Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Latihan Perdana
Bel sekolah berbunyi menandakan akhir pelajaran. Suara riuh siswa yang bergegas keluar sekolah memenuhi koridor sekolah. Kirana dan Ririn segera mengemas buku mereka dan memasukkannya ke dalam tas mereka. Mereka berdua terlihat semangat, ditambah wajah bahagia yang Kirana perlihatkan dari tadi. Ririn yang memperhatikan wajah bahagia sahabatnya menjadi penasaran tapi memilih untuk tidak bertanya dulu.
Mereka keluar sekolah dengan langkah cepat dan jalan berdampingan. Sinar matahari terik menyinari jalan setapak yang mereka lalui, namun udara di Desa Sekawan tetap terasa sejuk sehingga membuat perjalanan mereka terasa nyaman. Pepohonan di sekitar jalan memberikan bayangan yang menyejukkan. Sementara suara burung berkicau menambah kedamaian suasana. Jalan setapak itu terlihat ramai, namun demikian hanya beberapa sepeda motor yang melintas, karena di desa ini sebagian masyarakat menggunakan sepeda gayung sebagai alat transportasi mereka. Bahkan mobil pun sangat jarang terlihat, kecuali ada masyarakat desa yang akan menjual ternak mereka, seperti sapi atau kambing, baru ada pickup tua yang melintas untuk mengangkut hewan-hewan itu.
“Rin… ayo cepat! Aku tidak mau Kakek Sapto menunggu kita terlalu lama… Apalagi ini hari pertama kita latihan,” ujar Kirana sambil menyesuaikan tas di pundaknya dan melangkah lebih cepat.
Ririn mengangguk dengan mata penuh semangat. “Iya… aku juga tidak sabar. Tapi Kirana… kamu terlihat sangat semangat dan senang hari ini. Ada apa? Apa ada kabar baik?” tanya Ririn penasaran sambil melirik Kirana yang tersenyum lebar.
Kirana menoleh ke Ririn dengan mata berbinar seperti sedang menyimpan rahasia besar. “Iya Rin… Tadi pagi aku kan dipanggil kepala sekolah. Beliau bilang jika aku terpilih ikut program beasiswa. Bahkan kata beliau jika aku bisa mempertahankan prestasiku, beasiswa ini dapat diperpanjang sampai aku mendapatkan gelar sarjana!” cerita Kirana penuh semangat tapi ada sedikit gemetar di ujung kata-katanya
“Tapi masih ada tahap seleksi… Semoga saja aku mendapatkan program beasiswa ini, sehingga aku tidak tergantung lagi dengan keluarga Bibi Tari, walaupun aku tahu kalau Paman Budi dan Arif selalu mendukungku,” tambah Kirana.
Ririn terkesiap lalu memeluk Kirana erat. “Wah selamat Kirana! Aku sangat senang mendengarnya!” ujarnya dengan suara penuh kebahagiaan.
Kirana tersenyum namun matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Rin… Aku masih belum percaya ini benar-benar terjadi. Ini seperti mimpi.”
“Kamu pantas mendapatkan ini Kirana. Kamu selalu rajin, tekun dan rendah hati. Aku yakin kamu pasti akan mendapatkan program beasiswa ini,” kata Ririn penuh kekaguman.
Kirana mengangguk dan hatinya penuh dengan rasa syukur. “Aku harap begitu Rin. Tapi… aku juga sedikit takut. Ini kesempatan besar tapi tantangannya pasti tidak mudah.”
“Kamu kuat dan bisa Kirana. Aku yakin kamu bisa menghadapi apapun dan aku akan selalu di sini untukmu,” ucap Ririn sambil memegang tangan Kirana memberikan dukungan.
Kirana tersenyum lega karena memiliki sahabat seperti Ririn. “Terima kasih Rin. Aku tidak tahu harus bilang apa. Kamu selama ini selalu ada untukku. Kamu sering membantuku. Semoga kamu juga sukses dan bahagia ke depannya.”
Ririn tersenyum lalu menghela napas. “Aku akan selalu ada untukmu. Kirana… kamu cantik, pintar dan rendah hati… Aku bangga memiliki sahabat sepertimu…”
Kirana tersentuh dan kembali matanya berkaca-kaca. “Rin… kamu terlalu baik. Aku juga bangga memiliki sahabat sepertimu,” ucap Kirana lalu memeluk bahu sahabatnya.
Ririn tersenyum bahagia. Dia tidak iri atas kebahagian yang diperoleh Kirana saat ini. “Aku berharap kamu selalu seperti ini Kirana… Aku akan selalu berdoa buat kebahagianmu… Kamu sahabat bahkan saudara terbaikku,” ucap Ririn di dalam hatinya.
Mereka berdua berjalan dengan bergandengan tangan dan bercerita tentang rencana-rencana mereka ke depannya. Perjalanan mereka diselingi canda tawa dan saling menggoda.
Saat mereka mendekati pondok Kakek Sapto, suasana semakin terasa tenang dan penuh kedamaian. Pondok kecil itu terletak di tepi hutan dan dikelilingi pepohonan rindang yang bergerak pelan diterpa angin. Suara gemericik air dari danau kecil yang ada di dekatnya menambah kesan damai dan tenang. Udara sejuk dan segar seolah menenangkan hati dan pikiran mereka setelah berkutat dengan pelajaran di sekolah.
Pondok itu terlihat kecil dan sederhana. Pondok itu hanya terbuat dari ayaman bambu dengan satu kamar tidur, kamar tamu kecil, dapur dan kamar mandi. Meski begitu pondok tersebut terlihat bersih dan terawat. Aroma kayu dan dedaunan yang menyatu dengan udara menciptakan suasana yang nyaman.
“Kita hampir sampai…,” ujar Kirana dengan nada lega. Matanya berbinar menatap pondok kecil yang berdiri kokoh di depannya.
Ririn mengangguk dengan mata penuh kekaguman. “Pondoknya terlihat begitu damai. Aku bisa mengerti kenapa Kakek Sapto memilih tinggal di sini.”
Kirana tersenyum dan menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Iya Rin… Aku merasa tenang setelah sampai di sini… Seperti semua beban di rumah tiba-tiba terasa ringan.”
Di depan pondok, seorang lelaki tua berdiri dengan senyum lembut di wajahnya. Kakek Sapto yang rambutnya hampir seluruhnya memutih serta janggutnya yang tidak terlalu panjang menatap mereka penuh kebijaksanaan. Walaupun usianya telah lanjut, postur tubuh Kakek Sapto masih sangat tegap dan terlihat kuat. Otot-ototnya disamarkan oleh pakaian yang dipakainya. Sorot matanya menunjukkan pengalaman dan ketenangan yang mendalam.
“Ah kalian sudah datang… Bagus… Bagus…,” ujar Kakek Sapto dengan suara yang dalam namun menenangkan.
Kirana dan Ririn segera menghampiri dan memberikan salam dengan penuh hormat. “Selamat siang Kek. Maaf jika kami terlambat…,” ujar Kirana sedikit menunduk.
Kakek Sapto menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Yang penting kalian datang dengan semangat. Nah sekarang duduk dulu. Kalian pasti lelah. Kakek sudah menyiapkan singkong rebus. Kalian makan siang dulu dan istirahat sejenak…,” kata Kakek Sapto sembari mengeluarkan singkong rebus yang baru matang.
Mata Kirana dan Ririn berbinar. Perut mereka yang sedari tadi menahan lapar langsung berbunyi pelan, seolah menyetujui tawaran itu. Aroma singkong rebus yang asapnya masih mengepul begitu menggoda. “Terima kasih Kek… Kami makan siang dulu ya Kek… Terima kasih singkong rebusnya…,” ujar Ririn sambil tersenyum lebar.
Kirana dan Ririn kemudian mengeluarkan bekal makan siang yang mereka bawa dari rumah. Mereka makan dalam diam seraya menikmati setiap suapan dengan rasa syukur. Kakek Sapto duduk di dekat mereka sambil memperhatikan dengan senyum samar.
“Kalian tahu,” kata Kakek Sapto setelah beberapa saat hening, “berlatih dengan perut kosong itu hanya akan membuat kalian pingsan. Jadi pastikan sebelum latihan, kalian sudah makan yang cukup.”
Kirana terkekeh kecil. “Benar juga Kek. Kami hampir lupa karena terlalu bersemangat.”
Kakek Sapto mengangguk. “Semangat itu penting. Tapi lebih penting lagi adalah menjaga tubuh kalian agar tetap kuat. Bela diri bukan hanya kekuatan fisik, tapi keseimbangan antara tubuh dan pikiran.”
Ririn menatap Kakek Sapto dengan rasa penuh ingin tahu. “Kek… apakah latihan kita akan sulit?”
Kakek Sapto tertawa kecil. “Tentu saja…. Tidak ada yang mudah dalam hidup ini. Tapi jika kalian sungguh-sungguh, pasti kalian akan cepat menguasainya.”
Mereka bertiga kembali menikmati makanan dan ketenangan pondok kecil itu. Di luar pondok, angin berembus lembut membawa harapan dan awal yang baru bagi Kirana dan Ririn.
Bagaimana perjalanan hidup Kirana selanjutnya..? ikuti pada bab selanjutnya...