Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 01: A Man With Black Umbrella
Kala baskara tak lagi menampakkan sinar kehidupannya, dan lampu-lampu mulai menyala menggantikan lembayung yang mulai luruh dengan kegelapan. Angin berhembus pelan, perlahan-lahan menembus tubuhku yang berjalan tanpa arah tujuan. Di bawah naungan bulan bintang aku berjalan, menyusuri jalanan yang berhiaskan lampu temaram.
"Ibu, kemana aku harus pergi?" ku tatap langit malam itu, tak seperti biasanya, rembulan tak menampakkan dirinya yang bersinar. Ia memilih untuk bersembunyi di balik lembutnya awan yang kian menebal. Sepertinya ini pertanda akan hujan.
Awan-awan itu semakin tebal, berjalan kesana-kemari menutupi setiap inci langit malam yang penuh dengan bulan bintang. Angin mulai berhembus kencang, menerpa ragaku yang mulai gontai. Gemuruh petir turut andil tuk memeriahkan malam, namun aku tetap merasa kesepian.
Aku mendongakkan kepalaku dan melihat rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, semakin lama semakin cepat dan terasa menyakitkan. Mereka mulai menjarah tubuhku, tubuhku mulai dingin dan menggigil. Sial, ini dingin sekali. Aku tetap berjalan sembari memeluk tubuh mungilku. Andai saja Ayah tak mengusirku, mungkin sekarang aku bisa menikmati segelas coklat panas sembari mencium aroma hujan yang menceruat melalui balkon kamarku. Kakiku mulai terasa perih karena berjalan tanpa alas kaki, aku benar-benar terlihat menyedihkan.
Kubiarkan tubuh ini dihujam oleh jutaan air hujan, ku gerai surai hitam ku yang panjang agar air hujan tak kesulitan menjarahnya. Aku memeluk diriku sendiri, netraku mulai kehilangan cahayanya. Tubuhku bergetar dan air mataku mulai luruh bersamaan dengan derasnya air hujan. Aku meraung-raung bersama gemuruh petir yang tak mau kalah. Suaraku terdengar begitu parau dan menyakitkan, rasanya ada ribuan duri yang menghujam tubuh mungil ini.
Pandangan ku mulai buram karena air mataku yang terus berjatuhan, namun aku masih dapat melihat secara samar seseorang datang ke arahku. Apakah dia adalah malaikat penolong yang dikirim Tuhan untukku? Ah, tidak mungkin. Siapa tahu dia hanya kebetulan lewat.
Orang itu semakin dekat, aku dapat melihatnya dengan jelas. Seorang pria dengan setelan jas dan sebuah payung hitam besar yang menaunginya. Wajahnya terlihat begitu kokoh dengan sorot mata tajam yang menghanyutkan. Ia datang menghampiriku dan membawa tubuh mungilku bernaung di payung miliknya. Aku mendongak dan melihatnya. Sorot matanya yang mengintimidasi meluruhkan segala keberanian ku.
"Kau tampak menyedihkan," pria itu membuka suara. Aku sedikit kesal, namun aku tak bisa membantah perkataannya.
Aku tersenyum getir sembari memeluk tubuhku yang menggigil, pria itu kemudian jas miliknya kepadaku. Memintaku untuk memakainya. Aku mengiyakan dan mulai mengenakan jas miliknya.
Kemudian, pria itu membawaku ke sebuah minimarket yang tak jauh dari tempatku berada. Ia memberikan ku sebuah roti dan satu gelas berisikan kopi hangat.
"Terimakasih," ucapku sembari menerima roti dan kopi pemberiannya. Tak ada alasan bagiku untuk menolaknya, aku benar-benar lapar.
Tak ada percakapan diantara kami sampai roti dan kopi hangat itu habis ku teguk. Aku tak berani bertanya ataupun menoleh ke arahnya. Ia terlihat begitu dingin, hujan benar-benar cocok dengannya. Pria itu menolah ke arahku, ia melihat diriku dari atas hingga ke bawah. Aku tak mau kalah dan menatapnya, pandangan kami bertemu ... aku hanya tersenyum kaku.
"Selatan," pria itu mengulurkan tangannya dengan ekspresi yang tak dapat ku artikan, aku pun membalas uluran tangannya dan memperkenalkan diriku.
"Lunar," balasku dengan terbata-bata.
Kemudian tak ada lagi percakapan diantara kami hingga hujan malam ini perlahan-lahan mereda, menyisakan aromanya yang khas dan menenangkan. Aku menundukkan kepalaku, menggumpulkan seluruh keberanian yang ada dalam diriku dan mulai berbicara kepadanya.
"Hey, bisakah aku ikut denganmu? Aku tak punya tempat tujuan untuk pulang, aku bisa mengerjakan apa saja. Mencuci baju, memasak, melipat pakaian, membersihkan rumah, dan apapun itu!" seruku, itu terdengar memalukan tapi aku benar-benar putus asa. Aku tak mau terus berkeliaran dan menjadi gelandangan.
"Sure," pria bernama Selatan itu menimpali ucapanku tanpa sedikitpun rasa ragu.
Aku terkejut bukan main, semudah itu? Dia benar-benar akan membawaku bersamanya, aku mulai membayangkan tinggal bersamanya dan banyak adegan romantis yang terlintas di kepalaku. Wajahku memerah seperti udang rebus. Ah, sial! Aku terlalu banyak mengkhayal karena terlalu sering melihat serial drama romantis.
Aku beranjak dari kursiku dan berdiri di hadapannya. Ia tampak heran dengan apa yang kulakukan. Aku hanya tersenyum dan mulai membungkukkan tubuhku sebagai rasa terimakasih kepadanya. Ia tampak terkejut dan memalingkan wajahnya, namun aku dapat melihat wajahnya yang bersemu merah atau itu hanya perasaanku saja? Ah, sudahlah, yang terpenting sekarang aku sudah mendapatkan tempat tinggal dan bisa menyusun pembalasan dendam untuk Ayah dan wanita brengsek itu.
Pria itu menyuruhku untuk kembali duduk dan menunggu selama beberapa saat. Ia mengambil ponsel genggam dari dalam sakunya, menekan sebuah nomor dan mulai berbicara dengan seseorang diseberang sana. Aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan karena suaranya terdengar sangat pelan. Toh, itu bukan urusanku.
Ia menyelesaikan pembicaraannya dengan seseorang diseberang sana, kemudian menoleh ke arahku yang tengah mengamati keadaan di sekitar minimarket. Hujan sudah benar-benar reda, menyisakan hawa dingin yang membelenggu tubuhku. Aku memegang jas miliknya dengan erat, berharap itu dapat meredakan rasa dingin yang menikam tubuhku.
"Mari kita pulang," ia beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan dengan langkah besarnya menuju sebuah mobil yang terparkir di depan minimarket dengan aku di belakangnya.
Aku memasuki mobil berwarna hitam itu dengan hati-hati. Kulihat interior mobil itu dengan seksama, tampak elegan dan menakjubkan. Sementara aku terus mengamati, ia mulai menyalakan mesin mobilnya dan menyuruhku untuk memakai sabuk pengaman.
Mobil itu mulai berjalan, membelah gelapnya jalanan Kota setelah hujan. aku terus menatap jalanan yang kosong selama perjalanan, lagi-lagi tak ada percakapan diantara kami. Menyisakan keheningan sepanjang perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, kami berhenti disebuah rumah bernuansa klasik dengan warna putih yang mendominasi bangunannya. Kamipun turun dari mobil dan ia membawaku untuk memasuki rumah tersebut. Aku mengamati sekeliling, tampak sepi dan tak ada tanda-tanda manusia lain di rumah ini. Kurasa dia tinggal seorang diri.
"Apa kau tinggal seorang diri disini?" aku memberikan diri untuk bertanya kepadanya.
"Tidak, ada dua pembantu yang tinggal disini," jawabnya singkat.
"Aku akan menunjukkan kamarmu," imbuhnya.
Aku mengangguk tanda setuju, ia membawaku ke sebuah kamar kosong yang tak jauh dari kamarnya. Kamar itu tampak sederhana namun terasa begitu nyaman.
"Terimakasih," aku tersenyum kepadanya.
Ia hanya menganggukkan kepalanya, kemudian menyuruhku untuk membersihkan diri dan beristirahat. Ia akan memberikan pekerjaan untukku esok pagi. Aku mengiyakan lalu menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus