Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar, "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar. "Hati-hati lain ka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerjasama Antara Abigail dan Felisha
Dengan langkah hati-hati, Almira melangkah masuk ke dalam kamar. Matanya langsung tertuju pada sosok Abizard yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak pucat, jauh berbeda dari pria yang selama ini ia kenal. Tabung infus terpasang di lengannya, dan mesin di sampingnya berdetak pelan mengikuti irama jantungnya.
Almira berdiri di sisi ranjang, menatap Abizard yang tampak tertidur. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya—marah, sedih, dan khawatir bercampur menjadi satu. Ia menggenggam tangan Abizard dengan lembut.
“Zard... kenapa kamu nggak bilang apa-apa?” bisiknya lirih, air mata mulai menggenang di matanya.
Almira terisak pelan, menggenggam tangan Abizard erat-erat. Ia menatap wajah pucat pria itu, berusaha menahan rasa sakit yang menghujam hatinya. Perlahan, kelopak mata Abizard bergerak, dan matanya terbuka dengan lemah. Ia terdiam beberapa detik sebelum menyadari siapa yang ada di hadapannya.
"Almira...?"
Suara Abizard terdengar serak, nyaris seperti bisikan.
Almira tersentak, cepat-cepat menghapus air matanya, mencoba tersenyum meski hatinya masih terasa berat.
"Zard... akhirnya kamu bangun," ucapnya dengan suara gemetar.
Abizard menatap Almira dengan bingung, lalu matanya mengerjap beberapa kali seolah memastikan bahwa ini bukan mimpi.
"Kamu... ngapain di sini?" tanyanya pelan.
"Kamu nggak seharusnya ada di sini."
Almira menggeleng, masih menggenggam tangannya.
"Aku tahu semuanya, Zard. Tentang penyakitmu... kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa? Apa kamu pikir aku nggak peduli?"
Abizard menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya.
"Aku nggak mau kamu khawatir. Ini urusan aku, Al. Aku bisa hadapi ini sendiri."
"Sendiri?"
Almira menatapnya tajam, suaranya mulai bergetar.
"Zard, nggak ada yang harus melalui ini sendirian. Kamu nggak tahu betapa sakitnya aku ketika mendengar semuanya dari orang lain."
Abizard terdiam, hatinya terasa berat melihat Almira menangis di depannya. Ia ingin menghapus kesedihan itu, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.
"Almira..."
Abizard berusaha berbicara meski suaranya hampir hilang.
"Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu. Aku cuma nggak mau jadi beban buat kamu."
"Kamu nggak pernah jadi beban," potong Almira, suaranya kini terdengar lebih tegas.
"Aku di sini karena aku peduli. Karena aku... sayang sama kamu."
Mata Abizard melembut, kata-kata Almira menyentuh hatinya dengan cara yang tak pernah ia duga. Air matanya hampir jatuh, tetapi ia menahannya.
"Maaf, Al... Maaf karena aku bodoh dan pengecut."
Almira menggenggam tangannya lebih erat.
"Yang penting sekarang kamu fokus sembuh, Zard. Kita hadapi ini sama-sama."
Abizard menatap Almira dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak sendirian lagi. Di tengah rasa sakit dan kelelahan, ia menemukan secercah harapan di mata Almira.
"Terima kasih... karena nggak ninggalin aku," ucap Abizard dengan suara hampir berbisik.
Almira tersenyum kecil, meski air mata masih menetes di pipinya.
"Aku nggak akan ninggalin kamu, Zard. Aku janji."
Melisa yang mengintip dari balik pintu ikut terharu melihat momen itu. Namun, Yoseph hanya menghela napas panjang, masih bergumul dengan perasaannya yang campur aduk. Ia tahu, tak ada yang bisa menghentikan Almira kali ini.
Sementara Abigail terdiam di pojok rumah sakit, ia sadar kedatangan akan membuat Abizard kesal. Namun tanpa ia ketahui jika Almira kini bersama dengan sepupunya tersebut.
"Paman Yoseph." ujar Abigail.
Yoseph mendongak, menatap lekat Abigail yang berdiri di depannya.
"Bagaimana keadaan Abizard?." tanyanya cemas.
Walau mereka sednag berselisih,namun Abigail merasa sedih mendengar kondisi sepupunya tersebut.
Yoseph bangkit,lalu
"Almira sedang di dalam. Kau bisa menemuinya nanti."
Abigail tertegun. Kata-kata Yoseph barusan terasa seperti tamparan keras di wajahnya.
"Almira… di dalam?" ulang Abigail, mencoba memastikan apa yang baru saja didengarnya.
Perasaan cemas di dadanya berganti menjadi rasa tak nyaman. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi yang perlahan naik ke permukaan.
Yoseph mengangguk, menyadari ekspresi Abigail yang berubah.
"Iya, Almira sudah tahu semuanya. Dia datang untuk menemani Abizard."
Abigail terdiam sejenak. Ada rasa sakit yang muncul tiba-tiba di hatinya, namun ia mencoba tersenyum samar.
"Aku… akan menunggu di sini, Paman," ucapnya, suaranya terdengar tenang meski hatinya bergejolak.
Yoseph menepuk bahu Abigail dengan lembut.
"Abizard pasti senang kalau kamu juga menjenguknya nanti. Bagaimanapun juga, kalian tetap keluarga."
Abigail hanya mengangguk, menahan napasnya agar emosinya tidak meledak di depan Yoseph. Setelah Yoseph beranjak pergi, Abigail berdiri di lorong rumah sakit, pandangannya kosong menatap pintu kamar Abizard. Pikirannya berkecamuk.
"Almira kembali… dan sekarang dia bersama Abizard lagi? Setelah semua yang aku lakukan, dia tetap memilih dia?"
Abigail merasakan hatinya hancur. Ia sudah mencoba menepis perasaannya pada Almira, tetapi kini semuanya kembali menyeruak, terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya. Ia mengambil langkah mendekati pintu kamar Abizard, tangannya terhenti di gagang pintu.
Dari celah kecil pintu yang sedikit terbuka, Abigail melihat Almira masih duduk di sisi ranjang Abizard, menggenggam tangannya erat. Ada kehangatan di antara mereka yang sulit diabaikan.
Hatinya menjerit, tetapi Abigail tetap berdiri di tempatnya.
"Aku nggak akan menyerah secepat itu," batinnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berbalik, lalu melangkah menjauh.
Sambil berjalan, ia menggenggam ponselnya dengan erat.
"Kalau ini perang, maka aku akan bermain dengan caraku sendiri," pikir Abigail. Ia takkan membiarkan Almira dan Abizard kembali bersama tanpa perlawanan.
Melisa yang melihat Abigail pergi hanya bisa menggeleng pelan. Ia tahu, konflik ini belum berakhir. Bahkan, mungkin baru saja dimulai.
Abigail terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit, pikirannya penuh dengan rencana. Setiap langkahnya terasa berat, namun tekadnya semakin kuat. Ia tahu, Almira adalah sosok yang sulit untuk ditaklukan, tetapi ia tidak akan membiarkan perasaannya dihancurkan begitu saja.
Di luar rumah sakit, Abigail duduk di bangku taman, menggenggam ponselnya erat-erat. Ia menatap layar, berusaha menahan gejolak hatinya. Setelah beberapa detik ragu, ia mengetik pesan kepada Felisha.
"Kita perlu bicara. Aku butuh bantuanmu."
Tak butuh waktu lama hingga ponselnya bergetar. Pesan balasan dari Felisha muncul di layar.
"Kapan dan di mana?"
Abigail tersenyum tipis, matanya penuh tekad.
"Sekarang. Di kafe biasa."
---
Di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Abigail duduk di meja pojok, menunggu kedatangan Felisha. Tak lama kemudian, Felisha muncul dengan ekspresi penasaran.
"Jadi, ada apa, Abigail?" tanya Felisha sambil duduk di depannya.
"Kelihatannya serius."
Abigail menatap Felisha lekat-lekat.
"Aku butuh bantuanmu untuk menjauhkan Almira dari Abizard."
Felisha mengangkat alis, sedikit terkejut.
"Menjauhkan Almira? Bukannya kalian bersaing sehat selama ini?"
Abigail tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme.
"Sehat? Aku ingin Almira menjadi milikku. Dan kai bisa merebut Abizard ,bukan ?."
Felisha tersenyum tipis.
"Menarik. Jadi, apa rencanamu?"
"Kita buat Almira sadar kalau Abizard bukan pilihan yang tepat. Aku yakin kamu punya cukup banyak kelemahan Abizard yang bisa membuat Almira meragukan hubungannya."
Abigail mencondongkan tubuhnya.
"Dan aku akan bantu memastikan dia tidak kembali lagi."
Felisha mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, berpikir sejenak.
"Hmm… Sepertinya aku bisa membantu. Toh, aku juga belum selesai dengan Abizard."
Abigail tersenyum puas.
"Bagus. Bersama-sama, kita bisa membuat mereka berpisah."
Keduanya saling menatap, menyadari bahwa aliansi mereka baru saja terbentuk. Di balik senyum mereka, tersembunyi rencana yang bisa mengguncang hubungan Almira dan Abizard.
---
Sementara itu, di kamar rumah sakit, Abizard merasakan energi Almira yang tak henti-hentinya menyemangatinya. Ia mulai merasa lebih kuat, meski kondisinya belum sepenuhnya pulih.
"Al, kamu yakin bisa terus di sini? Kamu pasti capek," ucap Abizard dengan suara pelan.
Almira tersenyum hangat.
"Aku nggak akan pergi ke mana-mana, Zard. Kamu nggak usah khawatir. Aku di sini, dan aku akan tetap di sini sampai kamu sembuh."
Abizard menatap Almira dengan rasa syukur. Namun, ia tak tahu bahwa di luar sana, badai sedang bersiap menghancurkan ketenangan mereka.
Melisa yang mendengar percakapan dari luar ruangan, merasa gelisah. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang buruk akan datang.
"Aku harus melindungi mereka berdua," pikirnya.
"Sebelum semuanya terlambat."
---