat ia terjaga dengan ekspresi datarnya.
Sebenarnya Ayra ragu, harus membangunkannya atau tidak? Tapi kalau tidak, Arsal bisa terlambat.
Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Arsal dengan hati-hati. "Arsal…" panggilnya pelan.
Arsal hanya bergumam pelan, lalu menarik selimutnya lebih erat.
Ayra menghela napas. Kali ini, ia mencoba mengguncang lengan lelaki itu sedikit lebih kuat. "Arsal, bangun. Udah subuh."
Akhirnya, Arsal mengerjap pelan, sedikit mengerutkan kening sebelum akhirnya membuka mata. Tatapan pertama yang ia dapatkan adalah wajah Ayra yang berjarak begitu dekat dengannya.
Sejenak, keduanya hanya diam.
Arsal masih dalam kondisi setengah sadar, tetapi kesadarannya langsung penuh begitu menyadari betapa dekatnya wajah Ayra. Sementara itu, Ayra justru baru sadar bahwa ia membungkuk terlalu dekat ke arah Arsal.
Tatapan mereka bertemu.
Ayra buru-buru berdiri tegak, berdeham canggung. "Bangun. Udah subuh. Jangan keterusan tidur."
Arsal menghela napas panjang sebelum akhirnya berguling dan duduk di tepian ranjang. Ia mengusap wajahnya, lalu melirik Ayra sekilas dengan mata yang masih berat.
"Baik banget mau bangunin saya," gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
Ayra melipat tangan di dada. "Ya iya. Aku hanya tidak suamiku tidak sholat subuh karena terlambat bangun."
Arsal menoleh, menatap Ayra dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sementara Ayra sendiri baru menyadari apa yang baru saja ia katakan. Suamiku?
Sebelum suasana semakin aneh, Ayra langsung berbalik, pura-pura sibuk merapikan selimut di sofa. "Udah, sana wudhu. Aku mau bikin sarapan." Ia lalu pergi keluar kamar.
Sedangkan Arsal menatap itu dengan datar, namun ia tidak memungkiri bahwa hatinya menghangat.
"Jangan Arsal. Jangan terjebak lagi dengan perasaanmu padanya." Arsal segera pergi ke kamar mandi.
Saat Arsal selesai sholat ia kembali ke kamar mandi untuk mandi. Begitu ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih sedikit mengantuk, ia mencium aroma harum dari dapur. Langkah kakinya melambat, matanya mengarah ke sosok Ayra yang sedang sibuk memasak di sana.
Gadis itu terlihat begitu tenang, sesekali mengaduk sesuatu di wajan sambil bersenandung pelan. Rambutnya ia kuncir kuda, ia terlihat begitu nyaman dalam balutan pakaian rumah.
Arsal bersandar di ambang pintu dapur, menyilangkan tangan di dada. "Sejak kapan bisa kamu masak?" tanyanya dengan nada malas, tapi matanya tetap memperhatikan gerak-gerik Ayra.
Ayra menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada masakannya. "Memangnya aku terlihat seperti orang yang nggak bisa masak?" tanyanya balik dengan nada menggoda.
Arsal mengangkat bahu. "Dulu kamu lebih sering makan di luar."
Ayra tertawa pelan. "Itu dulu. Lagipula aku tidak mungkin membiarkan kamu makan sosis telur terus tiap hari."
"Tidak usah memikirkan saya. Seperti yang saya katakan di awal, bahwa saya tidak akan menuntut kamu untuk melayani segala kebutuhan saya."
Ayra menoleh lagi, kali ini dengan senyum tipis. "Anggap saja aku lupa dengan itu."
Arsal mendecak pelan, namun sebenarnya ia senang dengan sikap Ayra pagi ini yang terlihat begitu manis. Tidak sekaku dan seformal semalam.
"Ayo sini. Kamu harus sarapan."
Arsal lalu berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi, memperhatikan Ayra yang sibuk menata makanan di atas piring.
Tidak butuh waktu lama, Ayra datang membawa dua piring nasi goreng sederhana dan meletakkannya di atas meja. "Makan dulu sebelum kerja."
Arsal menatap piring itu sejenak, lalu menatap Ayra. "Sikapmu aneh. Kamu tidak meracuni saya, kan?"
Ayra mendesah, mengambil sendoknya dan menyuap sedikit nasi goreng dari piringnya sendiri. Ia mengunyah dengan tenang "Harusnya sih, iya. Cuma aku belum siap jadi janda."
"Kamu berniat meracuni saya?"
Ayra memutar bola matanya. Pikiran Arsal memang penuh dengan hal negatif. "Kalau nggak mau makan nggak usah makan. Aku belum sempat naruh racunnya tadi," kata Ayra malas.
Wajah Ayra berubah. Tidak ada raut ramah lagi. Tampaknya gadis itu kesal dengan perkataan Arsal tadi. Akhirnya Arsal menyendokkan nasi goreng itu.
Suasana di meja makan awalnya terasa canggung, tapi tidak semenegangkan malam sebelumnya. Keduanya makan dalam diam, hanya terdengar suara dentingan sendok beradu dengan piring.
Setelah beberapa menit berlalu dan mereka hampir selesai makan, Arsal tiba-tiba berbicara, "Jangan tidur di sofa lagi."
Ayra menghentikan gerakan sendoknya dan menatap Arsal dengan kening berkerut. "Hah?"
Arsal meneguk air putihnya sebelum melanjutkan, "Kamu bisa sakit punggung kalau tidur di sofa terus."
Ayra terdiam. Sejujurnya, sejak awal ia tidak bermaksud tidur di sofa. Itu hanya spontanitas karena ia malas berdebat panjang dengan Arsal.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh," lanjut Arsal, lalu bangkit membawa piringnya ke wastafel. "Saya cuma nggak mau terlihat sebagai suami yang kejam."
Ayra masih belum merespons, hanya diam sambil memainkan sendoknya di atas piring. Ia semakin bingung dengan sikap lelaki itu. Kadang hangat, kadang dingin.
Setelah itu, mereka berdua langsung bersiap-siap berangkat kerja. Arsal tertegun begitu melihat dua pakaian kerjanya sudah rapi di dekat ranjang. Sementara Ayra masih merapikan jilbabnya.
"Aku nggak tahu kamu mau kerja pakai baju yang mana. Jadi aku siapkan dua set baju kerja kamu disitu."
Tanpa menjawab, Arsal langsung mengambil salah satu pakaian itu dan langsung ke kamar mandi. Tidak lama kemudian, ia sudah siap dengan pakaian kerjanya. Sementara Ayra masih terlihat mengoleskan lipstik di bibirnya.
"Lain kali kamu tidak perlu melakukan itu," kata Arsal sambil merapikan rambutnya.
"Maksudmu?"
"Saya bisa melakukannya sendiri. Saya tidak mau merepotkan-"
"Orang lain? Kalau begitu lebih baik saya tidur di sofa terus. Saya juga tidak nyaman tidur di ranjang yang sama dengan o-rang-la-in." Gadis itu segera pergi setelah itu.
Arsal menghela napasnya. Ia lalu keluar kamar dan mendapati Ayra sudah siap untuk pergi. Arsal berjalan ke arah pintu, meraih kunci mobilnya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Aku berangkat duluan," kata Ayra sambil melirik Arsal yang sibuk mengecek ponselnya.
Arsal tidak langsung menjawab, hanya melirik sekilas sebelum akhirnya berkata, "Saya antar."
Ayra menghela napas, sudah menduga jawaban itu. "Nggak perlu. Aku bisa naik taksi atau ojek online."
"Saya antar," ulang Arsal, suaranya lebih tegas.
Ayra berdecak. "Arsal, aku ada janji temu dengan penulis. Ini urusan kerja. Aku nggak mau merepotkan orang lain."
Arsal menoleh dan menatap Ayra dengan tajam. Ia tidak suka dengan penekanan kata 'orang lain' keluar dari mulut Ayra untuk menunjuk dirinya.
"Terlalu pagi untuk berdebat. Kamu masih istri saya. Ayo!"
Ayra hendak membalas, tapi tiba-tiba ponsel Arsal berdering. Layar ponselnya memunculkan nama "Amanda."
Ayra tidak ingin kepo, tapi tanpa sadar matanya menangkap ekspresi Arsal yang berubah seketika.
Arsal menjawab panggilan itu, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya. "Halo?"
Terdengar suara seorang wanita di seberang sana, tapi Ayra tidak bisa mendengar dengan jelas.
Arsal mendengarkan dengan serius, lalu menatap jam di tangannya. "Baik. Aku ke sana sekarang."
Ia mengakhiri panggilan dan memasukkan ponselnya ke saku jasnya. Lalu, tanpa melihat Ayra, ia berkata, "Aku nggak bisa nganter kamu. Aku harus jemput Kalya dan Amanda."
Ayra terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Arsal yang membuat dadanya terasa sedikit sesak.
"Kalya nangis karena minta diantar saya. Khawatirnya kamu akan terlambat kalau ikut saya." Lanjut Arsal.
Ayra mengangguk pelan. Ia memahami. Tapi tetap saja, ada perasaan tidak nyaman yang mengganggu pikirannya.
Arsal berbalik, berjalan ke arah pintu tanpa banyak bicara. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Ayra memberanikan diri bertanya, "Amanda siapa?" tanyanya pelan.
Langkah Arsal terhenti sesaat. Ia menoleh ke arah Ayra, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak.
Lalu, dengan suara datar, ia menjawab, "Tantenya Kalya. Adik dari mamanya."
Setelah itu, tanpa menunggu reaksi dari Ayra, Arsal melangkah keluar, meninggalkan Ayra yang masih berdiri di tempatnya.
Ayra geleng-geleng kepala dan bergumam pelan. "Jangan ikutan berpikiran negatif, Ay. Dia hanya tante Kalya."