Dahulu Kala Sebuah Kerajaan Hebat Bernama Cahaya, Di Serang Oleh Raja Kegelapan Yang Bersekutu Dengan Iblis. Para Ksatria Cahaya Turun Atas Perintah Raja Cahaya Pertama, Namun Saat Mereka Terdesak Tiba Tiba Sebuah Cahaya Muncul Di Hadapan Mereka Dan Berubah Menjadi Sebuah Pedang Yang Kuat. Pedang Itu Di Namai Sebagai Pedang Pelindung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon XenoNovel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Abad Kemudian
Tahun 1898...
Kedamaian telah menaungi Kerajaan Cahaya selama seratus tahun terakhir. Namun, di balik keheningan yang damai, bayang-bayang tragedi yang terjadi satu abad lalu masih terasa di hati para penduduknya.
Hari itu, Raja Yuto, pemimpin Kerajaan Cahaya, berdiri di hadapan patung tujuh ksatria legendaris di alun-alun utama. Patung-patung itu menjulang megah, masing-masing menggenggam pedang, seolah masih berjaga melindungi kerajaan yang mereka selamatkan dari kehancuran. Raja Yuto membungkuk hormat, diikuti oleh seluruh ksatria yang hadir.
Di antara para ksatria itu, berdiri seorang pemuda dengan tatapan penuh makna. Simbol bercahaya di bahu kanannya, lambang warisan darah seorang ksatria legendaris, menjadikan dia berbeda. Pemuda itu bernama Ziaz Blue, cucu salah satu dari tujuh ksatria legendaris.
“Seratus tahun telah berlalu sejak kau melindungi kerajaan ini, Kakek...” bisik Ziaz sambil menatap patung ksatria di hadapannya.
Raja Yuto akhirnya angkat bicara, suaranya tegas namun penuh penghormatan. “Jika bukan karena mereka yang mengorbankan segalanya, kita tidak akan berdiri di sini hari ini. Dunia mungkin sudah dilahap kegelapan.”
Para ksatria lainnya terdiam, wajah mereka menyiratkan rasa takut. Nama Raja Kegelapan, musuh terbesar Kerajaan Cahaya, masih menjadi legenda yang menakutkan meski telah lama berlalu. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka.
“Aku dengar, Raja Cahaya pertama dibunuh begitu mudah oleh Raja Kegelapan...” ujar salah seorang ksatria, suaranya bergetar.
“Bahkan kakekku bilang, Raja Kegelapan bisa menghancurkan kerajaan dalam sehari, kalau dia mau,” sahut yang lain.
Mendengar itu, Ziaz mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. (Raja Kegelapan itu hanya pengecut. Dia mengandalkan iblis untuk menang!) pikirnya dengan penuh amarah.
Raja Yuto melanjutkan, memotong bisik-bisik para ksatria. “Kalian semua takut pada Raja Kegelapan, bukan? Tapi tahukah kalian, ksatria legendaris kita bertarung hingga hampir gugur dalam tragedi itu?”
Para ksatria saling berpandangan, bingung. Mereka tidak pernah mendengar kisah itu sebelumnya.
Melihat reaksi mereka, Raja Yuto tersenyum tipis. “Saat pertempuran itu terjadi, seluruh penduduk telah dievakuasi jauh dari medan perang. Tidak ada yang tahu bahwa tujuh ksatria kita nyaris kalah. Mereka sendirian melawan kekuatan yang luar biasa.”
Ziaz terkejut mendengar pengakuan itu. Ia memandang patung sang kakek dengan mata yang mulai berkaca-kaca. (Kakek... Kau tidak pernah menceritakan kalau kalian bertujuh bertarung sendirian melawan seluruh pasukan Raja Kegelapan...)
“Pada hari itu,” lanjut Raja Yuto dengan suara yang semakin tegas, “Raja Kegelapan membunuh Raja Cahaya pertama. Segalanya hampir berakhir, hingga sesuatu yang luar biasa terjadi.”
Para ksatria menahan napas, perhatian mereka kini sepenuhnya tertuju pada sang raja.
“Sebuah cahaya muncul,” kata Raja Yuto, menunjuk ke arah patung-patung itu. “Cahaya yang selama ini bersemayam di dekat tahta kerajaan. Cahaya itu menyelimuti tujuh ksatria kita, dan dalam sekejap, ia berubah menjadi tujuh pedang pelindung.”
“Pedang pelindung?” salah seorang ksatria berbisik, suaranya penuh kekaguman.
Raja Yuto mengangguk. “Tujuh pedang itu bukan hanya senjata biasa. Mereka diberkati dengan kekuatan yang sangat kuat, masing-masing memiliki kekuatan unik yang hanya dapat digunakan oleh ksatria terpilih. Dengan pedang itu, tujuh ksatria kita kembali bangkit, meski sudah di ambang maut. Mereka melawan hingga titik darah penghabisan, menghabisi pasukan kegelapan dan berhasil menyegel Raja Kegelapan hingga saat ini."
Ziaz mendengar cerita itu dengan mata yang bersinar-sinar. Kata-kata Raja Yuto menggema dalam pikirannya. “Pedang pelindung... Berwarna biru...” gumamnya, seolah menyebut sesuatu yang lebih dari sekadar kata.
Namun, di balik cerita heroik itu, sebuah firasat buruk mulai mengusik hati Ziaz. Raja Kegelapan mungkin telah dikalahkan, tetapi apakah ancamannya benar-benar hilang?
Raja Yuto pun menghela nafasnya. "Tapi sayangnya... Para ksatria tidak dapat mengalahkan seluruh Ksatria Kegelapan. Mereka hanya bisa mengalahkan 8 Ksatria Kegelapan sedangkan 12 lagi kabur dan masih ada hingga sekarang."
Para ksatria yang mendengar itu pun sangat terkejut. Karena tidak mungkin para Ksatria Kegelapan masih hidup karena tragedi itu sudah 100 tahun lalu.
"Jika kalian menganggap mereka telah tiada, maka kalian salah besar. Mereka di berkati kekuatan kegelapan dan membuat mereka bisa hidup panjang selama mereka tidak kalahkan." ucap Raja Yuto
Setelah Raja Yuto mengatakan semuanya kepada para ksatria. Dia pun membubarkan seluruh ksatria yang ada disana termasuk Ziaz. Raja Yuto pun memberikan hormat untuk terakhir kalinya kepada patung ksatria legendaris.
___
Hari itu, seluruh kegiatan di Kerajaan Cahaya dihentikan. Para penduduk sibuk merayakan seratus tahun kemenangan mereka dengan nyanyian, tarian, dan festival besar di alun-alun utama. Namun, di sisi lain, seorang pemuda memilih untuk menjauh dari keramaian itu.
Ziaz Blue berdiri di tengah hutan yang sunyi, pedang di tangannya berkilau diterpa cahaya matahari yang menembus celah dedaunan. Wajahnya dipenuhi tekad.
“Jika aku ingin dipromosikan menjadi ksatria senior, aku tak punya waktu untuk bersantai,” gumamnya sambil mengayunkan pedangnya ke batang pohon besar di hadapannya.
Namun, di tengah ayunan pedangnya, sebuah suara bisikan misterius tiba-tiba terdengar.
“Datanglah... cari aku di balik air yang turun dari tempat tinggi...”
Ziaz menghentikan gerakannya seketika. Ia menoleh ke sekeliling, mencoba mencari sumber suara itu. “Huh? Siapa itu?” tanyanya dengan nada waspada.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menjawab. Tapi beberapa saat kemudian, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
“Hadaplah ke timur... Masuklah lebih dalam ke dalam hutan... Kau akan menemukan apa yang telah lama hilang...”
Jantung Ziaz berdegup kencang. Suara itu tidak seperti suara manusia biasa, lebih seperti gema yang memenuhi pikirannya. Pedangnya terjatuh dari genggamannya saat ia mendengar kata-kata itu.
“Apa ini?” bisiknya, setengah tak percaya.
Namun rasa ingin tahu dan keberanian segera menguasainya. Dengan langkah cepat, Ziaz mulai berlari ke arah yang ditunjukkan oleh suara tersebut.
Setelah beberapa menit berlari, ia mulai mendengar suara gemuruh air. Dari jarak sekitar lima puluh meter, suara itu semakin keras, seperti alunan dentuman raksasa yang memenuhi udara.
“Sejak kapan ada air terjun di hutan ini?” gumamnya sambil memperlambat langkahnya.
Perlahan, Ziaz melewati sebuah area yang dipenuhi cahaya terang. Ketika ia membuka matanya, pemandangan di hadapannya membuatnya tertegun.
Sebuah air terjun yang sangat tinggi dan besar berdiri megah di hadapannya. Aliran airnya tampak seperti tirai kristal yang jatuh dari langit.
“Luar biasa... Sepertinya aliran sungai di Kerajaan Cahaya berasal dari sini,” ujarnya sambil berjalan mendekati tepian air terjun.
Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Di balik tirai air itu, ia melihat kilauan cahaya kecil yang berkedip, seperti bintang yang terjebak di dalam air.
“Apa itu?” bisiknya.
Ia mencari cara untuk turun ke dasar air terjun. Tapi saat melihat ketinggian tebing itu, ia bergidik. “Jika aku melompat, aku akan langsung bergabung dengan kakekku di alam lain,” ucapnya, setengah bercanda untuk meredakan ketegangan.
Dengan hati-hati, ia mulai menuruni tebing, berpegangan pada batu-batu yang menonjol. Setiap langkahnya penuh kehati-hatian, hingga akhirnya ia berhasil mencapai dasar air terjun dengan selamat.
Ziaz menatap sekeliling. Air di dasar air terjun itu ternyata tidak terlalu dalam. Ia merasa aneh. “Kenapa air di sini dangkal? Apakah dulunya tempat ini bukan air terjun?”
Cahaya di balik air terjun itu kembali berkedip, seolah memanggilnya. Tanpa ragu, Ziaz berjalan menuju sumber cahaya itu, melewati dinginnya percikan air yang jatuh dari atas.
___ END CHAPTER 1 ___