aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tamu tak terduga
Sampainya di rumah Rama,
setelah Rama memarkir mobil nya di garasi, mereka berdua keluar dan berjalan menuju pintu rumah.
"Ram, sepertinya di dalam ada tamu," ujar Alda dengan suara pelan, sambil melihat pintu rumah yang tampak sedikit terbuka.
Rama yang sudah terbiasa dengan suasana rumah itu mengangguk, lalu menatap Alda dengan senyuman lembut. "sepertinya, Da. mungkin tamu Ayah dan Ibu. mereka sering mengundang teman-teman dekatnya datang ke sini. ayo, kita masuk saja," katanya meyakinkan Alda.
Alda lalu mengikuti Rama memasuki rumah, sedikit ragu karena belum tahu siapa tamu tersebut. tapi ia memilih untuk tetap berjalan dibelakang Rama.
namun begitu memasuki ruang tamu, keduanya langsung disambut oleh Ibu dan Ayah rama yang sedang berbincang dengan seorang Pria yang mengenakan kemeja kasual dan celana panjang.
Andre, pria berusia awal 30-an dengan rambut yang sedikit acak-acakan, tampak terlihat canggung. "maaf, mas Rama. saya tahu ini mendadak, tapi ada masalah di pabrik. klien besar dari luar kota datang hari ini, dan mereka minta langsung bertemu dengan mas Rama."
wajah rama berubah serius mendengar kabar tersebut. "klien besar? kenapa mendadak sekali?"
Andre menghela napas. "seharusnya ini baru dijadwalkan minggu depan, mas, tapi kliennya mempercepat kedatangannya. ini terkait negosiasi ekspor kopi yang penting."
Rama mengerutkan kening. "hari ini? tapi kan aku sudah ambil cuti satu minggu kedepan"
Andre mengangguk, wajahnya tampak serius. "iya, saya tahu, tapi klien ini penting sekali, mas. mereka mau lihat langsung proses produksi, dan pak Herman bilang hanya mas Rama yang paling paham soal ini. jabatan mas sebagai production manager utama, dibutuhkan mas buat koordinasi di lapangan."
Ibu dan Ayah Rama saling bertukar pandang sebelum Ayahnya angkat bicara.
"nak Andre, apa tidak ada orang lain di pabrik yang bisa mewakili Rama? dia sudah mengajukan cuti, tentu ada seseorang yang bisa menangani ini sementara."
Andre tampak ragu, tetapi ia tetap mencoba menjawab dengan tenang. "sebenarnya ada beberapa orang di tim, Pak, tapi klien ini datang dengan permintaan khusus. mereka ingin bertemu langsung dengan mas Rama karena beliau yang paling paham detail produksi."
Alda yang sejak tadi hanya mendengarkan akhirnya menyela dengan suara lembut, tapi tegas.
"Ram, aku rasa sebaiknya kamu tetap pergi. ini pekerjaanmu, tanggung jawabmu. aku tidak ingin cutimu malah jadi beban karena kamu memikirkan hal ini."
semua mata langsung tertuju padanya. Rama menatap Alda dengan sedikit terkejut, sementara Ibu dan Ayahnya terlihat saling bertukar pandang.
"tapi, Da....."
"aku baik-baik saja, Ram," potong Alda dengan senyum tulus. "aku bisa menunggu. lagipula, ini bukan hanya tentang pekerjaanmu, tapi juga tentang orang-orang yang mengandalkanmu di pabrik. pergilah, selesaikan tugas itu, dan segeralah kembali. aku tunggu kamu di makan malam nanti"
Rama terdiam, memproses kata-kata Alda. ada rasa bersalah di wajahnya, tetapi juga kekaguman. akhirnya, ia menghela napas dan mengangguk. "baiklah, kalau itu keputusanmu."
Andre yang sejak tadi diam akhirnya mengernyitkan dahi, tampak bingung dengan percakapan itu. "eh,, anu, mas Rama… maaf kalau pertanyaan saya kurang sopan, tapi…" Andre menjeda ucapan nya sebelum akhirnya melanjutkan. "siapa… Mbak ini?"
"dia.... istriku Ndre" tanpa banyak pertimbangan, Rama menjawabnya dengan tegas.
"eh? istri mas Rama? tapi...." Andre menggaruk kepalanya, tampak sedikit gelisah. "maksud saya… terakhir kali kita bertemu, bukankah mas Rama mau menikah dengan Mbak Naila?"
Alda sedikit terkejut mendengar nama itu, sementara wajah Rama seketika berubah serius. Ibu dan Ayahnya juga tampak canggung, seolah tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Andre masih menunggu jawaban, matanya bergantian menatap Rama dan Alda. Ada sesuatu yang jelas tidak ia ketahui, dan kini rasa penasarannya semakin besar.
Rama yang sangat paham dengan situasi ini, mencoba mencari cara yang tepat untuk menjawab tanpa menyinggung perasaan siapa pun. "ah, itu... Nayla memang calon saya sebelumnya," jawab Rama dengan nada hati-hati. "tapi, saya... saya dan Nayla tidak melanjutkan rencana tersebut."
Andre, yang merasa situasinya sedikit canggung, segera meminta maaf. "maaf, mas. saya tidak tahu bahwa ini terjadi begitu cepat. saya hanya... tidak menduga ada perubahan seperti ini."
Alda yang mendengarnya pun dengan bijak mencoba memberikan penjelasan, sambil tersenyum lembut dan sopan. "memang, bu Nayla sebelumnya adalah calon istri mas Rama, namun dalam perjalanan kami, banyak hal yang terjadi. saya dan mas Rama akhirnya menikah setelah keadaan berubah begitu mendesak. ini adalah keputusan yang sudah kami ambil bersama."
Andre mengangguk cepat, menyadari bahwa ia telah menyinggung sesuatu yang sensitif. "baik, mas Rama, mbak Alda, saya minta maaf kalau pertanyaan saya tadi sedikit lancang."
Rama tersenyum kaku, mencoba menjaga suasana tetap tenang. "tidak masalah, Ndre. kita semua menghadapi kejutan dalam hidup"
Andre berdeham pelan, berusaha mengembalikan fokus pembicaraan. "eh, iya… soal klien tadi, Mas. jadi, apakah mas Rama bisa langsung ke pabrik sekarang, atau perlu waktu sebentar untuk bersiap?"
Rama melirik Alda, seolah meminta persetujuan sekali lagi. Alda hanya mengangguk kecil, memberikan senyum yang meyakinkan.
"aku akan bersiap sebentar," jawab Rama akhirnya. "kau bisa tunggu di sini dulu, Ndre. aku tidak akan lama."
Andre mengangguk. "baik, Mas."
saat Rama beranjak ke kamar, Alda ikut meminta izin untuk ke dapur, meninggalkan Andre berdua dengan Ibu dan Ayah Rama.
Andre, yang masih menyimpan rasa penasaran, akhirnya menatap Ayah Rama dan berbisik pelan, "maaf, Pak… saya benar-benar tidak menyangka kalau Mas Rama menikah secepat ini. saya kira pernikahan dengan mbak Naila sudah pasti."
Ayah Rama menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. "kehidupan memang penuh kejutan, nak Andre. ada hal-hal yang tidak bisa kita rencanakan, tapi tetap harus kita jalani."
Ibu Rama menambahkan dengan nada lembut, "yang penting, Rama sudah mengambil keputusan dan bertanggung jawab atasnya. Alda juga perempuan yang baik, kami bersyukur dia bisa menjadi bagian dari keluarga ini"
Andre mengangguk pelan, walau masih menyimpan sedikit kebingungan. namun, melihat bagaimana keluarga ini tetap tenang menghadapi situasi, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
tak lama kemudian, Rama kembali dengan pakaian yang lebih formal dan siap berangkat. ia menghampiri Alda yang baru kembali dari dapur, lalu menyuguhkan senyum wibawa nya. "aku pergi dulu, Da."
Alda membalas senyuman itu. "hati-hati, Ram. jangan terlalu lelah."
Rama mengangguk, lalu berpamitan kepada orang tuanya sebelum akhirnya berangkat bersama Andre.
begitu pintu tertutup, Ibu Rama menatap Alda dengan penuh pengertian. "kamu tidak apa-apa, nak?"
Alda tersenyum, meskipun ada sedikit kecanggungan tersisa di hatinya. "Alda baik-baik saja, Bu. Alda juga harus membiasakan situasi seperti ini, tentang kesibukan Rama dan tanggung jawab nya"
Ibu Rama mengangguk, lalu menggenggam tangan menantunya dengan lembut. "pelan-pelan saja, Nak. Ibu dan Ayah pasti selalu mendampingimu"
Alda mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan keluarga barunya.
*****
kembali ke sisi Rama,
begitu mobil Rama memasuki area pabrik, suasana langsung terasa sibuk. beberapa karyawan berlalu-lalang, truk-truk pengangkut kopi keluar masuk, dan aroma khas biji kopi yang baru diproses memenuhi udara.
Rama keluar dari mobil dan segera berjalan menuju kantor utama, diikuti oleh Andre. begitu mereka masuk, pak HERMAN, selaku atasan langsung Rama, ternyata sudah menunggu di dalam bersama beberapa staf lain.
"Rama, akhirnya kau datang juga," kata pak Herman dengan nada lega. "klien baru saja tiba dan ingin langsung melihat proses produksi. aku harap kau sudah siap.”)"
Rama mengangguk dengan profesional. "tentu, pak. saya akan menangani ini sebaik mungkin."
pak Herman tersenyum puas, lalu memberi isyarat agar mereka segera bergerak.
mereka lalu berjalan ke ruang meeting, di mana dua pria berkemeja rapi sudah menunggu. salah satu dari mereka, seorang pria berkacamata dengan jas abu-abu, berdiri dan mengulurkan tangan lebih dulu, sementara pria satunya tampak lebih muda dan santai, dengan gaya bicara yang sedikit lebih kasual.
"mas Rama, akhirnya kita bertemu. saya Adrian, perwakilan dari perusahaan ekspor kami."
Rama menjabat tangannya dengan mantap. "senang bertemu dengan anda, pak Adrian. mohon maaf atas keterlambatan saya."
Adrian hanya tersenyum tipis. "tidak masalah, yang penting sekarang kita bisa langsung melihat produksi. namun lebih dulu perkenalkan, ini rekan saya, Daniel," ujar Adrian sambil menunjuk pria di sebelahnya.
Daniel mengulurkan tangan dengan senyum ramah. "senang bertemu dengan anda, mas Rama. tapi kami sebenarnya bukan klien utama yang anda tunggu. kami hanya mewakili atasan kami."
Rama mengangkat alis. "mewakili? Jadi, klien utama belum datang?"
Daniel tertawa kecil. "bukan belum datang, mas, tapi sudah lebih dulu turun ke lapangan. dia ingin melihat langsung produksi dari perspektif pekerja, tanpa ada kesan formalitas. makanya, sejak tadi pagi dia sudah berada di area pengolahan biji kopi."
Rama merasa sedikit aneh dengan metode ini, tapi dia berusaha tetap profesional. "menarik juga. biasanya klien datang langsung untuk tur, bukan menyamar di lapangan."
Adrian tersenyum tipis. "atasan kami suka melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. dia ingin memastikan bahwa kualitas produksi bukan sekadar tampilan saat ada tamu, tapi benar-benar sesuai standar di lapangan."
Rama mengangguk paham. "baiklah. kalau begitu, bisakah saya bertemu langsung dengannya?"
Daniel dan Adrian saling bertukar pandang sebelum Adrian menjawab, "tentu. kita bisa menemuinya sekarang juga. dia ada di bagian penyortiran biji kopi."
tanpa menunggu lama, mereka bertiga berjalan menuju area produksi. begitu tiba di sana, mata Rama langsung mencari sosok yang mereka maksud.
di antara para pekerja, ada seorang wanita berambut panjang yang tampak berdiri dengan tangan bersedekap, memperhatikan biji kopi yang baru saja dipilah. ia mengenakan kemeja putih dengan lengan sedikit tergulung, tampak percaya diri dan serius.
namun, begitu wanita itu menoleh dan wajahnya terlihat jelas, Rama seketika langsung terdiam. 'kenapa harus..... dia?!'
gadis itu juga terkejut begitu melihat Rama. matanya sedikit melebar, lalu bibirnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar.
Daniel, yang tidak menyadari ketegangan itu, memperkenalkan dengan santai, "mas Rama, ini klien utama kita, dan merupakan atasan saya... Karina."
nama itu menggema di kepala Rama. KARINA…, sahabat dekat Nayla.