Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18
Langkahnya terhenti ketika melihat siapa orang yang tertawa terbahak-bahak sambil menonton televisi ditemani secangkir teh hangat dan sepiring kue bolu keju kenari kesukaannya.
Senyumannya langsung tersungging melihat Adinda dalam keadaan yang baik-baik saja. Dia spontan berlari ke arah Adinda kemudian tanpa ragu langsung memeluk tubuh Adinda dari arah belakang.
“Sayang Alhamdulillah kamu dari mana saja, Mas mencarimu sampai-sampai mas seperti orang gila,” ujarnya sambil terisak saking bahagianya.
Betapa bahagianya melihat orang yang dikhawatirkan dan dicemaskannya ternyata ada di rumahnya.
Adinda yang dipeluk sama sekali tidak bereaksi apapun, dia hanya terdiam sambil menunggu apalagi yang akan dikatakan oleh suaminya.
“Om sangat menyesal dengan apa yang Om lakukan, jangan seperti ini lagi, om janji tidak akan mengulanginya lagi. Om sangat takut kehilanganmu istriku,”
Adinda terenyuh mendengar kejujuran dari suaminya itu, dia menyangka kalau Baruna akan menyebutnya dengan sebutan istriku.
“Om bersumpah dan berjanji kejadian seperti tadi tidak akan terulang lagi kalau kamu tidak mau melakukannya dengan Om,”
“Aku yang salah bukan Om kok, aku seharusnya tidak memarahi Om karena itu memang haknya Om melakukannya denganku. Aku yang terlalu kekanak-kanakan dan marah dengan Om,”
“Bukan kamu yang salah, Om yang salah karena telah melakukannya tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu padamu, maafin Om yah jangan pernah sekali-kali meninggalkan Om lagi, cukup mamanya Nadhira yang meninggalkan Om untuk selamanya,”
“Jadi Om menyesali apa yang dilakukannya karena belum mencintaiku ternyata hanya takut dan trauma dengan masa lalunya ketika Mbak Kanaya meninggal dunia. Sadar lah Adinda kamu itu tidak ada artinya di dalam hidup Om Baruna jangan terlalu bermimpi dan berharap kalau kamu dicintai dan Om Baruna tidak bisa hidup tanpamu itu hanya khayalanmu saja Adinda,” Adinda membatin.
“Sudah yah Om, aku mau tidur soalnya aku harus mempersiapkan diri menghadapi tes masuknya, aku ingin lulus dengan nilai yang bagus,” kilahnya Adinda yang hanya terlalu kecewa dengan apa yang barusan didengarnya.
Adinda terlalu menaruh harapan kepada Baruna kalau dia adalah wanita yang dicintai Baruna saat ini.
“Astaghfirullah aladzim kenapa aku berharap dan bermimpi dicintai oleh om Baruna,” batinnya.
Adinda berjalan ke arah dalam kamarnya setelah mematikan televisi dan menyimpan bekas makan dan minumnya di pantry dapurnya.
Baruna heran karena tiba-tiba Adinda tidak seceria,seasyik dan seramah seperti sebelumnya.
“Apa ada lagi kata-kataku atau sikapku yang menyinggung perasaannya yah?” Baruna kebingungan.
Adinda mengambil air wudhu sebelum tidur dan dia berdoa kemudian menarik selimutnya dan menutupi sebagian tubuhnya dan mematikan lampu tidur di meja nakas.
Baruna masih terdiam memandangi kepergiannya Adinda dari hadapannya. Dia menghela nafasnya dengan kasar.
“Memang perempuan paling sulit dimengerti,” gumamnya.
Bisma hanya geleng-geleng kepala melihat sikap dari kakaknya itu.
“Apa Abang tidak bertanya bagaimana caranya istrinya Abang pulang ke rumah?” Tanyanya Bisma sambil duduk di salah satu sofa.
Baruna menolehkan kepalanya ke arah adiknya itu,” maksudnya?”
Baruna juga ikut menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas salah satu sudut sofa.
Bisma pun mulai menjelaskan kalau Adinda berjalan sekitar sepuluh kilometer, untungnya dia tanpa sengaja melihat Adinda berjalan sehingga dia membantu kakak iparnya dan mengantarnya pulang dengan selamat.
“Apa Abang pernah berfikir bagaimana capeknya berjalan berkilo-kilo meter jauhnya tanpa minum apapun? Di tengah malam pula seorang wanita cantik, untungnya aku yang cepat temuin kalau tidak bisa-bisa Abang sudah kehilangan Adinda digondol maling,” jelas Bisma.
Baruna hanya terdiam saja tanpa berbicara apapun menanggapi ucapannya Bisma. Baruna malah bangkit dari duduknya kemudian meninggalkan Bisma seorang diri di ruang tengah.
Bisma tersenyum tipis,” begini jadinya kalau lama jadi duda! Gak peka dengan sikapnya dan perasaannya sendiri.”
Baruna berjalan ke arah dalam kamarnya dan melihat Adinda sudah tertidur. Baruna keheranan karena kembali ke setelan awalnya yaitu banyak bantal yang memisahkan mereka padahal sudah hampir dua mingguan mereka saling dekat bahkan tak jarang Adinda memeluknya kalau kedinginan.
Satu bulan kemudian…
Hubungan Adinda dan Baruna tidak ada kemajuan sama sekali malahan Adinda semakin menjaga jarak dan bersikap dingin terhadap Baruna sejak malam itu.
“Maaf Mas tidak perlu repot-repot melakukan itu karena insha Allah saya masih sanggup melakukannya,” tolaknya Adinda ketika dia ingin diantar oleh Baruna.
Apapun yang akan dilakukan oleh Baruna padanya pasti Adinda menolaknya dengan halus. Adinda tidak ingin bergantung pada suaminya yang status mereka entah sampai kapan. Baruna tak berani untuk bertanya kenapa Adinda bersikap seperti itu padanya.
Keduanya sama-sama sibuk dengan urusan mereka. Tetapi di depan orang lain mereka pasti akan memperlihatkan kemesraan mereka.
Mereka sekamar tapi hubungan mereka seperti orang asing. Berbeda dari awal mereka menikah, Adinda lebih sering mengajak Baruna berbincang-bincang dengan berbagai macam topik pembahasan. Tetapi, setelah kejadian itu, Adinda memilih lebih banyak diam dan berbicara seperlunya saja.
“Kalau kamu ada tugas dari kampus yang sulit kamu kerjakan kamu bisa meminta tolong pada Om,” tawarnya Baruna ketika melihat Adinda sampai jam dua belas malam mengerjakan tugas dari kampusnya.
Adinda berbicara tanpa berani memandangi wajah suaminya itu, “Alhamdulillah saya masih sanggup mengerjakannya, makasih banyak atas bantuannya,” tolaknya Adinda.
“Ya Allah apa perasaanku saja kalau Adinda berubah padaku. Tapi, kenapa apa salahku? bukannya aku selalu memenuhi keinginan dan tanggung jawabku sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik?”
Keesokan harinya…
Adinda berangkat ke kampus rencananya akan memakai motor baru yang dibelikan Baruna untuknya tapi, Baruna bersikeras akan mengantar jemput Adinda.
“Om ehh Mas tidak perlu mengantarku lagian naik motor lebih cepat sampainya, saya juga tidak mau merepotkan Mas Baruna kalau setiap hari mengantar jemputku,” tolaknya Adinda secara halus.
“Mama pulangnya kuliah jam berapa emangnya?” Tanyanya Nadhira.
“Insha Allah sekitar jam tiga sayang kenapa?” Tanyanya Adinda.
“Oh, gak capek duduk dari pagi sampai jam segitu?”
“Capek sih tapi demi masa depan Mama harus bersabar dan lebih berjuang keras lagi untuk menjalaninya, perempuan tidak boleh bergantung terus kepada lelaki, karena kita tidak tahu kapan waktunya kamu akan berpisah dengan seseorang yang selama ini hidup dengan kamu. Intinya perempuan harus mandiri,” jelasnya panjang kali lebar sepanjang jalan kenangan.
Deg…
Baruna merasa tersindir dengan ucapannya Adinda barusan. Dia tidak menduga kalau istri kecilnya akan berbicara seperti itu di depannya.
Adinda tersenyum manis semanis madu bahkan mengalahkan manisnya gulali itu yang membuat Baruna bahagia melihatnya karena sudah sebulan lebih juga dia tidak pernah melihat senyuman seperti itu.
“Senyuman seperti ini lah yang aku rindukan, kenapa dengan orang lain kamu selalu memperlihatkan senyuman manismu sedangkan dengan suamimu kamu seperti enggan untuk melakukannya,” monolognya Baruna.
Adinda berjalan ke arah depan sambil meraih helmnya dan kunci motornya, tapi tangannya langsung dicegah oleh Baruna.
“Om sudah bilang Om yang akan mengantar kamu pergi ke kampus!”
“Saya tidak ingin merepotkan, Om kan ada rapat penting di kantor saya tidak ingin gara-gara saya Om terlambat ke kantor,” protesnya Adinda.
Baruna langsung menarik tangannya Adinda berjalan ke arah carport mobilnya sedangkan pak Kadir dan Nadhira keheranan melihat apa yang dilakukan oleh pasutri itu.
“Apa yang terjadi pada mama dan Papa! Apa mereka bertengkar?” gumamnya Nadhira.
“Jangan berfikir negatif Non Muda, mungkin karena nyonya muda buru-buru ke kampus saja sehingga mereka adu tarik-menarik,” ujarnya pak Kadir.
“Masuk! Untuk kali ini Om tidak mau mendengar penolakan dan bantahan dari kamu!”
Baruna langsung mengunci pintu mobilnya setelah ia berhasil mendorong tubuh Adinda.
Baruna mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi karena Adinda harus masuk kuliah jam delapan pas sehingga mau tidak mau dia sedikit balapan di jalan raya.
Terjadi keheningan di dalam kabin mobil karena dua-duanya tidak ada yang ingin memulai pembicaraan.
Berselang beberapa menit kemudian, mobil suv berwarna putih itu sudah berhenti di dalam area parkiran kampus. Adinda sama sekali tidak berbicara sepatah katapun hingga dia turun dari mobil.
Dia hanya meraih tangannya Baruna kemudian mengecup punggung tangan suaminya dengan takzim. Dia sama sekali tidak berbasa-basi sedikitpun seperti satu bulan lalu awal mereka menikah yang sering kali ia lakukannya.
Adinda baru saja menutup pintu mobilnya tiba-tiba Zihan mendekatinya.
“Assalamualaikum cantik,”
“Waalaikum salam kak, ada apa yah pagi-pagi gini sudah samperin? Jangan sampai Olivia melihat kedekatan kita dan dia cemburu lagi padaku,”
Zihan terkekeh mendengar perkataan dari gadis pujaannya itu,"selow saja, kapan gue jadian dengan dia? Gue bukan pacarnya."
Adinda dan Zihan berjalan beriringan hingga ke gedung tempat kelasnya Adinda berada. Keduanya sesekali bercanda dan tertawa lepas membuat Baruna semakin dibuat frustasi dan cemburu buta.
Baruna yang melihat kedekatan Adinda dengan Zihan dibuat marah dan cemburu buta.
“Sial!! Berani-beraninya dia mendekati istriku!”
Adinda tidak peduli dengan apa yang dilakukan dan terjadi di dalam mobil lagian dia tidak mengetahuinya dan tidak mau ambil pusing.
Prinsip Adinda sekarang tak tahu dan tak mau tahu. Baruna sudah membuatnya kecewa padahal di lubuk hatinya yang terdalam berharap lebih pada hubungannya ini tapi dibuat kecewa sekaligus.
“Adinda kenapa kamu tersenyum manis di depan pria lain sedangkan di depanku wajahmu selalu datar dan cuek! Kenapa!?
Baruna sampai memukul setir mobilnya berulang kali.
“Aku tidak suka istriku berdekatan dengan pria muda itu! Arghh!!”